Wednesday, March 14, 2018

The Shawsank Redemption (1994) - Frank Darabont



Remember Red, 
hope is a good thing, 
maybe the best of things, 
and no good thing ever dies.

Andy Dufresne (letter to Ellis “Red” Redding)

Sebagian orang mungkin langsung berpikir 1994 ? film tua ? jangan salah, film bagus tetaplah film bagus tak perduli kapan dia dibuat. Tidak percaya ? lihat saja Sound of Music, meski dibuat tahun 1965, film ini terus menerus membuat orang-orang kagum, mulai dari kamera panorama yang digunakan, pemeran yang pas, cerita yang bagus dan theme song/sound track yang indah.

Lama tak bertemu sahabat ex teman sekantor saat di Metrodata beberapa tahun lalu, kami berdua janjian bertemu saling bercerita di salah satu restoran Manado di bilangan Jalan Panjang. Setelah banyak diskusi soal band progressive kesukaan kami, yang saat ini masih menjadi lokomotif progressive rock alias Dream Theater, ujung-ujungnya kami bicara mengenai hobby masing2 dimana ybs ternyata mengoleksi 100 film terbaik versi IMDb. Salah satu yang paling berkesan buat dia adalah The Shawshank Redemption (1994) karya Frank Darabont, yang memang masuk dalam urutan 2 selama bertahuin-tahun bersama-sama lima besar seperti Schindler’s list atau The Godfather yang meraih posisi pertama.



Film ini merupakan salah satu dari beberapa karya Steven King yang difilmkan selain Misery, IT, The Mist, The Shining, Carrie, Stand by Me juga Pat Sematery. Karena memang sudah pernah menonton IT dan Misery, saya jadi tertarik eksplorasi film ini. Namun lama tak mendapatkan waktu yang pas untuk nonton bersama keluarga, saya akhirnya memutuskan untuk eksplorasi sendiri.

Ceritanya berawal pada tahun 1947, mengenai dari tokoh utama bernama Andy Dufresne yang diperankan dengan sangat baik oleh Tim Robbins. Sosok bankir dituduh membunuh istri dan selingkuhannya. Andy sendiri tak yakin apakah dia memang bersalah, sepanjang yang dia ingat meski berniat, namun urung dilaksanakan. Sayangnya saat itu dia mabuk, dan gagal membuktikan dia tidak bersalah serta harus menerima keputusan untuk masuk ke penjara selama 20 tahun.

Saat melihat wajah Tim Robbins di adegan awal, saya langsung teringat Jacob’s Ladder, salah satu film Tim Robbins di tahun 1990 yang membuat saya terkesan.  Jacob’s Ladder berkisah mengenai trauma prajurit AS yang ditugaskan di Vietnam dalam rangka eksperimen zat kimia yang mempengaruhi psikologi prajurit. Kembali ke The Shawshank Redemption, di dalam penjara Andy mengalami berbagai perlakuan tak menyenangkan dari komunitas gay yang dipimpin Bogs (Mark Rolston).

Namun pelan-pelan Andy akhirnya diberi kepercayaan oleh Samuel Norton sang kepala penjara (yang diperankan dengan baik sekali oleh Bob Gunton), berkat kemampuan Andy dalam keuangan yang memungkinkan Samuel Norton menghindari pajak, dan mengeksploitasi narapidana secara bisnis sehingga memberikan keuntungan pribadi. Samuel Norton dan tangan kanannya Byron Hadley (yang diperankan oleh Clancy Brown). Buat saya casting dengan memilih Bob Gunton dan Clancy Brown benar-benar pas, ekspresi dingin ala perwira Nazi sangat pas menggambarkan suasana penjara yang ditangani secara otoriter oleh Samuel Norton lengkap dengan penyiksaan dan bahkan pembunuhan kalau diperlukan.  

Penjara yang settingnya mirip dengan film Shocker karya Wes Craven besutan 1989 (dengan soundtrack group metal Megadeth) , kamar-kamar yang disusun bertingkat dengan tangga besi di bagian tengah dan warna-warna buram inilah yang menjadi lokasi sebagian besar adegan. Selain hal-hal diatas, salah satu yang membuat film ini berkesan adalah persahabatan Andy dengan Brooks sang penjaga perpustakaan penjara (narapidana tua yang diperankan oleh James Whitmore) serta tentu saja Ellis Redding (Morgan Freeman).

Hingga ¾ film, saya masih sedikit heran kenapa ranking IMDb film ini begitu tinggi dan bertahan selama bertahun-tahun, sampai akhirnya muncul tokoh Tommy Williams (Gil Bellows) yang mengungkap proses hukum yang tak adil bagi sosok Andy. Tentu saya tidak bisa menceritakan adegan pamungkas dalam film ini, yang jelas sebagaimana film legendaris One Flew Over the Cuckoo's Nest, kita memang harus bersabar untuk menonton adegan puncaknya hingga akhir. Ada hal menarik dalam film ini, yakni ekspose koleksi buku Brooks almarhum yakni The Count of Monte Cristo karya Alexandre Dumas, saat renovasi perpustakaan. Saya kira ini sudah merupakan pesan implisit yang menggambarkan akhir dari film ini.  Akhir kata selamat menonton, dan jangan terlalu berharap banyak soal akhir yang mengejutkan, meski tema utama film ini adalah mengenai pentingnya harapan.




No comments: