Thursday, September 15, 2016

Perjalanan ke Dieng #4 Eksplorasi Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Bukit Sidengkeng, dan Telaga Tiga Warna,



Kompleks Candi Arjuna

Setelah sarapan kami langsung menuju Kompleks Candi Arjuna dimana terdapat berbagai Candi seperti Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembrada. Tidak jelas juga kenapa nama-nama yang digunakan berasal dari Kisah Mahabrata. Perkiraan pembangunan candi ini adalah di tahun 731 (809 M).  Di lokasi inilah Dieng Cultural Festival berpusat.  Dijalan keluar kami membeli satu kotak kentang dan jamur goreng, ternyata Kentang Dieng memang enak sekali apalagi dimakan panas-panas saat cuaca dingin.

Kompleks Candi Arjuna #1

Kompleks Candi Arjuna #2
Setiap beberapa ratus meter, nampak kumpulan pipa pralon melintasi bagian atas jalan, yang menurut Mas Gofir digunakan untuk pengairan tanaman Kentang. Selain Kentang ada juga Kubis, Wortel, Cabe Bendot (persis seperti Cabe Bromo), Kacang Babi dan tentu saja Carica yang tumbuh subur dalam-petak-petak lahan penduduk yang tersebar di lanskap dan perbukitan Dieng yang kadang bahkan terlihat miring. Secara kontur mengingatkan saya akan pedesaan di Bromo. 


Tanaman Trompet

Salah satu tamanam menarik adalah tanaman trompet berbunga kuning yang menurut Mas Gofir menjadi bagian dari ritual masyarakat Dieng. Secara turun temurun mereka juga meyakini adanya kekerabatan dengan Suku Tengger dan Suku Bali, namun bedanya di Dieng mayoritas sudah beragama Islam meski dengan catatan masih ada banyak upacara dan tradisi seperti pemotongan rambut anak gimbal.

Cabe Gendot

Carica

Kacang Babi

Kentang Dieng


Kawah Sikidang

Dari lokasi ini dengan menelusuri pipa gas raksasa, kami menuju Kawah Sikidang. Lagi-lagi Mas Gofir menawarkan berfoto di depan huruf-huruf raksasa “SIKIDANG” dan kembali saya tolak halus. Masuk kompleks Kawah Sikidang, ternyata masyarakatnya sudah sangat sadar wisata. Mereka menyiapkan berbagai properti seperti Motor Trail, Patung King Kong, Burung Hantu, Jeep, Kuda bahkan Badut hanya untuk sesi pemotretan.  Bukan cuma properti, sebuah tempat berukuran 2x2 m, yang digunakan untuk merebus telor pun harus bayar jika dipotret. Mas Gofir sambil bergurau mengatakan di Kawah Sikidang, hanya kalau memotret langit lah yang masih gratis.

Jaringan Pipa Gas Menjelang Sikidang


Asal usul nama Sikidang karena kolam panas di area ini sering berpindah-pindah seperti Kidang (Kijang kalau dalam Bahasa Indonesia). Air bercampur lumpur berwarna keabuan yang mendidih dan meletup di kawah ini cukup tinggi, antara setengah hingga satu meter, seraya mengepulkan asap panas. Kami berempat tidak terganggu dengan bau belerang yang menusuk, dan tidak membeli masker meski di lokasi parkir banyak pedagang asongan  yang menawarkan masker. Pada jarak setengah meter dari sumber air, bahkan rokokpun bisa menyala tanpa bantuan korek api.

Badut Menunggu Order Foto

Serabi Sagon Hangat

Jeep Khusus Sesi Foto

Kontemplasi di Lereng Kawah 


Saya melarang Si Bungsu yang sangat ingin difoto di samping Burung Hantu, karena kuatir ikut menyumbang perburuan ilegal Burung Hantu. Disini kami sempat membeli Kue Sagun seukuran serabi yang disajikan dalam keadaan hangat dan ternyata memang enak. Selain Kawah Sikidang masih ada kawah-kawah lain seperti Kawah Sibanteng, Kawah Sileri, Kawah Timbang dan tentu saja yang paling terkenal alias Kawah Sinila. Si Sulung menghilang kembali ke lokasi sekitar parkir, sepertinya perutnya bermasalah setelah menyantap mie goreng pedas di Red Cobek.

