Saturday, March 19, 2016

Di Bawah Bendera Merah - Mo Yan

Bertahun tahun lalu saya sempat mendengar kebangkitan film China, yang meski pada saat itu masih dicengkam oleh sensor ketat ala komunis, namun tetap dapat menghasilkan karya berkelas dari Garin Nugrohonya China  alias Zhang Yimou. Salah satu karya terkenalnya adalah Red Shorgum (1987) yang mengorbitkan artis China Gong Li. 

Dua tahun lalu saya sempat melihat buku karya Mo Yan, salah satu sastrawan peraih Nobel dari China dengan buku berjudul Big Breasts Wide Hip, merasa tidak nyaman dengan judulnya yang terkesan "rada-rada" saya urung memboyong buku ini pulang. Nah lantas apa hubungan kedua cerita diatas ? ternyata Mo Yan adalah pengarang novel Red Shorgum yang akhirnya melambungkan sineas Zhang Yimou sekaligus Gong Li.  




Relasi antara kedua hal diatas terungkap ketika saya membaca Di Bawah Bendera Merah. Buku ini merupakan biografi singkat Mo Yan, dari pemuda yang belum memiliki masa depan jelas sampai meraih kesuksesan sebagai salah satu penulis terbaik China. Lewat buku sekitar 140 halaman ini akhirnya saya dapat menangkap teknik penulisan ala Mo Yan. Tidak sepuitis Khaled Hosseini, namun lebih apa adanya seperti gaya penulisan Aravind Adiga dalam The White Tiger. 

Pada halaman 89, Mo Yan menceritakan betapa terkagum-kagumnya dia dengan Lapangan Tiananmen saat pertama kali ke Beijing. Lalu mengunjungi makam Ketua Mao yang diabadikan dalam sarkofagus kristal. Lalu Mo Yan mengingat kematian Ketua Mao dua tahun sebelumnya, sekaligus baru menyadari tidak ada yang abadi di dunia. meski sebelumnya rakyat mengira Ketua Mao akan hidup selamanya. 

Mo Yan juga mengira kematian Ketua Mao akan membawa malapetaka bagi China, namun China ternyata bukan cuma bertahan dan malah justru berkembang. Perguruan tinggi membuka pintu seluas-luasnya bagi mahasiswa, tuan tanah dan para petani kaya bermunculan,hewan-hewan ternak semakin menggemuk, dan China bermetamorfosis menjadi salah satu negara termaju di dunia.  

Mo Yan juga menceritakan pertemuannya dengan He Zhiwu Agustus 2008, salah seorang sahabat karibnya saat masih bersekolah dulu. Sosok He Zhiwu yang bersemangat , kreatif dan memiliki kisah cinta yang mengenaskan berharap dijadikan inspirasi karya penulisan Mo Yan berikutnya.  Hal ini memberikan gambaran pada kita bagaimana Mo Yan menemukan ide di balik karya-karyanya. Mirip dengan Andrea Hirata setelah "kehabisan ide" dengan kisah pribadinya mulai menulis buku terakhirnya Ayah, dengan menggunakan pengalaman hidup orang lain. 

Salah satu yang paling menarik bagi saya, pertemuan kembali Mo Yan dengan He Zhiwu dirangkai dengan Truk Gaz 51, yang dimiliki seorang gadis teman sekelas mereka berdua, yang menjadi gadis impian He Zhiwu namun menolaknya. He Zhiwu yang akhirnya sukses sengaja membeli truk ini dengan harga mahal untuk menyelamatkan kesulitan hidup ayah gadis impiannya. Dan riwayat truk ini ternyata berakhir sebagai salah satu properti dalam film Red Shorgum. 

Mo Yan yang lahir 17 Feb 1955, ini akhirnya meraih Nobel di 2012. Selain Red Shorgum (1986), Mo Yan juga menulis The Garlic Ballads (1988), The Republic of Wine (1992), Big Breasts and Wide Hip (1995), Life and Death Wearing Me Out (2006), Frog (2011) dan Pow ! (2013). Meski diawal karirnya sempat dijuluki salah satu penulis China yang karyanya paling sering dilarang beredar (mengingatkan saya akan Pramodeya Ananta Toer), namun Mo Yan berhasil melewati semua kesulitan tersebut. 

Kita tutup review ini dengan tulisan Mo Yan di halaman 4, sbb 

"Tidak seorang pun pernah mengaitkan diriku dengan sesuatu yang baik atau berguna. Namun, jika terjadi peristiwa buruk maka semua jari diarahkan kepadaku. Orang-orang mengatakan aku ini pemberontak, isi kepalaku sangat buruk, aku membenci sekolah dan guru-guru" 

No comments: