Saat anak-anak
masih kecil, Garut termasuk favorit kami sekeluarga, khsusnya kawasan Cipanas. Kami
paling sering menginap di Sumber Alam, pernah sekali di Sabda Alam, lalu sekali
di Danau Dariza dan pernah juga sekali di Tirta Alam 2. Untuk kuliner dulu, kami
biasanya memilih Restoran Pujasega Jalan Otto Iskandar Dinata. Saat mertua
masih ada, ternyata Garut juga merupakan destinasi favorit keluarga mertua.
Saya sendiri
lebih suka Sumber Alam, karena kita bisa menikmati air panas secara private,
sementara lokasi lain cenderung menyediakan kolam bersama. Namun semakin
menjauhi Gunung Guntur, suplai air panasnya pun semakin terbatas. Sebagian yang
benar-benar ingin nuansa yang lebih alami tanpa tv, tanpa listrik dan
menggunakan perahu, akan memilih Kampung Sampireun, sekitar 13 km dari Cipanas.
Bagi saya
sekeluarga karena pernah beberapa kali terjebak di kemacetan luar biasa di
Nagreg, istri lebih suka mencoret Garut dari alternatif destinasi wisata kami. Meski
secara jarak hanya butuh 1 jam, asalkan tidak bentrok dengan hari gajian atau
bubaran shift karyawan Kahatex. Sepanjang jalan kita bisa menikmati Ubi Cilembu
dan Tahu Sumedang yang banyak tersedia persis sebelum masuk Nagrek. Selain itu
banyak rumah makan tradisional seperti Restoran Asep Stroberi yang terkenal
dengan Nasi Liwetnya.
Sabtu lalu, terkait
acara Bakti Sosial FK Unpad 87 sekaligus reuni 30 tahun, istri minta saya untuk
mendampinginya, karena kebetulan dia diminta menjadi salah satu panitia.
Alhasil kami berangkat Sabtu 22/7/2017 dini hari dengan enam kardus berat
berisi obat yang nyaris memenuhi bagasi, untung saja Dahon (Dan tentu saja helm
berikut sepatu) saya masih bisa diselipkan, sehingga saya bisa menjalankan
agenda pribadi sambil menunggu istri. Setelah sempat terjebak di dua lokasi
Kahatex yang menjadikan Sabtu sebagai hari gajian, kami akhirnya sarapan di
Resto Laksana, semangkok Sop Iga dan semangkok Sop Buntut panas serta Teh
Hangat , berhasil meredam situasi psikologis akibat macet Kahatex.
Acara FK Unpad sendiri
berlangsung di Pendopo Kabupaten Garut, begitu parkir mobil, lalu saya mulai
hunting, dan yang terdekat tentu saja adalah Masjid Agung Garut yang berdiri
sejak 1809. Renovasi terakhir dilakukan 1994 dan selesai pada 1998. Penampakan
masjid ini terlihat akrab, karena memang jadi cover buku laris Garut Kota
Illuminati. Saat ini saya kira julukan yang lebih pas bukan Kota Illuminati melainkan Kota Kapau, nyaris di setiap keramaian ada Rumah Makan Kapau alias Padang. Bahkan kita bisa melihat rumah gadangnya sekalian di Resort Danau Dariza. Kembali ke Masjid, saat renovasi ini, ada sedikit penyesuaian arah kiblat yang
melibatkan ahli geodesi dari ITB.
Saat menjelang
siang istri keluar sebentar, lalu kami
berdua cek Tripadvisor, dan mulai memilih destinasi kuliner, sayangnya Sate Maranggi Pak Nur terlalu jauh
dari lokasi pendopo, dan Mie Baso Parahyangan juga ternyata tutup, sehingga
kami memilih Warung Senggol jalan Ciledug 176. Ternyata masakannya memang enak
dan tidak mengecewakan. Ada tiga jenis nasi disini, Nasi Putih, Nasi Liwet dan Nasi
Jeruk. Tanpa ragu saya memilih Nasi Jeruk, lalu sepotong dada ayam goreng dengan
lumuran sambal cabai hijau, satu tusuk sate “ati ampela”, sepiring kecil jamur
goreng dan semangkok Es Cikapayang. Berdua
dengan istri total biaya sekitar 80 ribuan.
Kami lalu kembali
ke Pendopo, di bagian depan pendopo terdapat taman, lalu di depan taman nampak
sebuah bangunan berpanggung atau berkolong setinggi dua meteran, yang biasa
disebut babancong, dan berguna bagi pembesar zaman dulu untuk menyaksikan
keramaian atau lokasi pidato.
Lanjut ke link http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jalan-jalan-ke-garut-part-2-dari-3.html