Wednesday, March 02, 2016

Hand Cannot Erase - Steven Wilson

Meski selama ini saya menyukai Porcupine Tree, juga karya-karya Wilson sebagai sound engineer saat misalnya membidani Opeth ataupun Orphaned Land, namun saya tak pernah benar-benar eksplorasi album solonya. Sampai dengan saat melihat tiga album solo Steven Wilson ternyata bertengger dalam 100 album progressive rock terbaik, pilihan Prog Magazine beserta empat album Porcupine Tree dimana Wilson berperan sebagai frontman.  

Berikut album solo Wilson yang masuk nominasi Top 100

  • The Raven Who Refused To Sing
  • Grace for Drowning
  • Insurgentes

Sedangkan berikut ini adalah album Porcupine Tree yang masuk Top 100

  • Fear of a Blank Planet
  • Deadwing
  • The Incident
  • In Absentia

Akhirnya pucuk dicinta ulam tiba, setelah barter koleksi dengan salah seorang teman sesama penggemar musik yang kebetulan memiiki koleksi Steven Wilson yakni mas Budi Rahardjo, akhirnya saya mendapat 3 album target diatas, namun saya malah tertarik dengan album lainnya yakni Hand Cannot Erase album rilisan 2015, yang justru belum ada dalam list Prog Magazine. 



Konsep dan idenya sendiri berasal dari kasus Joyce Carol Vincent (https://en.wikipedia.org/wiki/Joyce_Vincent), seorang wanita yang meninggal di apartemennya dan tak seorangpun menyadarinya selama tiga tahun, meskipun memiliki keluarga dan teman. Wilson mengekspresikan keprihatinannya dengan kehidupan modern yang begitu terisolasi. Dan album ini adalah kritik terhadap kehidupan ala kekinian, yang terkesan ramai namun justru menyimpan sisi gelap sekaligus muram. 

Album sepanjang 65 menit ini terdiri dari 11 track, dan seperti biasa dengan pengaruh era progressive tahun 1970 an, dimana Wilson memang menyukai band-band seperti King Crimson, Genesis dan Yes.Berikut ini review track per track

1."First Regret" 2:01 *
Track overture/pembuka yang dibawakan secara instrumental.

2."3 Years Older" 10:18 **** 
Permainan bass yang atraktif mengingatkan saya akan almarhum Chris Squire. 

3."Hand Cannot Erase" 4:17 ***** 
Track yang menarik, dan dihujani fill in drum yang rapat. 

4."Perfect Life" 4:46 ****
Diawali dengan narasi "She was three years older than me…", awal-awal track ini buat saya sedikit mencekam, suara Katherine Jenkins benar-benar cocok untuk narasi ini, meski setelah Wilson beraksi, suasana jadi lebih hangat. 

5."Routine" 8:58 ****
Menggunakan additional vocal, dan wanita pula (Ninet Tayeb) dalam track ini sepertinya tepat sekali, membuat track ini menjadi lebih berwarna. Kadang terpikir jika saja David Gilmour mau sebagai artis tamu di sini, bakal menjadi kombinasi dahsyat.  

6."Home Invasion" 6:24 ****
Bagi saya, track ini sepertinya menunjukkan pengaruh Opeth pada Wilson, sepertinya ini adalah buah interaksi Wilson dengan Mikael Akerfeldt, khususnya di detik ke 25 dimana permainan ritem tebal dengan palm mute,dan sound distorsi sangat terasa. Namun menjelang akhir track, nuansanya kembali berubah. 

7."Regret #9" 5:00 ****
Suara keyboard disini mengingatkan saya akan album2 Jan Hammer, baik saat masih bersama Jeff Beck ataupun Neal Schon. Dan seperti biasa bukan prog kalau tidak punya kejutan. diakhir lagu dengan petikan banjo, dan latar belakang suara anak-anak kecil sedang bermain. 

8."Transience" 2:43 ****
Petikan gitar yang merupakan lanjutan track sebelumnya, dan lalu suara sengau Wilson yang muram dan gelap. 

9."Ancestral" 13:30 ***
Disini kita menikmati flute Theo Travis yang ditiup dengan nuansa suling Jepang, Shakuhachi, kasar namun ekspresif. Ini merupakan track terpanjang dalam album ini, sekaligus mengingatkan kita kembali bahwa ini album progressive, jadi jangan kaget kalau bisa mencapai belasan menit. 

10."Happy Returns" 6:00 *****
Mendengar track ini, yang saya bayangkan seakan akan ini merupakan track tercecer dari The Wall. Wilson dan seperti juga Radiohead, Pink Floyd, lagi-lagi membuktikan progressive rock tidak harus memiliki komposisi kompleks.  

11."Ascendant Here On…" 1:54 ****
Sangat cocok menjadi track penutup sekaligus mengakhiri album yang bernuansa muram dan gelap ini. 


Akhir kata, meski karya solo, album ini bisa dibilang masterpiece Wilson bahkan buat saya melewati level Porcupine Tree , lirik yang dalam, nuansa kegelapan dan muram, musik yang indah meski sederhana, dan seperti biasa sound yang bersih dan bening yang memang merupakan ciri khas Wilson membuat album ini terasa menonjok jiwa. Jangan kaget kalau melodi gitarnya juga cukup menohok, tidak lain dan tidak bukan karena sektor ini menjadi tanggung jawab Guthrie Govan, dan jangan lupa kandidat favorit saya saat audisi pengganti Portnoy di Dream Theater yakni Marco Minneman yang menggawangi drum, bersama Chad Wackerman yang merupakan jebolan band gitaris jazz papan atas Alan Holdsworth.   

1 comment:

Budi Rahardjo said...

Salah satu album yang saya sukai. Luar biasa kerennya album ini. Jadinya diputer berkali-kali. Selain itu video2nya (di YouTube) juga keren-keren.

Jreng!