Thursday, February 25, 2016

Ayah - Andrea Hirata

Meski sebelumnya telah membaca seluruh karya Andrea Hirata, menemukan buku ini tetap membuat saya gembira. Sebenarnya cukup aneh, karena tema yang digarap oleh Andrea Hirata, masih itu-itu saja alias kehidupan suku Melayu di sekitar Belitung. Sepertinya tidak ada buku Andrea yang sifatnya benar-benar diluar kehidupan di Belitung. Dalam tetraloginya memang ada beberapa novel seperti Edensor yang akhirnya memotret dunia, namun tetap saja tidak lepas dengan Belitung. 

Setelah setengah buku, sebenarnya saya masih heran kenapa beberapa teman memuji buku ini, karena meski sudah di halaman seratus sekian, yang digambarkan oleh Andrea masih seputar kehidupan anak sekolah menengah di pedalaman. Namun menginjak halaman 150 an, mulai telihat benang merah yang menjadi fokus dari buku ini. 




Meski temanya tidak sekaya buku-buku awal, terlihat teknik penulisan Andrea semakin mengalir lancar lengkap dengan bumbu humor disana sini. Sesekali Andre menggunakan ungkapan yang menunjukkan luasnya pengetahuannya misalnya saat menggambarkan perubahan perasaaan dari panas ke dingin secara mendadak, dia menggunakan Gunung Kilauea, yang laharnya langsung mengalir ke laut lepas. 

Salah satu yang menarik dalam buku ini adalah puisi-puisi yang indah, yang dalam buku ini diciptakan Sabari sang tokoh utama dan kadang ayahnya. Meski demikian ada beberapa hal yang mengganggu misal di halaman 55 ketika Toharun salah satu tokoh dalam buku mengatakan hanya ada dua macam lelaki, yang gagal dan sukses, 80% sukses, sisanya 30 % gagal. Entah Andrea ingin menunjukkan kemampuan metematika Toharun atau memang ini merupakan kesalahan. Atau lagi-lagi Toharun di halaman 67 mengomentari penyakit Marlena sang tokoh utama wanita yang dia sinyalir sebagai penderita bisolar alias kepribadian ganda, dan bukannya bipolar disorder. Juga di halaman 71, saat Bu Norma guru mereka bertanya 100 itu berapa persennya 400, pada Toharun, dan lalu Bu Norma menjawab 30%. Agar tidak mengganggu, mungkin lebih baik menganggap ini cara Andrea menulis humor. Berikut salah satu puisi yang menarik di antara tebaran puisi-puisi lainnya dalam buku ini;

Rindu yang kutitipkan melalui kawan
Rindu yang kutinggalkan di bangku taman
Rindu yang kulayangkan ke awan-awan
Rindu yang kutambatkan di pelabuhan
Rindu yang kuletakkan di atas nampan
Rindu yang kuratapi dengan tangisan
Rindu yang kulirikkan dalam nyanyian
Rindu yang kusembunyikan dalam lukisan
Rindu yang kusiratkan dalam tulisan
Sudahkah kau temukan ?

Kejutan di akhir cerita, bahwa novel ini ternyata tidak ada hubungan dengan novel sebelumnya, meski pada awalnya saya kira tokoh ayah ini adalah tokoh ayah yang sama dalam novel sebelumnya. Jangan harap bertemu Ikal, Lintang dan lain-lain. Buku ini sepenuhnya cerita tentang cinta yang tulus tak perlu berbalas, 

Terlalu banyak tokoh dan setting waktu pengisahan yang maju mundur juga cukup menimbulkan kebingungan sendiri. Namun pelan-pelan saya akhirnya bisa merangkai satu demi satu fragmen buku ini membentuk urutan yang lebih mudah dipahami. 
  
saya kira, meski semua yang manarik dari kehidupan Andrea sudah habis ditulis, dan Ayah merupakan novel yang sepertinya sudah merupakan materi sisa, namun karena teknik penulisan Andrea juga berkembang, maka novel ini tetap berhasil diselamatkan oleh Andrea, khususnya lewat humor-humor menggelitik sepanjang buku. Dan tetap saja menjadi salah satu buku yang layak koleksi. 

Saya tutup resensi ini dengan nasihat ala Melayu sbb;

"Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi."

No comments: