Meski suka dengan karya Dewa di Gigi yang sudah merilis 20
album, saya belum pernah secara serius menikmati album solo Dewa Budjana, atau bahkan
sampai membeli CD aslinya. Namun hadirnya Marco Minneman ex drummer Racer X,
The Aristocrats, Steven Wilson dan Joe Satriani (yang menurut saya lebih pantas
menggantikan Portnoy ketimbang Mangini di Dream Theater), Jordan Rudess
keyboardis Dream Theater, juga basis muda wanita asal Mumbai, India, Mohini Dey, serta gitaris Red Hot Chili Pepper
yang ternyata bersuara asik yakni John Frusciante membuat saya tak ragu menebus
CD nya. Frusciante yang konon pengagum
Dewa Budjana sejak album Dawai in Paradise, bahkan ikut menyumbang dua lagu dalam album
ini, yakni Crowded dan Zone.
Sebelum terlalu jauh, apa sih arti Mahandini, sesuai dengan artwork covernya, yang dimaksud adalah kendaraan besar para dewa, yang pada artwork
digambarkan dengan gajah dan kereta kencana. Tentu latar belakang ini sesuai
dengan budaya dan agama Hindu yang dianut Dewa, unik, karena dimasa lalu Dewa
bersama Gigi banyak melahirkan lagu Islami dengan sentuhan rock. Bukan cuma itu, Dewa juga pernah merilis album
yang berhubungan dengan Christmas.
Singkatnya Mahandini juga bisa disimbolkan sebagai kendaraan yang
menyatukan para musisi kelas dunia yang berkolaborasi menghasilkan suatu karya
indah. Artwork yang indah ini aslinya merupakan interpretasi 55 pelukis tradisional,
yang salah satunya akhirnya digunakan sebagai cover, sedangkan sisanya
dilelang.
Oh ya tak ketinggalan juga Mike Stern gitaris fusion papan
atas yang sudah pernah meraih penghargaan sekelas Grammy Award, serta vokalis dan
komedian lokal bergaya sinden dengan suara tinggi melengking alias Soimah
Pancawati. Jangan mengira Soimah disini akan “ketawa ketiwi” seperti
penampilannya di acara TV nasional, dalam album solo kesepuluh Dewa ini Soimah menampilkan karya serius. Soimah juga menulis langsung lirik dalam track Hyang Giri yang terinspirasi letusan
Gunung Agung dan Gunung Merapi baru-baru ini.
Track dalam album ini bisa dibilang sedikit, yakni
01.Queen
Kanya 07:02
02.Crowded 05:51
(feat John Frusciante)
03.Mahandini
08:16
04.Hyang
Giri 07:45 (feat Soimah Pancawati)
05.ILW
06:38 (feat Mike Stern)
06.Jung Oman
06:52
07.Zone 05:56
(feat John Frusciante)
Berikut review track demi track dari album ini.
Queen Kanya (*****)
Sound gitar Dewa disini asik benar dan berkelas, Rudess juga
memainkan solo piano dengan apik lanjut ke solo keyboard. Namun bintang disini
adalah sang basis Mohini Dey yang bermain
mantap sambil mengiringi namun juga memainkan lagunya sendiri, dan bahkan
memainkan part vokal yang mengacu ke tradisi India alias Konnakol bersama
Minneman. Mohini memainkan perkusi suara, dengan ketukan rapat dan berubah-ubah
mengingatkan saya akan teknik vokal scat singing ala George Benson.
Siapa yang dimaksud Dewa dengan Queen Kanya ? track ini
mengenai Ida Dewa Agung Ratu Kanya (1814), Ratu Klungkung, Bali yang berperang
melawan kolonialisme Belanda dalam di Kusamba. Dewa menyiratkan keinginannya agar
sosok Queen Kanya dijadikan sebagai pahlawan nasional.
Crowded (****)
Dimulai dengan dentingan piano muram, lanjut dengan petikan gitar
nan menyayat. Frusciante menjeritkan
vokalnya yang lirih namun mulai lebih lantang dibagian berikutnya. Di menit
ketiga, beat berubah dan langsung disambut solo Rudess. Lalu kembali senyap dan
Frusciante kembali menjeritkan vokal ekspresifnya. Dewa tak banyak memainkan
part solo disini, terkesan memilih untuk menjadikan ini sebagai karya bersama
ketimbang karya solo.
Mahandini (*****)
Dibuka dengan petikan gitar, yang kali ini menggunakan sound
yang berbeda. Dewa lagi-lagi tidak mau pusing harus bermain dengan teknik
rumit, bagi Dewa sebuah lagu tak harus terjebak dalam kompleksitas. Sebaliknya
Mohini bermain ganas, dan mengingatkan saya akan Jaco Pastorius ex Weather
Report dan Pat Metheny. Tak salah juga, kalau track ini dijadikan sebagai judul
album, dan menit keenam, Dewa memainkan nada-nada solo membius nan asik ala
Alan Holdsworth. Menit ke 7 Minneman gantian memainkan berbagai fill in dengan
asiknya.
Hyang Giri (****)
Track yang kental dengan aroma tradisional ini sepertinya
menjadi pengalaman baru bagi Minneman dan Rudess, sebaliknya Mohini Dey yang
besar dalam tradisi India sepertinya tidak terlalu asing dengan nada ala pentatonis
ini. Lanjut dengan unison yang dimainkan bersama oleh Rudess dan Dewa. Track ini menjadi bukti bahwa latar belakang
berbagai bangsa dan tradisi bisa menghasilkan karya yang indah, layaknya makanan
tradisionil gado-gado. Solo piano Rudess kembali menunjukkan kelasnya sebagai musisi
Jazz papan atas (meski untuk solo keyboard saya lebih bisa menikmati Tony Banks
atau Keith Emerson). Pada track ini Soimah menunjukkan kelasnya sebagai sinden
yang memiliki cita rasa.
ILW (****)
Track ini mengembalikan kita pada musik fusion standar dan
modern setelah digempur dengan vokal mistis tradisional Soimah. Mike Stern
gitaris kelahiran 1953 yang penampilannya skr malah jadi mirip Steve Howe,
gitaris Yes, memainkan solonya di menit ke 1:30, gitaris yang juga endorser
Yamaha Pacifica, ini bermain nyaman layaknya di albumnya sendiri. Lanjut dengan solo Dewa, dengan sound
yang berbeda. Dalam album terasa kalau Dewa yang mencoba menyesuaikan dengan
permainan Stern ketimbang sebaliknya.
Jung Oman (***)
Diawali dengan dentingan piano Rudess, lalu petikan sahdu gitar
Dewa, track ini terasa cair, mengalun menghanyutkan. Kali ini instrumental murni,
tak ada vokal Mohini Dey, Frusciante ataupun Soimah. Solo akustik Dewa mengalun
lembut dan membuat pikiran kita melayang-layang jauh.
Zone (**)
Akhirnya album ini kembali ke track gado-gado tradisional.
Frusciante lagi-lagi kembali memamerkan vokal ajaibnya yang mengingatkan saya
akan warna vokal Alex Ligertwood ex Santana, meski Frusciante sedikit lebih
cempreng. Bagi saya track ini kualitasnya sedikit dibawah track2 lainnya, juga
kalau dibandingkan dengan track Crowded. Entah itu juga mungkin kenapa
ditempatkan di bagian akhir.
Untuk menghemat waktu, Dewa sengaja sebelumnya memberikan
notasi semua track ini pada Rudess dkk. Lalu setelah tiga kali mengulang karya
pertama untuk menyesuaikan karakter masing-masing musisi yang sebelumnya belum
pernah menelurkan karya bersama, seluruh album ini akhirnya diselesaikan hanya
dalam satu hari di salah satu studio di Los Angeles.
Akhir kata, bagi saya karya Dewa ini sangat berkelas, dan
layak dimiliki penggemar jazz ataupun yang ingin meluaskan cakrawala bermusiknya,
khususnya buat yang tadinya mengira
Rudess adalah keyboardis Progressive Metal semata. Kolaborasi dengan musisi papan atas
dunia ini menunjukkan musisi Indonesia memiliki kapasitas yang tidak kalah sama
sekali. Sukses buat Dewa Budjana, semoga akan ada karya-karya lainnya yang
mendunia.