Esok paginya kami berkemas menuju Batu, saya minta Mas Munir melewati lokasi lumpur, setelah sejam dari Hotel tak lama kami melihat tanggul tanah setinggi 13 meter di sepanjang jalan. Kami lalu berhenti dan masuk ke areal yang dijaga oleh penduduk sipil. Kami lalu naik tangga darurat ke atas, dan menemukan sebuah pos ojek dan warung. Setelah mengambil beberapa foto yang menyisakan ujung ranting pohon dan sebagian ujung atap. Kami ditawari naik ojek ke pusat semburan,tetapi dengan melewati lumpur yang sudah relatif kering.
Tarif ojek Rp. 25.000 / orang, namun jika melewati perbatasan desa, kita harus membayar lagi sekitar Rp. 10.000 / orang. Sepanjang jalan tukang ojek yang ternyata juga korban, cerita kalau lumpur ini menenggelamkan 16 desa,4 kecamatan dengan kurang lebih 30.000 penduduk, 10.426 rumah, 30 pabrik, di 600 hektar lahan dengan lumpur setinggi 10 meter. Debu beterbangan saat kami melintasi jalan tanggul selebar sekitar 3 meter, yang dipenuhi kerikil. Di sebelah kanan nampak jalan raya Porong 13 meter dibawah tanggul. Sepanjang jalan terlihat bangunan dibawah Tanggul yang sudah ditinggal penghuni-nya, Masjid, Sekolah Dasar, dan rumah penduduk. Meski sudah menyembur sejak 29/5/2006, namun hingga blog ini ditulis semburan tersebut tidak pernah berhenti.
Saat ini sebagian penduduk desa berprofesi sebagai tukang ojek, dan menjadikan lokasi ini menjadi tempat wisata. Sepanjang jalan ada beberapa pos ojek lagi dan lengkap dengan sosok parodi ARB dengan baju partai tertentu serta monumen sederhana. Lalu pos ojek yang lain dengan bendera partai lain-nya serta spanduk2 dan poster. Tukang ojek menjelaskan bahwa mereka sudah pernah mencoba membuat batu bata dari lumpur ini , sayang-nya saat di bakar ternyata retak.
Mendekati pusat semburan nampak menara2 listrik tegangan tinggi tanpa kabel dan sebagian terlihat melengkung di hantam banjir lumpur. Lalu mesin2 raksasa penyedot lumpur, pipa2 besar yang mengalirkan lumpur ke sungai Porong serta beberapa ekskavator raksasa. Tak lama tanggul terlihat buntu, dan kita harus turun ke samudera lumpur berbau sangit (seperti plastik yang dibakar).
Turun dari tanggul, kami mulai menginjak lumpur kering yang aneh-nya terasa di kaki seperti menginjak agar2. Si Sulung bahkan mengatakan seperti jalan diatas bubur lemu (dengan satu kata menurutnya “enyoy…”), karena memang lapisan yang sudah mengering bisa bergerak naik turun. Dan sebagai pengunjung kita tidak diperkenankan melintas jalur baru, dan hanya melintas jalur yang dipenuhi jejak pengunjung sebelum-nya. Situasi ini mengingatkan saya akan cerita komik Storm saat melintasi lokasi penuh dengan jebakan, siapa yang melanggar akan langsung celaka saat itu juga.
Mendekati pusat lumpur akhirnya langkah kami terhenti karena sudah terlalu berbahaya, nampak dua gundukan yang menurut tukang ojek sebelum-nya tidak ada dan muncul begitu saja akibat desakan kuat dari dasar bumi. Terlihat beberapa sungai kecil dengan air berbau menyengat mengalir dari sumber asap putih di pusat semburan. Tukang ojek menambahkan, tadinya ada empat semburan, namun lamat2 menyatu menjadi satu, lalu mereka cerita juga tentang berbagai metoda yang pernah dilakukan termasuk menenggelamkan bola2 beton ke pusat semburan.
Cerita menarik di lokasi ternyata salah satu bangunan pabrik yang terkubur adalah pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS), tempat Marsinah bekerja. Bagi yang pernah mengikuti kasus Marsinah, ybs dikenal sebagai aktivis buruh yang sangat vokal. Tukang ojek di lokasi menceritakan rumor bahwa Lumpur Lapindo itu adalah akibat kemarahan Tuhan, karena belum jelasnya siapa dalang dan pelaku pembunuhan terhadap Marsinah. Uniknya bulan dimana Marsinah dianiaya dan dibunuh sama dengan bulan terjadinya semburan 13 tahun kemudian. Mengenai benar atau tidaknya, hanya Allah yang tahu. Melihat kerusakan alam yang ditimbulkan oleh lumpur ini, perasaan saya mengatakan sepertinya tinggal waktu saja daerah ini menjadi sinkhole raksasa atau sangat mungkin menjadi Bromo kedua, nauzhubillah min dzhalik.
Link selanjutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2013/08/inspirasi-dari-jawa-timur-7-batu.html
No comments:
Post a Comment