Bukit Sidengkeng

Untuk melihat Telaga Warna dari ketinggian, Bukit Sidengkeng merupakan salah satu pilihan terbaik, memang tidak seterjal Sikunir, namun juga tidak semudah Batu Pandang. Kami langsung memulai pendakian, saya beberapa kali berhenti karena napas serasa habis dan dada sesak, bisa jadi karena lelah menyetir, bangun terlalu pagi dan udara tipis di ketinggian. Di pertengahan jalan istri, terlihat mulai pusing dan lalu terduduk dan hampir black out. Disusul Si Sulung yang lemas masih terus menerus diare.

Landscape dari Bukit Sidengkeng

Mengamati Telaga Tiga Warna Bersama Mas Gofir

Akhirnya mereka berdua kembali kebawah untuk menunggu kami, sementara saya, Si Bungsu dan Mas Gofir melanjutkan perjalanan keatas, beberapa kali saya berhenti karena nafas yang tersengal, namun saya kuatkan diri untuk terus berjalan ke puncak. Penduduk membuat semacam tangga dengan bantalan tanah dari karung plastik, dan di beberapa tempat tersedia pelataran kayu yang menempel ke pohon. Sesampai diatas, kepala saya terasa pusing dan berkunang-kunang, tanpa berpikir panjang saya langsung merebahkan diri di rerumputan, Mas Gofir yang memang sehari-harinya pendaki gunung mengingatkan saya untuk meluruskan kaki.  Sebagai pendaki gunung yang biasa membawa beban 50 kg di punggung dan mendaki gunung yang sebenarnya, naik ke bukit ini urusan kecil baginya. Mas Gofir sempat cerita bahwa cita-citanya adalah mendaki Cartenz Pyramid yang menurutnya memerlukan biaya sekitar 60 juta rupiah.  Sambil menunggu kondisi saya pulih, Si Bungsu mengitari puncak bersama Mas Gofir sambil merekam pemandangan sekitarnya.

Saat turun tidak kalah menderitanya, karung-karung ini disusun dengan jarak yang cukup berjauhan, saya merasa nyeri di bagian lutut setiap kali menginjakkan kaki ke anak tangga turun berikutnya, terpaksa kadang saya melintasi jalur rumput disamping untuk menghindari gerakan ala meloncat tersebut. Sesampainya di bawah Si Sulung dan istri menyambut dengan Carica, wuih sedap sekali ternyata. Dan kami siap lanjut ke tantangan berikutnya.  Carica merupakan jenis pepaya mengkerut yang ternyata memang tidak tumbuh di daerah lain. Setelah dipotong dalam bentuk dadu lalu diolah dengan dengan air gula yang terasa segar ketika diminum.

Telaga  Tiga Warna

Tanpa perlu memindahkan mobil, kami hanya berjalan kaki ke sisi satunya, dan langsung memasuki kawasan Telaga Warna, sebenarnya disini ada dua telaga, yang satu berwarna dan yang lain lebih bening dan bernama Telaga Pengilon. Jika di Telaga Warna sama sekali tidak ada ikan, sebaliknya Telaga Pengilon, selain untuk beternak ikan digunakan juga sebagai sumber pengairan.

Telaga Tiga Warna


Nampak sekumpulan pengamen menyanyikan lagu-lagu lawas Koes Plus dengan suara indah dan aransemen yang rapi. Menurut Mas Gofir sebenarnya ada saluran yang menghubungkan kedua telaga ini, anehnya yang satu tetap berwarna dan yang lain tetap bening. Mas Gofir juga menawarkan untuk melihat-lihat gua disekitar telaga, tetapi kami yang sudah puas mengunjungi gua-gua di Pangandaran dan di Gunung Kidul sambil tersenyum menggelengkan kepala.

Kedua telaga ini bukan satu-satunya telaga di Dieng melainkan ada telaga lainnya seperti Telaga Merdada, Telaga Menjer, Telaga Dringo dan Telaga Cebong. Hemm entah kenapa nama Cebong cukup tenar di sini, sepanjang jalan kami juga melihat banyak bis dengan tulisan Cebong Jaya, yang membuat Si Sulung senyum-senyum penuh arti. Dari sini kami langsung menuju homestay untuk istirahat.  

Lanjut ke Part #5 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/perjalanan-ke-dieng-5-dari-7-dieng.html

1 comment:

BELAJAR BAHASA said...

ulasan menarik