Wednesday, March 21, 2018

The Mist (2007) - Frank Darabont



As a species we're fundamentally insane.
Put more than two of us in a room, we pick sides and start dreaming up reasons to kill one another.

(Ollie Weeks – The Manager Assistant)


Setelah menyelesaikan The Shawsank Redemption (TSR), kini giliran The Mist yang masih merupakan kolaborasi Stephen King dan Frank Darabont. Sebagaimana TSR, casting dalam film ini lagi-lagi layak mendapatkan acungan jempol. Secara umum dialog yang kuat dengan aktor berkelas berhasil membuat film ini menarik meski secara special effect masih kalah kelas bahkan dengan Jurassic Park yang dibuat 14 tahun sebelumnya. Salah satu tokoh yang muncul dalam film ini terlihat tak asing bagi saya, ternyata William Sadler (berperan sebagai Jim Grondin) yang juga bermain dalam TSR.

Sejujurnya saya agak sedikit bingung menentukan genre apakah film ini ?, jika scifi kok rasanya “special effect”nya biasa saja, jika dianggap horor tetapi dramanya justru mendapatkan porsi yang lumayan banyak, begitu juga jika dianggap film monster, eh monster dalam film ini cuma jadi figuran.  Namun secara sederhana saya berpendapat film ini mengenai psikologi manusia yang berada dalam suatu tempat terisolasi, sehingga tak ada lagi kepura2an, semua karakter terlihat telanjang dalam mengekspresikan amarah, dendam, kelicikan, putus asa dan lain sebagainya.



Sebenarnya tempat terisolasi seperti ini bukan hal baru dalam sebuah cerita, Agatha Christie sudah membuatnya dalam “Three Blind Mice” juga “And Then There Were None”. Kembali ke cerita, bermula dari sebuah kota kecil bernama Maine (peristiwa aneh di kota kecil memang sering dijadikan tema karya-karya Stephen King) yang sedang dilanda badai hebat. Badai ini lalu diikuti kabut misterius yang menyebabkan sebagian penduduk terperangkap di dalam super market terbesar di Maine. Rumor yang beredar menyebutkan, kabut ini merupakan bagian dari percobaan militer yang dinamakan “The Arrowhead Project”. Namun karena fokusnya bukan mengenai percoban militer jangan harap anda menemukan jawaban dari penyebab kabut tersebut.

Selama terperangkap di supermarket, berkali kali mereka mendapat serangan mahluk bertentakel, serangga raksasa, sosok “manusia” bersayap, dan juga laba-laba, atau bahkan belalang seukuran pohon raksasa. Dalam kondisi tertekan, mulai terbentuk komunitas-komunitas seperti kelompok agama garis keras (bertahan di super market dengan terus menerus berdoa), kelompok arogan dan mau menang sendiri (sengaja pergi keluar super market dan lalu menemui ajal) , kelompok yang frustrasi dan lalu memilih bunuh diri, serta komunitas yang dipimpin oleh David Drayton,  Sang Seniman yang tetap mencoba berpikir bagaimana bisa keluar dari tempat tersebut.

Karakter menarik dalam film ini salah satunya adalah Mrs. Carmody yang diperankan dengan sangat baik oleh Marcia G. Harden. Sosoknya yang selalu mengaitkan apapun dengan agama dan cenderung memaksakan kehendak pelan2 mulai mendapatkan pengikut dalam super market. Puncak dari kegilaan ini adalah ketika mereka merasa memiliki hak untuk menghukum mati siapa yang menurut mereka berkhianat.

Peran utama David Drayton dimainkan dengan baik oleh Thomas Jane. Saat-saat awal saya sempat mengira Thomas Jane sebagai Christopher Lambert karena kemiripan mereka berdua. Akting Thomas Jane saat memerankan Drayton juga diuji saat berusaha kembali ke rumahnya setelah meloloskan diri dari super market, namun harus menghadapi kekecewaan saat menemukan kondisi istrinya, sementara dia selalu berjanji pada anaknya, akan berusaha memastikan istrinya baik-baik saja.

Film ini menemukan klimaksnya pada akhir cerita sekaligus menggambarkan betapa ironisnya kehidupan, namun tidak akan seru jika saya bahas disini. Bukan akhir cerita yang menyenangkan bagi orang-orang yang ingin melihat akhir kisah yang bahagia. Konon kabarnya, akhir seperti ini diputuskan oleh Frank Darabont, sesuatu yang menurut Stephen King tak akan dia tulis sebagai bagian akhir. Jujur saja, setelah menonton, film ini membuat kita merenung, seandainya Drayton adalah kita, apakah kiranya yang akan kita lakukan ?

Akhir kata, meski alur film ini terasa agak lambat, namun ironi di akhir cerita menempatkan film ini sebagai film yang sangat layak ditonton. Namun saya tidak menyarankan film ini buat anak-anak, karena beberapa adegan yang terlihat cukup sadis.

Catatan, mobil yang digunakan Drayton untuk melarikan diri perlu dijadikan catatan khusus, karena merk yang sudah tak asing di Indonesia, alias Toyota Land Cruiser FJ55.









No comments: