Tuesday, January 30, 2018

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #7 dari 8 : Kawah Ijen


Sebelum tidur, kami memastikan semua perlengkapan sudah tersedia, mulai dari sarung tangan, senter (yang memiliki tali karet untuk diikatkan di kepala), jaket, snack, kamera, sepatu dan jangan lupa celana katun (bukan jeans).  Berjalan mendaki penuh keringat selama 3 jam, akan membuat jeans mengiritasi kulit kita, jadi sangat disarankan tidak menggunakan jeans.

Sedikit cerita mengenai Kawah Ijen yang merupakan Kawah di puncak Gunung Ijen dan terakhir meletus pada tahun 1999. Kawah Ijen memiliki air yang bersifat asam dengan kedalaman danau 200 meter. Beberapa publikasi menyebutkan Kawah Ijen merupakan danau asam terbesar di dunia. Fenomena Blue Fire sendiri merupakan satu dari dua tempat di dunia, lokasi lain yakni di Islandia. 

Jam 24:00 tepat, kami langsung menuju lobby, angin bertiup dingin, dan kami dengan perlengkapan lengkap berjalan sambil terkantuk-kantuk. Mas Rudi langsung meluncur menuju Paltuding, yakni pos perkemahan di kaki Gunung Ijen pada ketinggian 1855 DPL. Namun ditengah jalan kami mendadak berhenti, dengan meminta maaf Mas Rudi menyampaikan dia terpaksa tukaran dengan supir lain, karena rombongan lain ternyata tidak memiliki supir yang bisa mengendarai bis mini. Kami lanjut dengan supir lain namun tetap mobil yang sama dan akhirnya sampai sekitar jam 01:40.

Kegelapan langsung meyergap kami serta udara berbau belerang langsung menusuk hidung kami. Mas Rudi langsung mengenalkan kami pada Mas Nafi’an, seorang pria setengah baya bertubuh kecil namun cekatan dan dulu sempat berprofesi sebagai penambang belerang. Beliau lalu membagi2kan masker khusus, mirip poster kampanye perang gas zaman perang dunia dengan tiga buah silinder, kanan, tengah dan belakang. Kuatir susah jika harus ke kamar kecil, saya dan istri terpaksa antri cukup panjang.  Akhirnya kami pun memulai perjalanan, mendaki tanjakan berpasir, yang setiap kali maju, namun bergeser kembali kebawah.

Setelah sekitar 1 kilometer, mulai nampak pendaki yang berguguran, mula-mula pendaki yang membawa anak kecil, lalu pendaki-pendaki dewasa yang kembali pulang ke Paltuding dengan menggunakan kereta versi kecil. Setelah 2 kilometer, mulai terjadi transaksi antara pembawa kereta dengan pendaki yang keletihan, Untuk naik harus didorong dan ditarik paling tidak tiga orang. Biayanya sekitar 600 sd 800 ribu per orang. Kehadiran mereka membuat pendakian menjadi lebih sulit, karena para pembawa kereta ini “mengusir” pendaki yang menghalangi jalan mereka dengan berteriak-teriak.

Kami terus mendaki, sesekali berhenti, dan setiap kali melihat keatas, nampak barisan cahaya senter para pendaki pelan beriring2an menuju puncak. Penampakan ini terus terang membuat putus asa, tidak terlihat jalanan ini menjadi semakin mudah, malah yang terasa semakin curam saja. Napas mulai memburu, keringat mengucur deras, dan jantung berdegup lebih kencang.  Mendekati 3 kilometer, Si Sulung mulai kepayahan, meski saat SMA dia merupakan aktivis pencinta alam, kuliah 4 tahun di Tangerang membuat fisiknya tak lagi setangguh dahulu. Akhirnya dia mulai menyerah dan mengatakan pada kami agar meneruskan pendakian, dia lebih baik menunggu. Saya memutuskan rombongan berhenti dahulu, dan alhamdulillah Si Sulung akhirnya berhasil memulihkan semangatnya kembali.



Bagi yang sudah letih, ada lokasi istirahat sederhana di ketinggian 2214 dan dikenal dengan nama Pondok Bunder atau Pos Penimbangan. Sayang sekali Pondok Bunder terlihat kurang terawat meski masih terlihat gaya arsitektur Art Deco. Kenapa dinamakan Pos Penimbangan karena lokasi ini dulu adalah tempat penimbangan hasil tambang  belerang yang diambil penambang di sekitar kawah. Tambahan informasi, jangan berharap dilokasi ini akan mudah menemukan toilet kecuali di Paltuding, jadi lebih baik anda menguras isi perut sebelum pendakian dan tidak minum berlebihan saat pendakian. 



Setelah melewati 4 kilometer lebih sedikit selama 3 jam kurang empat menit, sampailah kami di bibir kawah yakni di ketinggian 2269 DPL.  Sedihnya sudah langsung diterpa uap tebal belerang yang sangat memerihkan mata, namun  tak terlihat apa-apa kecuali kabut tebal. Dalam kondisi seperti ini, untuk turun kembali sekitar 1 kilometer sampai ke lokasi api abadi sudah tidak memungkinkan, karena fajar sebentar lagi akan muncul, dan api abadi ini tak terlihat di waktu siang. Hemm persis seperti apa yang dikatakan Mas Nafi'an, melihat api abadi alias Blue Fire memang agak berbau keberuntungan, tapi kalau mau memastikan lebih baik berangkat lebih awal, misalnya memulai pendakian jam 24:00 malam.

Kami menunggu kabut berlalu dengan harap-harap cemas, sementara dari dasar kawah satu persatu penambang belerang dengan pikulan total 50 sd 60 kg naik dengan terhuyung-huyung melintasi jalan terjal berbatu-batu. Tak aneh, media asing menjuluki pekerjaan mereka ini merupakan salah satu pekerjaan paling berbahaya di dunia.







Lokasi tempat kami menunggu merupakan bebatuan yang rapuh karena lebih mirip tanah liat ketimbang batu karang. Karena itu pelataran ini juga terasa cukup licin. Salah seorang pendaki terpeleset di depan saya, untung saja tidak berguling-guling ke arah kawah. Setelah langit mulai cerah kami mengambil beberapa foto dan akhirnya sekitar jam 06:30 kami mulai turun dengan perasaan sedikit kecewa. Namun saat melewati turunan pulang, kami terkaget-kaget melihat pemandangan luar biasa indah. 

Dari lereng Gunung Ijen ini terlihat Gunung Meranti, dan dibelakangnya nampak Gunung Raung dengan warna biru tua dan diselimuti awan. Pohon eksotis nampak berbaris-baris di sela-sela kabut dan lapisan bukit, bagi saya pemandangan ini sangat lah indah. Tak berlebihan jika dianggap sekelas dengan Danau Toba atau juga Bromo. Tak habis-habisnya kami mengagumi pemandangan ini sambil terus turun ke bawah. Ternyata jalan turun cukup menyakitkan, jempol kaki menjadi nyeri karena menjadi tumpuan seluruh berat badan. Akhirnya kami sampai sekitar jam 08:00 di Paltuding.






Kami lalu meluncur kembali ke hotel, namun tiba-tiba kami harus berhenti karena nampak keramaian dan antrian kendaraan. Ternyata sebuah bis travel dengan muatan penuh turis-turis asing asal Eropa Timur menabrak pohon. Saat kami berlalu, dengan emosi salah seorang wisatawan bertubuh tinggi besar dan tegap mengejar ngejar kami dan memukul2 mobil sekuat2nya. Dia mengira kami berasal dari travel yang sama, dan menuduh kami tidak bertanggung jawab dengan membiarkan mereka terlantar di tengah jalan.  Saya membantu mas Rudi menjelaskan pada mereka situasi yang terjadi, dan akhirnya sebagian dari mereka ikut dalam mobil kami kembali ke Banyuwangi. 

Lanjut ke part berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-8-dari-8.html

No comments: