Wednesday, June 20, 2018

How The World Works Buku #4 dari 4 : “The Common Good”- Noam Chomsky




The very design of neoliberal principles is a direct attack on democracy.

Noam Chomsky


Resensi kali ini adalah bagian keempat sekaligus terakhir dari kompilasi How The World Works, yang merupakan  kolaborasi dari empat seri tulisan mengenai analisa dan investigasi Chomsky.


  • What Uncle Sam Really Wants,
  • The Prosperous Few and the Restless Many,
  • Secrets, Lies and Democracy, and
  • The Common Good.


Sama dengan buku ketiga, buku keempat ini pun berbentuk wawancara dengan Chomsky yang fokusnya kali ini membahas kebaikan bersama alias The Common Good. Ide dasar dari wawancara ini adalah buku The Politics karya Aristoteles. Dalam buku ini, Aristoteles meyakini bahwa demokrasi sepenuhnya adalah kegiatan partisipatoris dengan tujuan mencapai kebaikan bersama. Maka demokrasi, harus bisa menjamin kedudukan yang relatif setara, kepemilikan yang moderat dan tidak berlebihan, serta kemakmuran untuk semua. 

Jadi menurut Aristoteles, jika terjadi kesenjangan ekstrim antara si kaya dan si miskin, maka kita tak mungkin bisa bicara serius soal demokrasi, Karena demokrasi sejatinya bertujuan untuk membentuk wellfare state, alias negara dengan kesejahteraan. Sayangnya jika pemikiran Aristoteles ini dipresentasikan dalam konteks kekinian bisa jadi beliau ditangkap karena dianggap berpaham radikal. 

Pada tahun 1940 an di Amerika ada sekitar 1000 reporter yang mendalami masalah perburuhan, saat media dikuasai kelompok pengusaha yang dekat dengan pemerintah maka hanya sekitar 7 reporter yang masih menjadikan issue buruh sebagai spesialisasinya. Hal ini dengan gamblang menunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa. Dan headline media massa bisa  jadi bukan lagi berita yang layak tayang, namun disesuaikan dengan kepentingan pengusaha (situasi ini mengingatkan saya akan penggunaan frekuensi milik publik yang menjadi corong kampanye Partai Perindo di TV milik pengusaha HT, silahkan cek link https://nasional.kompas.com/read/2017/05/14/11484071/kpi-kemenkominfo.diminta.evaluasi.izin.empat.tv.terkait.iklan.perindo)

Definisi tentang kemajuan juga sering sekali berbeda dari sudut pandang tertentu, misalnya seperti yang terjadi di Trinidad. Bagi kebanyakan masyarakat tidak adanya transportasi massal dan kondisi jalan yang rusak membuat masyarakat menderita. Namun ketika mereka memutuskan membeli kendaraan, maka pengusaha kendaraan bermotor untung, saat mereka membeli bahan bakar, maka pengusaha bbm yang untung, ketika pemilik kendaraan sering ke bengkel krn rusak akibat kualitas jalanan, maka pengusaha bengkel yang diuntungkan. Karena itu kondisi jalan rusak dan tanpa transportasi massal justru  bisa jadi malah menguntungkan kolusi penguasa (dan tentu saja pengusaha) karena transaksi ekonomi justru mengalir dengan deras, meski mengabaikan kepentingan maysrakat banyak. 

Chomsky juga menyinggung soal Timor Timur khususnya pidato Horta saat mengatakan Xanana Gusmao adalah sosok yang lebih pantas menerima Nobel perdamaian. Konteks yang diangkat Chomsky adalah pentingnya pengakuan atas perjuangan. Namun Chomsky juga mencatat soal Timor Timur bukan melulu soal politik, namun konspirasi Australia dan Amerika terkait potensi minyak di celah Timor Timur.

Selain Indonesia Chomsky  juga menyinggung sedikit soal feodalistis di India, saat beliau ke bandara dimana 2 mil sebelum masuk wilayah bandara, jalanan ternyata ditutup untuk waktu yang tak bisa diprediksi hanya karena menunggu sosok VVIP alias perdana menteri. Budaya feodalistik seperti ini bagi Chomsky akan menyulitkan jika harus menuju kesejahteraan bersama. 

Pada bagian akhir ada kesimpulan si pewawancara yang menarik, bahwa meski di kenal luas di luar Amerika, Chomsky adalah sosok yang dikucilkan media massa, dan juga oleh lingkaran illuminati di Manhattan, meski memiliki pemikiran yang cemerlang. 



No comments: