Ada tiga hal yang menarik dalam buku setebal 451 halaman ini (yang edisi asli-nya berjudul “In the Time of Madness : Indonesia on the Edge of Chaos”), pertama; ketika Parry menggambarkan kerusuhan 1997 di Kalimantan Barat (Kalbar), saat saya juga sedang terjebak di Sambas dan harus menunggu situasi tenang untuk kembali ke Singkawang, dengan beberapa balita dalam rombongan. Hal kedua; yang menarik, bagaimana Parry mampu memilih profesi yang disukai-nya berkeliling ke daerah rawan dengan resiko tinggi sebagai orang asing namun tetap dapat menjadikan “hobby”-nya sebagai mata pencaharian. Hal ketiga; adalah Parry lebih senang berada di titik pusat kekacauan dan merekam segala sesuatunya dengan matanya sendiri.
Cover buku ini sangat menarik, simbol Indonesia menggunakan wayang dengan tangan berapi serta menggunakan warna yang menarik meski terkesan kelam. Secara klasifikasi tidak jelas benar masuk dalam kelompok mana buku ini, saya cenderung menyebut-nya sebagai novel jurnalis, gabungan antara petualangan dan realitas. Style penulisan yang digunakan Parry juga sangat menarik, meluncur begitu saja, sekaligus juga menegangkan serta sulit ditebak.
Saat kerusuhan 1998, setahun setelah pembantaian suku Madura di Kalbar, Parry juga berada di Indonesia dan sempat merasakan menjadi orang yang empat kali lebih kaya karena jatuhnya nilai rupiah dibanding kedatangan sebelum-nya. Namun jangan berharap buku ini membahas “root cause” berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, seperti 1965 (PKI), 1997 (Kalbar), 1998 (Reformasi), 1999 (Kalbar), dll khususnya dari sudut pandang konspirasi tingkat tinggi, karena Parry memilih memotret-nya dari sudut pandang “grass root”. Ketika banyak orang menghindari api, Parry malah memilih untuk mendekati semua sumber api dan merekam-nya serta mencoba menceritakannya sebagai orang pertama bagi seluruh pembaca-nya. Tahun 1999, ketika seseorang yang meragukan apa yang dia tulis karena saat itu Parry dianggap tidak melihatnya secara langsung terutama tentang kanibalisme di 1997 meminta bertemu, maka dia memilih membatalkan pertemuan itu di saat saat terakhir dan langsung ke Kalimantan Barat dengan pesawat pertama, dan akhirnya dapat membuktikan sendiri soal kanibalisme tersebut dengan mata-nya sendiri.
Buku ini kembali membuka mata saya tentang betapa manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna, dan diberi pilihan untuk lebih baik dari Malaikat ataupun bahkan lebih jahat dari Setan, dan dalam buku ini sisi Setan lah yang lebih berkuasa. Ketika ranah konflik berubah dari personal menjadi ras, agama, dan keyakinan, maka musuh tidak lagi berupa “pasukan lawan”, namun bisa wanita, anak2, atau bayi dalam kandungan sekalipun yang bahkan memicu kreatifitas dan teknik membunuh termasuk praktek kanibalisme, pemenggalan, pencingcangan atau bahkan pembakaran tubuh. Bukan cuma pembunuhan, bahkan kepala2 lawan di pajang, dihinakan dengan dijadikan permainan serta dipertontonkan di hadapan banyak orang.
Kesimpulan akhir, buku ini sangat menarik namun sama sekali tidak saya anjurkan dibaca oleh orang dengan karakter lemah, juga anak2, karena isinya yang cenderung horor dan sangat bertentangan dengan karakter Indonesia yang sering disebut sebagai bangsa yang ramah. Hal ini mengingatkan saya akan kata2 guide-nya Parry saat di Kalbar tahun 1999, mengenai karakter suku Dayak, mereka adalah suku yang paling ramah di Dunia, namun saat marah dan di rasuki arwah perang, ceritanya akan berbalik 180 derajat. Singkatnya cerita horor Edgar Alan Poe yang baru saja selesai saya baca, dibandingkan buku Parry saat ini jadi terasa seperti buku anak2.
No comments:
Post a Comment