Pada zaman dulu, orang2 lebih senang memiliki anak lelaki, karena anak lelaki membuat keluarga menjadi kuat, lebih banyak akan lebih baik, dan lebih banyak lagi maka lebih kuat lagi. Pada beberapa tradisi, seperti di India, untuk menikah maka perempuan yang harus menyediakan mahar dan sejak kecil anak perempuan diperlakukan berbeda, dan lebih ironis lagi di Arab pada masa jahiliah, mengubur anak perempuan merupakan tradisi.
Dongeng tentang Amazon, yang juga mitologi Yunani, negeri dimana semua penduduk-nya adalah wanita sepertinya merupakan hal mustahil dalam sejarah peradaban, dan tradisi seperti Sumatera Barat merupakan sesuatu yang langka di mana “family name” justru turun dari wanita (matrilineal). Lebih sering terjadi adalah seperti suku Batak di Sumatera Utara yang merupakan tetangga-nya Sumatera Barat, dimana justru hal sebaliknya lah yang berjalan (patrilineal).
Jika saat ini seseorang hanya memiliki maksimal dua anak, maka mungkin setiap keluarga tidak masalah memiliki sepasang anak, namun di China pernah diterapkan bahwa setiap keluarga hanya boleh punya satu anak, maka pembunuhan bayi sempat menjadi tradisi, karena ketidak sesuaian jenis kelamin. Seperti biasa lagi2 anak perempuan lah yang lebih sering menjadi korban.
Saat menikah, aku sebenarnya ingin paling tidak empat anak, namun riwayat kelahiran Abang (Si Sulung) sedemikan sulit-nya sehingga istri sempat ragu2 untuk memiliki anak kedua. Saat itu, karena aku berasal dari suku Batak dan istri menganggap dalam keluarga Batak kehadiran anak lelaki penting untuk meneruskan marga, dia memang sempat cukup tertekan dan akhirnya lega setelah mengetahui anak pertama kami lelaki meski melewati situasi yang cukup menagangkan dan antara hidup dan mati. Setelah merayu istri bertahun tahun, maka dia bersedia hamil kembali, dan lahirlah Adek (Si Bungsu) dan dengan demikian kami memiliki sepasang anak. Dengan segera aku melihat bahwa memang ada perbedaan yang sangat nyata pada kedua jenis anak tersebut.
Adek lahir di RS Emma Puradiredja, jln Sumatera pada hari Sabtu pagi, tanggal 8/7/2000. Saat itu merupakan tahun dimana begitu banyak anak yang lahir, khususnya dari etnis Tiongkok. Kenapa ? karena tahun Naga Emas, yang hanya terjadi setiap beberapa puluh tahun (Naga Emas terakhir sebelumnya adalah pada tahun 1940). Jika saat Abang lahir aku berada di ruang bersalin, namun saat Adek lahir, aku justru sedang di taman lalu lintas mengasuh Abang yang mendadak rewel pagi itu. Sedih juga tidak bisa melihat proses persalinan-nya.
Tahun demi tahun berlalu, dan ini-lah keluarga kami, dan dua titipan Allah ini dengan karakter-nya masing2 melengkapi puzzle kecil keluarga kami. Jika Abang cenderung santai, maka Adek lebih serius, jika Abang lebih cuek, maka Adek sangatlah perasa, jika Abang cenderung menginginkan perhatian orang tua, maka Adek justru lebih perhatian pada orang tua, jika Abang lebih senang jalan bersama teman2nya, maka Adek lebih suka jalan2 bersama orang tua-nya, jika Abang boros, maka Adek sangat hemat, jika Abang pemakan segala, maka Adek sangat pemilih terhadap makanan, jika Abang ingin dilayani, maka adiknya justru lebih suka melayani, jika Abang lebih berani, maka Adek malah lebih penakut, jika Abang sangat percaya diri, maka Adek malah tergolong pemalu, jika Abang harus sering diingatkan sholat, maka Adek malah sering mengingatkan kami sholat.
Suatu hari ketika berjalan jalan saat usianya sekitar 12 tahun, Adek berkaca-kaca, ketika aku bertanya kenapa ? dia menjawab permainan solo John Petrucci dalam Breaking All Illusions sangatlah indah, kali yang lain dia berkaca-kaca lagi, saat ku tanya kenapa, kali ini dia menjawab solo David Gilmour dalam Comfortably Numb sangat indah. Saat yang lain lagi2 dia menangis, saat ku tanya kenapa, dia bilang ingat materi ekstra kurikuler yang diajarkan di sekolah tentang kerusakan alam oleh ulah manusia. Itu sebab-nya aku dan istri harus hati2 berbicara dengan Adek, karena jika secara emosional dia terganggu maka sosok-nya yang perasa menjadi sangat sulit untuk diajak berkomunikasi.
Saat Adek masih kecil, mertua minta untuk mengasuh Adek, sejak masih bayi merah sampai dengan usia setahun dia bersama mertua-ku. Ketika aku dan istri pergi kerja (saat itu aku masih kerja di Bandung sd 2001), kami mampir ke rumah mertua (yang terletak di bagian depan komplek), dan mertua serta Adek (yang biasanya baru saja dimandikan dan berbau bedak bayi dengan rambut dikucir) biasanya akan mengantar kami sampai kedepan pagar rumah mertua seraya Adek tersenyum manis . Sejak masih kecil Adek sangat mudah tersenyum, bahkan meski saat usia enam bulan, Adek seakan akan sadar kalau ekspresi terbaik saat di foto adalah tersenyum. Tepat saat Adek kembali bergabung bersama sama kami, karena mertua kembali ke Kalimantan Barat, aku memutuskan untuk bekerja di Jakarta, jadi sampai dengan 12 tahun kemudian. Adek hanya memiliki Ayah pada Sabtu dan Minggu saja.
Saat Abang, istri-ku atau aku sendiri ulang tahun Adek lah yang selalu sibuk memikirkan hadiah, kartu ucapan selamat, dll. Sejak kecil dia sering membuat surat yang menyatakan rasa sayang-nya pada kami, atau kadang terima kasih, dan bahkan permintaan maaf. Dia juga pernah membuatkan “resep” menggunakan form resep milik ibu-nya ketika tahu aku sakit. Di lain waktu dia memberikan gambar atau origami karya nya sebagai hadiah. Adek juga memberikan foto-nya padaku dengan pesan taruh di kamar papa di Jakarta kalau2 kangen pada Adek. Kadang saat libur, aku dan istri tidur sore dan terbangun karena wangi-nya Cup Cake masakan Adek, dengan wajah gembira dia akan menyiapkan kue dalam tatakan dan menghidangkan-nya bagi kami.
Sampai saat ini Adek masih sering tidur bersama aku dan istri, dan sebelum tidur Adek akan mencium kami berdua bertubi tubi dengan berbagai jenis ciuman, mulai dari “sun tabrak” (memonyongkan dan mengeraskan bibir seraya menabrak telak sasaran), “sun tempel” (sun melekat , basah dan seakan tak bisa lepas ) serta “sun komplit” (dimana komplit berarti mulai dari dahi, hidung, pipi sampai dagu). Adek memang sosok yang hangat, dan memeluk kami kuat-kuat adalah satu dari sekian banyak ekspresi-nya.
Saat ini Adek, selain suka musik progresif, memiliki banyak hobi sebagaimana aku, mulai dari fotografi, musik progresif, drum, gitar, membaca, menggambar, jalan2, menonton film, berenang, menulis dan memasak. Namun selain itu ia juga memiliki hobi lain yang tidak dikuasai ayah-nya seperti bernyanyi. Saat menginginkan sesuatu Adek bisa menjadi sangat keras, dan dia bisa “memaksa” aku, istri-ku dan Abang untuk menyaksikan konser Dream Theater di MEIS, Ancol. Saat lagi mood, Ade mengurung diri dengan Abang di studio sambil menyetel Scene From A Memory –nya Dream Theater dari awal sampai ujung, lalu Adek bernyanyi dan Abang bermain drum.
Aku dan istri hanya bisa berdoa semoga dia menjadi anak yeng kelak berguna bagi sesama-nya, shalihah dan menjadi satu disamping tiga hal yang amal-nya tak putus bagi kami berdua, amien.
No comments:
Post a Comment