Tuesday, January 30, 2018

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #3 dari 8 : Sunrise di Pantai Ketapang, Pulau Menjangan dan Pulau Tabuhan


Pagi pagi sekali saya istri sengaja berkeliling hotel dan langsung menuju halaman belakang. Sebuah dermaga kayu milik hotel terlihat menjorok sd sekitar 50 meter dari bibir pantai. Burung camar satu satu terbang dikejauhan, perahu-perahu nelayan berlayar perlahan, beberapa kapal pesiar berayun lembut tertambat jangkar ditengah riak kecil gelombang, dan nun di kejauhan nampak hilir mudik ferry besar berlayar antara Ketapang dan Gilimanuk. Diseberang sana lampu lampu Gilimanuk terlihat berpendar menyambut para musafir.




Susasana di sini sangat tenang, waktu seakan berhenti berputar, smartwatch S3 saya menunjukkan keanehan, indikatornya jam nya kerap berubah selisih satu jam, mungkin karena jarak yang sangat dekat ke Bali dimana ada selisih waktu sekitar sejam.  Kami kembali ke hotel untuk sarapan, mandi lalu bersiap. Mas Rudi  datang terlambat sekitar setengah jam, mintaa maaf karena harus menyiapkan makan siang kami dari catering langganan travel. Tercium bau wangi udang goreng menyeruak dari celah box catering.  





Sesampai di tempat pemberangkatan, kami menunggu datangnya kapal sambil menikmati kelapa muda, sekitar sejam kemudian kami memasuki kapal kayu kecil yang dikawal dua orang kru kakak beradik. Anjar nama abangnya yang kebetulan setahun lalu di PHK di salah satu perkebunan di Kalimantan sedangkan adiknya Dani, baru kelas dua di salah satu SMK di Banyuwangi.




Anjar memberikan penjelasan bahwa Pulau Menjangan sebenarnya sudah masuk kawasan Taman Nasional Bali Barat, namun karena memiliki sekitar tiga spot bawah laut, sudah lazim bagi wisatawan Banyuwangi untuk mengunjungi pulau ini juga. Tak lama akhirnya sampailah kami di Pulau Menjangan, dan perahu kami bersandar di sebuah dermaga kecil, Anjar langsung turun dan mendaftarkan rombongan ke petugas kawasan. Cuaca alhamdulillah sangat cerah, langit nampak biru terang, pantai dengan air yang sangat jernih dan pasir putih bersih. Sebuah bendera merah putih nampak berkibar gagah di buritan sebuah kapal nelayan. 

Pulau ini tidak memiliki penghuni, dan memiliki peraturan sangat ketat mengenai sampah. Jadi para pengunjung harus memastikan setiap sampah dibawa kembali pulang. Salah satu hewan yang dilindungi di pulau inilah sebagaimana namanya yakni menjangan, sayang kami tak sempat eksplorasi dan belum menemukan satupun menjangan.

Lalu kami lanjut berlayar, sebelum menyemplung ke dalam air, karena memang sudah menjelang siang kami memutuskan makan sambil mengelilingi pulau sampai ke sisi dimana terlihat patung Ganesha dan sekumpulan orang sedang melakukan upacara. Kami memutuskan untuk makan siang dahulu sebelum menceburkan diri ke air. Wangi udang goreng semerbak mewangi, dan menimbulkan rasa yang sangat nikmat saat di”totol” ke sambal tomat terasi khas Banyuwangi yang tersohor nikmat.




Kami langsung menyemplung ke air, anak-anak seperti biasa tak menggunakan pelampung, saya memilih tetap memakai, karena tidak mudah juga berenang berdampingan dengan istri yang sedikit takut jika berenang di laut  lepas. Arus ternyata sangat kuat, hanya sebentar menikmati, kami langsung terseret meninggalkan kapal. Setiap kali berenang menuju kapal setiap kali juga kami harus kembali diseret arus menjauhi kapal. Saya mulai letih akhirnya memutuskan bergelantungan pada seutas tali diantara dua kapal nelayan yang sedang buang sauh. Si Bungsu terlihat laju mendekati kapal kami, namun akhirnya keletihan, dan melambai2kan tangan meminta pertolongan.





Dengan tenaga tersisa saya berusaha menjemput Si Bungsu, dan dapat, namun akhirnya kami kembali diseret arus dan bergelantungan kembali di antara kedua perahu nelayan, tak lama menyusul pula Si Sulung. Anjar memutuskan mengamankan istri terlebih dahulu, lalu menjemput kami dengan perahu. Anehnya kedua kapal nelayan tersebut terus mengikuti kami, bahkan ujung perahu sempat menusuk punggung Si Bungsu hingga memar saat menaiki tangga. Pada akhirnya meledaklah kami dalam tawa, karena ternyata tali kedua kapal nelayan tersebut masih melintang di dada dan pundak saya, pantesan saja kedua perahu nelayan tsb terus menerus mengikuti kami. Pelampung yang tebal membuat ikatan tali kapal tersebut tak terasa. 



   
Kuatir kami kecewa, Anjar melanjutkan perjalanan ke spot yang kedua alias Sandy Spot. Arusnya tenang dan airnya jernih. Melihat istri masih semangat lanjut snorkling, saya putuskan untuk menemaninya. Anak-anak sebaliknya terlihat letih dan memutuskan istirahat di perahu. Setelah puas berenang di Sandy Spot, kami lanjut ke Pulau Tabuhan sekitar jam 15:00. Angin bertiup kencang, nampak awan hitam mendekat. Batas wilayah hujan dan yang tidak, terlihat dengan jelas di cakrawala.  Tak lama kamipun menembus hujan yang sangat deras. Akhirnya kami berlabuh di Pulau Tabuhan, sementara hujan masih tak jua berhenti.




Terlihat beberapa warung tenda di pantai Pulau Tabuuhan yang juga tak berpenghuni ini. Kami lalu memesan kopi, pisang goreng dan mie rebus dengan telor. Sekelompok anak muda asal Surabaya yang saling bercanda satu sama lain membuat suasana terasa ramai. Dari sini kami kembali ke Banyuwangi dan sampai sekitar jam 16:40 di Hotel. Sebelum mandi, saya dan keluarga menyempatkan diri berenang sambil membersihkan sisa air laut dan pasir saat mengunjungi Pulau Menjangan dan Pulau Tabuhan. 

Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-4-dari-8.html

No comments: