Thursday, August 13, 2015

Menjadi Enterpreneur Part #1 of 7 : Mengawali Mimpi



If you don't design your own life plan, 
chances are you'll fall into someone else's plan. 

Jim Rohn

Sejak kecil saya mengamati Ayah almarhum, yang bekerja di Perum Pos dan Giro (sekarang PT Pos Indonesia) bekerja keras, dan pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Bagian Umum Pusat Perencanaan. Namun meski kerja puluhan tahun,  saat pensiun, untuk langganan media kesukaan ayah seperti Koran Tempo, Majalah Tempo dan Jakarta Post saja, sepertinya sudah membebani keuangan Ayah. Jadi menurut saya apa yang dikatakan Jim Rohn diatas benar sekali, jika kita tidak memiliki mimpi kita sendiri maka kita akan menjadi bagian dari (mewujudkan) mimpi orang lain, dan lalu "dicampakkan" (jika dianggap sudah tidak berguna bagi perusahaan). Mungkin terdengar kasar, namun kenyataan-nya anda memang cepat atau lambat akan diganti dengan sosok yang lebih muda, atau lebih murah, atau lebih bagus, atau apapun alasan yang digunakan perusahaan. 

Dunia enterpreneur sejujurnya bukan hal yang benar-baru bagi saya, saat SD saya pernah membuat perpustakaan bersama teman-teman sekelas, saat SMA saya sempat jualan kartu pos yang di gambar sendiri, saat kuliah pernah jualan minuman botol (meski hanya sehari), dan lulus kuliah sempat membantu usaha katering kakak.  Saya juga pernah membuat usaha fotografi kecil-kecilan dengan teman seangkatan kuliah. Bahkan saat menjadi Division Manager di Metrodata saya pernah jualan keripik singkong pedas (sekalian membantu Ibu yang ingin memiliki kegiatan meski sudah berusia lanjut). 

Tahu pentingnya memiliki jiwa enterpreneur, saya berusaha menularkannya ke Si Sulung dan Si Bungsu yang masing-masing pernah membuka kursus drum dan piano. Hanya saja memang tidak ada yang benar-benar secara serius dijalani. Saat di Sekolah Alam mereka juga turut berjualan bakwan udang, dll. 




Mari kita kembali ke tema blog kali ini, dimulai saat pindah ke Griya Bandung Asri tahun 1997 (Setelah menikah tahun 1994), maka istri mengambil inisiatif untuk buka praktek pribadi. Karena rumah kami yang beralamat di Blok I3 No 17 cuma berukuran 144 m2 (Dengan tanah 164 m2), maka pada awalnya praktek istri hanya menempati paviliun rumah. Kami sediakan kursi tunggu ala kadarnya, dan semua fungsi dijalankan istri sendirian, yakni menerima pasien, menimbang, mengukur tinggi badan, diagnosa, peracikan, kasir dan pemberian obat. Hari pertama tidak ada pasien, begitu juga hari kedua, namun alhamdulillah telor pecah di hari ketiga saat pasien pertama datang. Saya yang begitu gembira sampai-sampai menyediakan minuman dan mengajak pasien pertama berbicara ngalor ngidul layaknya sahabat yang lama tidak bersua. 

Moral of The Story 
  • Kalimat Jim Rohn sebagai pembuka diatas, adalah kiriman seorang teman yang sedang memulai peruntungannya dalam bisnis makanan supplemen. Namun kalimat itu terus mengiang-ngiang dalam benak saya, dan menjadi pendorong untuk bisa memulai usaha, dan mengubah klinik kecil yang lebih berorientasi praktek pribadi menjadi klinik dengan berbagai fasilitas layanan. 

No comments: