Untuk wisata secara lengkap sebaiknya memastikan hal2 ini sudah oke, misal kondisi tubuh kita sehat, jaket tebal sebagai penghangat tubuh, syal untuk menutupi bagian leher dari hawa dingin (kalau penduduk Tengger biasanya menggunakan sarung), sarung tangan, kupluk yang dapat menutupi telinga kita, dan kaos kaki yang tebal, dan juga membawa obat-obatan ringan plus satu lagi senter. Sebaiknya juga membawa masker karena tebal-nya debu di jalur kuda menuju bibir kawah.
Jam 03:00 pagi, saya di telepon Mas Ion, suku tengger yang berprofesi sebagai driver Jeep Hardtop 4x4 untuk segera bersiap. Satu Jeep Hardtop diisi dengan maksimal enam penumpang. Namun jika ada tambahan maka diminta membayar Rp.50.000 per orang.
Saat tahun 2004 saya kesini, kami tiba sudah malam, jalanan sangat sepi dan saya di rombongan satu2nya yang pernah ke sini tidak begitu hapal jalan karena terakhir ke sini saat tahun 1994 dengan menaiki angkutan pedesaan. Tiba2 ada lampu jip menyorot dari belakang dan terkesan hendak mendahului padalah jalan-nya sangat sempit. Kemanapun saya berbelok, dia seakan akan sengaja mengikuti. Suasana mobil menjadi panik, maklum rombongan terdiri dari anak2 dan wanita. Saya percepat mobil, namun mobil yang dibelakang juga mengikuti, lantas melihat ada jalan kecil kekiri saya langsung banting setir, dan lagi2 si mobil mengikuti. Waduh.. jalan-nya buntu, dan dari mobil dibelakang turun beberapa pria dalam kegelapan dengan sarung dileher-nya sambil membawa senter, saya siap2 akan melawan, eh ternyata dengan ramah-nya mereka bertanya mau kemana, dan apakah mau diantar serta kalau tidak keberatan menawarkan jip sewaan ke Pananjakan 1. Upss hampir saja jantung copot, maklum kebanyak nonton film2 Hollywood. Kalau mau ke Cemoro Indah bukan ini jalan-nya, tetapi ke Cemoro Lawang.
Lanjut ke petualangan kali ini, Mas Ion cerita jalan sengaja dibiarkan rusak agar mobil2 pribadi tidak bisa masuk. Dengan demikian paguyuban berjumlah 220 Hardtop dan sekitar 50 an yang ilegal benar2 mendominasi jalur ini mulai dari penjemputan ke tempat menginap sampai diantar kembali. Untuk 2 lokasi Pananjakan dan Kawah biaya-nya sekitar Rp. 350.000 per Jeep Hardtop, namun jika komplit dengan Pasir Berbisik dan Bukit Teletubbies, Rp. 600.000 per Jeep Hardtop (kedua tarif ini menggunakan tarif peak season) . Sayang juga ya, padahal jalan dapat tetap dibuat bagus, namun sekaligus tetap menegakkan larangan bagi mobil pribadi mengingat sempit dan terjal-nya jalur.
Setelah Jeep Hardtop berhenti, kami melanjutkan jalan kaki mendaki sekitar 1,5 km di jalan yang luar biasa jelek dan dalam keadaan gelap gulita, sambil didampingi sekitar 4 penunggang kuda yang tak mau pergi meski kami sudah menolak naik. Sepertinya mereka yakin sekali kalau kami berubah pikiran di tengah jalan. Rasanya seperti diikuti rombongan srigala yang menunggu korban-nya melemah. Tak lama Ibu saya yang berusia 77 tahun akhirnya menyerah dan lalu kakak perempuan yang memang berbadan bongsor juga menyerah, lalu disusul istri saya sendiri. Tarif kuda keatas Rp. 100.000 sedangkan arah kembali Rp. 50.000.
Di satu titik mendadak para penunggang kuda, berhenti mungkin karena mulai menyadari sisa rombongan tetap tidak mau menggunakan jasa mereka. Lalu kami sampai di satu pelataran dengan 300 anak tangga keatas. Kami istirahat sebentar dan saya memesan minuman Susu Jahe panas. Lalu lagi2 kami mendaki dalam gelap, Ibu dan Kakak yang akhirnya menyerah memilih bertahan di bawah anak tangga. Namun ternyata di Pananjakan 2 ada jasa gendong, sayang-nya baru kami ketahui kemudian. Waduh benar2 menyesal tidak membawa senter, apalagi menyadari ternyata saat jalan pulang, ada tiga bagian anak tangga yang separuhnya sudah jatuh ke jurang dibawah-nya termasuk pondasi pengaman-nya . Seandainya saja kami terperosok, waduh benar2 tidak tahu apa yang akan terjadi.
Akhirnya sampailah kami di atas , ada pelataran dengan luas sekitar 100 m2, dengan pemandangan dua arah, yang satu di sebelah kiri ke arah matahari terbit dan dibagian depan kearah tiga gunung, Bromo (2392 m), Batok (2440 m) dan dibelakang-nya berdiri dengan angkuh gunung Semeru (3676 m). Pemandangan ini seolah olah dikelilingi lautan pasir / caldera (2300 m). Pemandangan di sini spektakuler, sayang sebagian pengunjung meloncati pagar pengaman, dan memilih berdiri di bibir jurang seraya menghalangi pandangan orang2 yang mengambil foto dari sisi dalam pengaman. Saya terpaksa menegur dua gadis remaja yang terus menerus menghalangi sudut pemotretan saya, serta seorang turis wanita asing. Dalam kegelapan saya melihat sebagian turis asing memilih melanjutkan pendakian melewati puluhan anak tangga tambahan keatas, namun karena menurut beberapa penunggang kuda pemandangan-nya persis sama namun dengan ketinggian yang berbeda, kami tidak ikut naik.
Lokasi pengamatan di Pananjakan 2 ini seingat saya sangat berbeda dengan Pananjakan 1, yang lokasi parkir Jeep Hardtop-nya lebih dekat ke tempat pengamatan. Secara ketinggian Pananjakan 1 lebih tinggi, namun kadang tertutup kabut, dan kalau dari lokasi Cemara Indah, untuk ke Pananjakan 1 harus melewati kaldera. Namun kalau soal makanan dan minuman sepertinya ada mebih banyak warung di Pananjakan 1 dibanding 2.
Saat pulang saya kaget melihat Si Bungsu mengenggam beberapa kuntum Edelweiss yang dia beli di penjual disekitar Pananjakan, upss saya benar2 kaget dan menyampaikan ketidak setuju-an saya, namun apa daya ada penjual ya ada pembeli. Semestinya larangan mengenai ini harus lebih dikontrol secara ketat. Pantasan saja Si Bungsu sepanjang jalan menyanyikan lagu2 dari film Sound of Music.
Link selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2013/08/inspirasi-dari-jawa-timur-10-bukit.html
No comments:
Post a Comment