Tuesday, July 26, 2016

Riwayat Baginda Karapatan Part #6 dari 8 : Karakter, Masa Tua dan Wafatnya Beliau


Kehidupan sulit membentuk Baginda Karapatan menjadi sosok berkarakter keras pada anak dan pasangan. Tidak segan-segan beliau menerapkan hukuman fisik seperti memukuli Ayahku dengan rotan sambil digantung dengan kepala dibawah didalam karung.  Darah Ayah yang merembes dan menetes menyebabkan istri beliau Nursiti Siregar pingsan. Sedangkan adik-adik Ayah, melihat kejadian tersebut menangis histeris.

Bukan cuma anak lelaki, Salbiah Pohan, karena menolak pergi sekolah, pernah dipukul oleh Baginda Karapatan dengan semacam tumbuhan menjalar sampai-sampai kupingnya mengeluarkan darah. Sejak saat itu Salbiah Pohan sempat mengalami masalah pendengaran di salah satu kupingnya. 

Saat aku masih kecil aku sempat heran melihat gigi depan ompung Nursiti Siregar tidak lengkap, ternyata ini juga akibat dihajar oleh Baginda Karapatan. Namun demikian permikahan mereka hanya dipisahkan oleh maut, dan keduanya setia sampai akhir. Kombinasi karakter mereka memang saling melengkapi, Baginda Karapatan yang keras dan berani serta kelembutan Nursiti Siregar yang mendamaikan. 

Cerita saat mereka berdua kecopetan dalam peristiwa yang berbeda, menggambarkan perbedaan kedua karakter dengan baik. Saat di Jakarta, Baginda Karapatan kecopetan di bis, maka beliau marah dan mengomel panjang lebar dengan Bahasa Batak. Tak lama seorang pemuda menghampiri beliau, mengembalikan dompet yang dicopet dan meminta maaf dalam.......Bahasa Batak juga. 

Sebaliknya ketika Nursiti Siregar yang sedang berbelanja menjelang Hari Raya Idul Fitri ke Pasar Sentral, Medan dengan putrinya Mayurida Pohan lalu menyadari tas sandangnya disilet pencopet, eh beliau malah tersenyum. Melihat uang kertas dalam tasnya terbagi menjadi dua, Beliau lalu mengatakan, kasihan copetnya, dia tidak bisa memakai uang tersebut, akan lebih baik kalau dikembalikan dan beliau dengan rela mau membagi dua uang tersebut dengan si pencopet, daripada si pencopet dan beliau sama-sama tidak bisa menggunakannya. 

Selain keras, sosok Baginda Karapatan juga terkenal berani, saat di Padang Sidempuan listrik kadang mati, dengan tak gentar Baginda Karapatan mendatangi kantor PLN, dan lalu menghardik para petugas disana. Sekembalinya beliau, tak lama listrikpun mengalir kembali. 

Selain hukuman fisik, Baginda Karapatan juga tidak ingin membiarkan anak-anaknya khususnya ketiga anak lelakinya besar dengan fasilitas yang dia miliki, Sehingga beliau menitipkan ketiga putranya ke salah satu saudara untuk dipekerjakan di sawah. Menurut cerita Ayah, belakangan abangnya Marajo Pohan dan Oloan Pohan sempat menyimpan perasaan tidak enak atas hal tersebut, meski belakangan mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan cara Baginda Karapatan mendidik anak lelakinya menjadi sosok berhasil. Faktanya Baginda Karapatan sebenarnya tetap memberikan uang untuk makan ketiga anaknya namun tidak secara langsung melainkan pada saudara pemilik sawah tersebut. Terbukti ketiga anaknya sukses menjadi prajurit TNI, Dosen dan Pegawai Negeri Sipil. 

Suatu waktu Baginda Karapatan datang ke lokasi dimana ketiga anak lelakinya dititipkan, Ternyata beliau pun kaget, melihat ketiga anaknya terkesan kurang makan. Ayahku saat itu harus mencangkul sawah setiap hari dengan perut lapar dan celana yang terus menerus melorot setiap kali mengayunkan cangkulnya. Hari itu juga beliau menarik kembali ketiga putranya, lalu membeli satu rumah di Sipirok serta memerintahkan Salbiah Pohan yang saat itu masih pelajar di semacam Sekolah Kepandaian Puteri, menjaga ketiga adiknya tersebut. 

Cerita Nursiti Siregar pada Ibuku,  ternyata betapa sakit hatinya sebagai ibu kandung kala itu, dipisahkan dengan ketiga anak lelaki kesayangannya, sedangkan saat itu mereka masih SD dan SMP. Namun Baginda Karapatan tidak bergeming, dan tetap memaksa ketiga anak lelakinya berpisah dengan ibu mereka, tinggal menumpang dirumah orang, makan seadanya dan bekerja kasar di sawah. Sakit hati Nursiti Siregar berulang saat Baginda Karapatan memerintahkan ketiga anaknya ke Jawa. Sejak itu Nursiti Siregar selalu teringat ketiga anak-nya di perantauan khususnya jika melihat Bis Sibual Buali yang dianggapnya menjadi salah satu penyebab terpisahnya mereka. 



Oloan Pohan, Parmuhunan Pohan,
Maradjo Pohan dan Baginda Karapatan Pohan


Saat Ayahku sudah bekerja dan ingin meminang istri sebelum melanjutkan kuliah di Akademi PTT di Bandung, Baginda Karapatan menyarankan agar mencari wanita bermarga Siregar karena jauh di dalam hatinya meski keras terhadap Nursiti Siregar, beliau mengakui bahwa istrinya adalah sosok setia dan ideal dalam mendampingi kehidupannya.

Sebelum wafat, beliau sempat melakukan perjalanan ke Bandung menemui putranya Marajo Pohan dan Saiful Parmuhunan Pohan. Sesaat sebelum meninggal beliau membuat Surat Wasiat, khusus bagi ketiga putranya tentang susunan kerabat (kahanggi) yang dijelaskan dalam Surat Wasiat itu. Dalam surat itu juga beliau meminta ketiga putranya untuk mengenal dan berkunjung pada semua keluarga Baginda Karapatan. Bagi beliau peristiwa di masa lalu tidak menjadi hambatan untuk silaturahim. 

Saat Baginda Karapatan  jatuh sakit, dia lalu memanggil ketiga anak lelaki-nya dari Pulau Jawa untuk membicarakan masalah warisan harta dan keinginannya untuk meneruskan proyek hotel. Namun kedua abang Ayah yang sudah berubah menjadi sosok mandiri karena sudah terpisah sejak kecil dan sukes meniti karir di perantauan, menyampaikan bahwa mereka tidak membutuhkan warisan itu sama sekali, karena mereka sudah menemukan hidupnya sendiri meski tanpa bantuan Ayah mereka Baginda Karapatan.  Tak terasa air mata beliau mengalir, terkejut karena tidak menyangka dampak dari hasil pendidikannya yang keras . Berusaha menetralisir, Ayah lalu memeluk beliau dan berkata, meski yang diwariskan hanya sepasang sepatu butut, Ayah akan menerima-nya dengan bangga dan dan menjaga-nya dengan senang hati.  Tak lama setelah itu wajah beliau terlihat lebih lega, dan akhirnya meninggal kemudian.

Saat Baginda Karapatan sakit beliau sempat dirawat di rumah putri bungsunya Nurlena Pohan. Setiap pagi beliau berjemur di teras rumah. Febrina cucu perempuannya menyuapi beliau dengan bubur. Cukup lama beliau tinggal di rumah Nurlena Pohan,  saat kondisinya sedikit membaik, biasanya beliau bergegas ke pasar dan kerap membawa oleh-oleh buah-buahan sebecak penuh. Sementara cucunya menyambut dengan bergelayutan di becak tersebut. Pada akhirnya beliau memang meninggal di rumah menantunya tersebut, meski saat awal beliau sangat tidak setuju pernikahan putri bungsunya. 


Klik http://hipohan.blogspot.my/2016/07/riwayat-baginda-karapatan-part-7-dari-8.html untuk bagian ke tujuh

*Sesuai cerita Nursiti Siregar kepada Siti Hajar Lubis 
*Mengenai Nursiti Siregar kecopetan sesuai cerita Erwin Siregar.  

No comments: