Lama penerbangan Jakarta (Soekarno
Hatta) – Tokyo (Narita) cukup membuat badan pegal, bayangkan jarak 5.778 km
ditempuh dalam 7 jam 40 menit dengan Airbus 330-300, dan dilakukan secara
nonstop. Untung saja makanan dan minuman cukup tersedia, karena memang sudah
dipesan langsung oleh TX travel, sehingga dengan menunjukkan boarding pass,
saat berangkat kami mendapatkan Chicken Rice Uncle Chin’s sedangkan saat pulang
Nasi Lemak Pak Nasser’s
Kenapa Narita ? sampai dengan sekitar 2005 Narita memang lebih dikenal sebagai Tokyo International Airport, namun gelar tersebut kini sudah di sandang Haneda. Bersama-sama keduanya kini meraih posisi nomor tiga sebagai bandara tersibuk di dunia. AirAsia memang lebih memilih Narita ketimbang Haneda, bisa jadi karena masalah cost, karena kalau dilihat sepintas Narita masih kalah keren ketimbang Changi.
Saat mendarat, kami langsung disambut Lusi, tour leader TX di Jepang, kami tak lagi sempat mandi, karena saya dan Si Sulung sudah langsung mencari kartu telekomunikasi untuk paling tidak 3 dari total 5 HP kami. Sementara istri dan Si Bungsu langsung berburu berbagai brosur yang akan banyak membantu kami dalam membuat itinerary sendiri. Waduh ternyata cukup mahal, 3 kartu dengan kuota terbatas paling tidak harus ditebus dengan sekitar IDR 2 jutaan, sedangkan kalau sewa hotspot portabel cukup 700 ribuan, namun harus memiliki Kartu Kredit.
Tak punya kartu kredit, untunglah
di bis ada wifi, dan saya akhirnya memutuskan untuk mengisi pulsa via internet
banking Mandiri, lanjut ke pembelian paket 7 hari XL selama di Jepang sebesar
IDR 200.000 per HP (HP cadangan saya dan HP Si Sulung). Entah lupa menghitung peserta saat naik bis, mendadak Rico
menghitung peserta dan ternyata ada kekurangan 2 peserta. Terpaksa bis berhenti
di jalan, lalu Rico kembali ke bandara dengan taksi, pada saat yang sama salah
satu peserta yang hilang tsb mendadak left dari whatsapp group. Rombongan tetap
lanjut dengan Lusi yang kini memegang kendali.
Selain kurang responsif
Rico juga kurang detail dalam menjelaskan, saat hari pertama setelah lupa
menghitung peserta saat naik ke bis, Rico menyarankan untuk ke wahana Harry
Potter di Disney dalam rangka menghindari antrian, sementara Harry Potter
justru adanya di Osaka alias Universal Studios.
Lalu di hari kedua Rico sempat menyarankan kami menggunakan Line 1 dan 2
ke Maihama Station saat menuju Disneysea, padahal ternyata seharusnya 3 dan 4.
Untunglah Lusi bisa mengkompensasi ketidaksiapan Rico. Lusi, yang meski tour leader lokal Jepang namun ternyata berkewarganegaraan Korea Selatan. Ibu beranak satu yang sekolah di Osaka ini adalah lulusan Jurusan Sejarah di Fukuoka Unviersity, namun sempat melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tak aneh bahasa Indonesianya terhitung fasih, dan memiliki pendekatan yang lebih pas bagi rombongan.
Untunglah Lusi bisa mengkompensasi ketidaksiapan Rico. Lusi, yang meski tour leader lokal Jepang namun ternyata berkewarganegaraan Korea Selatan. Ibu beranak satu yang sekolah di Osaka ini adalah lulusan Jurusan Sejarah di Fukuoka Unviersity, namun sempat melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tak aneh bahasa Indonesianya terhitung fasih, dan memiliki pendekatan yang lebih pas bagi rombongan.
Jalan-jalan di Jepang
sangat mulus, akan tetapi aturan menyatakan supir harus ke rest area setiap dua
jam. Kami akhirnya berhenti dulu dan setelah penumpang ke rest room, lalu melanjutkan
perjalanan. Di sini saya pertama kali mencoba toilet Jepang, yang klosetnya
dipenuhi dengan berbagai tombol, sampai kita bisa atur arah semprotan, kekuatan
semprotan, suhu air, dan bahkan tombol suara palsu untuk menutupi berbagai
bunyian yang biasa muncul saat di toilet. Hampir disetiap toilet umum juga
tersedia tissue atau cairan khusus untuk menyeka dudukan closet agar higienis
sebelum dipakai.
Meninggalkan rest area, eh
hujan deras lalu turun, sempat khawatir jika hujan terus terjadi, namun
menjelang Gunung Fuji, hujan akhirnya berhenti. Supir menyetir dengan tenang
setelah sebelumnya sempat marah karena ada penumpang yang makan dalam bis.
Selama perjalanan terlihat dia beberapa kali berbicara dengan nada tinggi dan
terkesan marah pada Lusi.
Gunung Fuji yang terakhir
meletus di tahun 1.707 ini memiliki ketinggian 3.776 meter dpl dan berjarak
sekitar 200 km dari Narita Airport yang ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam.
Kenapa 3 jam ? di Jepang ada pembatasan kecepatan, sehingga meski jalan relatif
lengang, kendaraan tetap tak bisa memacu kencang seenaknya. Gunung ini juga
dikelilingi beberapa danau seperti Danau Saiko, Danau Shojiko, Danau
Yamanakako, Danau Motosuko, serta Danau Kawaguchiko.
Rencananya kami langsung
menuju Level 5 yakni sekitar 2.305 meter dpl.
Akhirnya kami pun tiba,
dan terlihat dikejauhan Gunung Fuji tanpa salju, kami lalu masuk ke salah satu
restoran dan langsung naik ke lantai dua. untuk makan siang. Menunya dua potong
ayam goreng, nasi ketan, sepanci rebus2an terdiri dari daging ayam, berbagai
sayuran dan jamur. Dengan lahap kami
habiskan hidangan ini.
Di lantai bawah, kami
juga dibagikan lonceng keselamatan sebagai alat pengusir bahaya seperti ular
dan beruang yang banyak terdapat di sekitar Fujiyama. Untuk yang belanja
diperkenankan menggunakan toilet secara gratis.
Di bagian belakang
restoran, ada beberapa spot menarik seperti gerbang merah, kuil dan tempat air
minum dengan gayung kayu. Saya coba naik ke dek khusus yang dibuat untuk
mengamati alam sekitar, sayang kabut cukup tebal, sementara pandangan ke gunung
terhalang oleh bangunan-bangunan disekitar. Sepertinya kami berada di lokasi
dan waktu yang kurang tepat saat ke Gunung Fuji ini.
Link Berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-3-dari-8.html
No comments:
Post a Comment