Wednesday, November 09, 2016

Unfriend and Unfollow

1000 Sahabat tidak pernah cukup
1 Musuh terlalu banyak 

anonymous


Saat ini persis seperti PILPRES 2014 lalu, seiring dengan semakin panasnya situasi, maka orang lantas beramai-ramai melakukan unfollow dan unfriend. Sebagian dengan bangga menulisnya di status, seakan akan masalahnya selesai dengan unfollow dan unfriend. Tak salah kalau pilkada DKI kali ini disebut PILKADA dengan rasa PILPRES.

Bagaimana seharusnya sikap kita menghadapi situasi ini ?, bagi saya sahabat bukanlah sosok yang pasti selalu seiring sejalan dengan kita. Dalam perjalanan hidup kadang sahabat mungkin tidak setuju dengan apa yang kita lakukan dan demikian pula sebaliknya. Namun seiring dengan berjalannya waktu jika mereka masih saja menjadi sahabat kita, maka sahabat seperti inilah yang disebut sebagai sahabat sejati.

Lantas apakah PILPRES atau PILKADA yang periodenya sangat terbatas ini, kita biarkan menghancurkan hubungan silaturahim yang sudah terjalin bertahun-tahun menjadi lenyap tak berbekas. Coba anda pikirkan baik-baik, atau coba ingat lagi kenapa seseorang menjadi sahabat anda, karena pernah saling tolong menolong ?, karena pernah satu sekolah ?, karena pernah satu kantor ? karena memiliki hobi yang sama ?, karena pernah dalam perjalanan yang sama ? dan sebagainya. Jadi ingatlah yang baik-baik dari seorang sahabat dengan demikian anda memiliki keputusan yang lebih obyektif.




Saya pernah dicemplungkan oleh salah satu sahabat ke group yang memuja-muja pilpres pilihannya, mungkin karena mengira saya pastilah memilih presiden yang sama. Namun alih-alih keluar, saya justru memiliki kesempatan untuk mempelajari presiden pilihan saya dari perspektif lain.

Jadi, saya tidak akan melakukan unfollow apalagi unfriend, apalagi pada sahabat-sahabat yang sudah saya kenal sejak lama, hanya karena pilihan politik yang berbeda.  Bagi saya persis seperti tulisan yang saya terima beberapa minggu lalu bahwa

Saat lahir kita ditolong orang lain.
Saat mandi pertama kali dimandikan orang lain.
Saat diberi nama, kita di beri nama oleh orang lain.
Saat mendapatkan rezeki, selalu melalui tangan orang lain.
Saat sekolah kita diajari orang lain.
Saat awal bekerja kita diajari orang lain.
Saat mandi terakhir, kita dimandikan orang lain.
Saat mati kita dikuburkan orang lain.

Diluar itu masih banyak kisah yang saya alami sendiri seperti; Saat masih Sekolah Dasar di Denpasar seorang pemuda tak dikenal menolong membayarkan bemo karena saya kehilangan uang. Saat saya masih SMA dan mengalami kecelakaan lalu lintas di depan stasiun Kereta Api Bandung, seorang supir taksi tak dikenal menolong mengantar saya ke RS Hasan Sadikin dan biaya rumah sakit dilunasi korban yang saya tabrak. Saat kuliah,  teman kuliah saya basah kuyup mengantar saya ke rumah di tengah hujan badai. Saat baru menikah dengan istri, seorang dokter THT  mau berpayah payah menolong saya yang sedang mengalami infeksi amandel meski sedang diluar jam praktek tanpa dibayar. Saat jalan-jalan di pantai Kijing sekitar Singkawang dan mobil mengalami slip, sekumpulan nelayan membantu saya lepas dari kubangan pasir. 

Jelaslah sudah kita tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain apalagi jika orang lain itu seorang sahabat, jadi apa cara paling baik menyiasati status sahabat yang tidak nyaman ?, jika memang  tidak bisa diberi masukan / dinasehati, ya cukup tidak usah dibaca, tidak usah ditanggapi, serta tidak usah didebat. Namun ingatlah bahwa seorang sahabat yang baik tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru mereka akan berkata apa adanya demi persahabatan. Dan dalam persahabatan sejati tak pernah ada kata “perpisahan”, jika pun kelak ada, hanya ketika salah satu salah satunya menghembuskan nafas terakhir.




No comments: