Meninggalkan kawasan Pasir Berbisik, Jeep Hardtop berhenti sekitar 1 km dari pura, dari sini kita bisa menaiki kuda dengan tarif Rp 20,000 sampai pura atau Rp. 50.000 sampai kaki tangga, atau bisa memilih untuk jalan kaki saja mengarungi samudera pasir.
Saya sekeluarga memutuskan untuk jalan kaki, sesampai di pura, kami istirahat sebentar dan minum teh pucuk harum serta menunaikan tuntutan tubuh dulu di toilet empat pintu di kaki gunung Bromo. Tadinya saya pikir Jeep Hardtop berhenti untuk memberi kesempatan bagi penduduk yang berprofesi sebagai penunggang kuda, ternyata menurut Mas Ion, karena 2 km menjelang kawah merupakan daerah rawan dan getaran dari kendaraan dapat memicu aktif-nya gunung Bromo. Batas ini ditandai dengan adanya puluhan patok2 beton yang mengelilingi radius di sekitar kawah. Jika sudut pemotretan tepat, puluhan tiang beton ini akan menambah eksotis hasil foto anda.
Lalu kami memulai lagi pendakian di pasir menuju ke tangga yang nyaris vertikal menuju bibir kawah. Tak terasa pasir masuk mulut, dan saat gigi mengatup terdengar suara kres2, sesekali terpaksa saya meludah untuk membuang pasir tersebut. Debu beterbangan dengan tebal-nya karena jalur kuda digabung dengan jalur manusia. Belum lagi mata harus awas karena banyak-nya kotoran kuda segar di jalur ini. Setelah mendaki sekitar 1 km lagi, sampailah kami di tangga menuju kepuncak yang terdiri dari 245 anak tangga. Untung-nya per sekitar 60 anak tangga ada tempat istirahat yang muat untuk sekitar 4 sd 5 orang. Saya kehabisan napas dan terpaksa sekitar 4x berhenti untuk memulihkan stamina. Sayang di tempat istirahat ini terlihat berbagai sampah seperti botol air mineral, bungkus mie instan dan lain2. Sekiranya saja penduduk Bromo mengerahkan satuan adat untuk membersihkan areal ini seperti yang terjadi di Kuta, alangkah bersih dan nyaman-nya lokasi ini bagi wisatawan.
Sesampai diatas terlihat kawah ini sudah lebih besar dibanding saat pertama kali saya melihatnya di tahun 1994. Asap mengepul cukup tebal, dan di bagian ujung, terlihat tanpa pagar dan berbeda dengan Tangkuban Perahu yang kawah-nya cukup jauh dari bibir gunung, di Bromo kawah-nya terlihat dekat dan berjarak sekitar sepelemparan batu. Bau belerang menusuk cukup tajam dari kawah gunung. Saat pulang kami menempuh jalur non kuda, meski agak memutar namun tidak terganggu dengan kotoran kuda dan debu.
Saat membersihkan lubang hidung dengan tissue basah, tissue langsung jadi hitam berpasir, lalu kami mengakhiri rangkaian perjalanan Pananjakan 2, Bukit Teletubbies, Pasir Berbisik dan Kawah selama sekitar 7 jam ini.
Hemm rasanya puas sekali bisa menjelajahi empat lokasi sekitar Bromo dalam waktu 7 jam, benar2 tidak percuma Bromo masuk kategori gunung terbaik nomor tiga didunia yang layak didaki tanpa menggunakan peralatan khusus, yang bahkan mengalahkan Gunung Fuji yang ada di urutan 9 menurut Lonely Planet.
Link selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2013/08/inspirasi-dari-jawa-timur-13-desa.html
No comments:
Post a Comment