Setelah kami pindah dari Denpasar ke Bandung, ayah dan ibu mulai berpikir untuk memiliki rumah sendiri. Selama ini hal tersebut tidak terwujud, karena kami terus menerus pindah, mulai dari Bandung, ke Surabaya, Babat, Bandung, Sibolga, Denpasar dan Bandung. Ayah lalu membeli sebidang tanah di daerah Bandung Utara, seluas kira-kira 1.000 m2.
Saat paman ke Bandung, ayah dan ibu mengajak beliau meninjau lokasi tersebut. Lokasinya sendiri memang agak sedikit ajaib, karena berada di bukit, sehingga memiliki 3 tingkatan ketinggian. Tidak kehabisan akal, paman menggambar bangunan tersebut dengan memanfaatkan tingkatan tersebut, sehingga meski rumah kami 3 lantai, namun lantai kedua dapat dicapai melalui tangga dengan hanya naik setengah level, demikian juga dari lantai ke dua menuju lantai ke tiga.
Paman menggambar rumah idaman tersebut dengan santai, di meja makan, sambil berusaha mengakomodasi semua keinginan kami. Sehingga masing2 kami memiliki kamar sendiri, sesuatu yang sudah sangat lama kami impikan. Maklumlah saat di tinggal di rumah kontrakan di jalan Galunggung, aku dan abang sekamar, ayah dan ibu sekamar dengan adikku , hanya kakak yang mendapatkan kamar sendirian.
Karena keterbatasan dana yang dimiliki Ayah dan Ibu, paman menyarankan lantai dua dibuat menyusul, sehingga lantai 1 dan 3 diprioritaskan duluan. Hal ini dimungkinkan karena lantai 2 sama sekali tidak menggunakan lantai 1 sebagai dasar. Akhirnya rumah tersebutpun dibangun, dengan susah payah, karena dana yang dialokasikan sebenarnya dengan mengandalkan hasil penjualan tanah Ayah dan Ibu, yang berlokasi di Medan, namun tak jua laku. Sekitar tahun 1982 kami sekeluarga akhirnya pindah ke rumah tersebut, meski belum selesai.
Kadang kalau paman sedang berkunjung ke Bandung, sesekali beliau menginap di rumah karyanya tersebut, lalu kami makan bersama dengan masakan khas Ibu seperti ayam goreng sambal, sayur daun ubi tumbuk, serta sambal tuktuk, juga telor dadar krispi (dan berantakan) khas ibu yang menggunakan tetesan jeruk nipis. Seperti biasa sambil makan paman akan bercerita banyak hal, tentang ilmu pengetahuan, situasi politik dan berbagai hal lainnya.
Menjelang kuliah di Newcastle upon Tyne, Inggris, paman seperti biasa ke rumah kami di Bandung, seingat aku antara antara tahun 1980 sd 1982. Kali ini paman membawa sekumpulan buku dan kaset untuk belajar bahasa Inggris. Radio-Tape JVC yang biasa paman pakai saat di rumah kami, buat mendengar lagu-lagu The Beatles seperti lagu kesukaan beliau Michelle, kini digunakan untuk mendengarkan pelajaran. Paman juga membawa sekumpulan novel dengan jumlah kata yang dibatasi, misal edisi 1000 kata, edisi 3000 kata, edisi 5000 kata, dll. Buku-buku ini untuk memudahkan belajar bahasa Inggris dengan menggunakan kosa kata terbatas.
Salah satu buku itu menggambarkan sosok pemuda Indian, berambut panjang dengan senjata lengkap sedang duduk setengah jongkok di depan genangan air. Aku sering lama2 memandangi cover ini sembari membayangkan barangkali seperti inilah sosok Winnetou yang diceritakan dalam rangkaian novel karya Karl May. Buku-buku ini memang akhirnya setelah dibaca habis oleh paman, diberikan pada kami dengan anjuran untuk meningkatkan kemampuan berbahasa asing.
Paman memang sosok yang tak pernah berhenti belajar, mungkin itu sebabnya aku dan abangku selalu diminta Ibu untuk meniru sosok paman. Beberapa masa setelah meninggalkan Bandung, paman pun akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mengambil Master of Philosophy di Newcastle upon Tyne. Paman memulai sekolah tahun 1985 dan selesai 1987 dengan gelar M.Phil. Beberapa bulan kemudian, kami sekeluarga dikirimi paman, foto beliau dengan latar belakang kampus, dengan latar rerimbunan pepohonan yang asri, dengan sosok paman berkumis tebal serayatersenyum lebar menggunakan kostum musim dingin.
Tahun 1997 sd 2001 Paman kembali sekolah di USM (Universiti Sains Malaysia) mengambil PhD. Saat paman ke Bandung beberapa tahun lalu, paman menasehati aku untuk mengambil S3. Jelas bukan hal yang mudah, namun nasihat paman selalu terngiang2 di benakku, entah kapan bisa aku realisasikan.
Meski aku tak sempat mengecap pendidikan di Eropa atau Amerika, inspirasi dari paman untuk bersekolah di luar, akhirnya berhasil dicapai abangku yang mendapatkan kesempatan mengikuti jejak paman, mengambil master di Kentucky State University US setelah menyelesaikan kuliahnya di Manajemen Universitas Padjadjaran.
Menurut paman, genetik guru memang ada pada leluhur kami, sebagaimana nasihat beliau pada putra bungsunya Al Ghazali untuk mengikuti jejak leluhur menjadi pengajar, akupun karena nasihat paman akhirnya 7 tahun terakhir mulai mengajar di Magister Ekonomi UI Salemba, dan setelah pindah ke Bandung per 2019 mulai mengajar di Binus@Bandung.
Saat abangnya ayah alias Maradjo Pohan berpulang sekitar tahun 1989, ayah lalu membeli mobil warisan abangnya tersebut. Sebuah VW Variant 1968 builtup USA berwarna krem dengan setir kiri. Ayah yang baru pensiun setahun sebelumnya, selama seminggu belajar dengan supir kantor. Maklum ayah memang tidak begitu bisa menyetir meski pernah disediakan mobil dinas dari kantor eh ayah malah memilih menggunakan sepeda motor Suzuki A100. Keputusan ayah saat itu sempat membuat kami sekeluarga kecewa, maklum tidak mudah bagi kami sekeluarga jika harus bepergian bersama.
Setelah seminggu, ternyata ayah masih saja belum mantap belajar menyetir, maka beliau mengajak aku untuk ikut belajar. Ternyata hari itu belajar, hari itu juga aku bisa dan langsung membawa VW tersebut ke rumah kami melewati jalan menuju Awiligar yang memang sempit dan menanjak. Namun karena kesempatan menyetir memang terbatas, meski hari tsb aku sudah langsung bisa, maka tetap saja belum bisa dikatakan mahir. Apalagi konon kabarnya, ujian menyetir yang sebenarnya adalah di rute luar kota.
Kebetulan paman sedang ke Bandung, dan tahu aku masih belum lancar benar, paman langsung mengajak aku dan ayah, jalan-jalan ke Tangkuban Perahu via Lembang. Hemm… rute ke sini bukanlah rute yang mudah, sudah macet, menanjak pula, jadi butuh skill tinggi memainkan kopling, saat kondisi stop dan go. Pula angkot Lembang yang didominasi Hi Ace Diesel terkenal beringas dan sering berhenti atau menyalip mendadak.
Namun paman menularkan rasa percaya dirinya dan membuat aku tenang sepanjang jalan. Alhasil meski sempat terjadi sedikit kesulitan saat angkot Lembang memotong jalur kami saat pendakian dan berhenti begitu saja serta stop and go di tanjakan curam menjelang Tangkuban Perahu. Namun paman dengan santai memberikan tips dan trick sepanjang perjalanan. Momentum itu berhasil membuatku mencapai kepercayaan diri tinggi saat membawa kendaraan hingga kini.
Aku ingat cerita paman, saat membawa mobil baru pertamanya yakni Holden Gemini, melintasi trans Sumatera, rute Surabaya - Jakarta – Medan. Sempat menemui jalan berlumpur yang membuat mobil harus menggunakan rantai, juga dikejar begal motor bersenjata rantai di Sumatera Selatan, serta modus penduduk setempat yang pura2 tertabrak dengan memeras “pelaku”.