Dari Gunung Fuji, kami
langsung menuju Gotemba sekitar 40 km dari Gunung Fuji. Sempat kaget melihat
satu diantara bis-bis pariwisata ternyata berlogo Hyundai, setahu saya cukup
sulit bagi produk Korea untuk menembus pasar Jepang.
Lusi cerita seharusnya Gunung
Fuji saat cuaca bagus terlihat dari parkiran Gotemba, namun lagi-lagi saya tak melihat
sosok Gunung Fuji yang seharusnya muncul. Berjalan kaki dari parkiran bis, nampak
terlihat puluhan toko dengan merk internasional, tanpa pajak pemerintah dan
harga miring asal menunjukkan paspor. Saya celingukan cari tempat sampah, namun
di Jepang ternyata memang sangat sulit menemukan tempat sampah.
Anak-anak dikasih istri jatah 10.000 Yen, untuk belanja di sini, sementara saya dan istri hanya keliling dan berusaha mengabadikan Gotemba. Si Sulung membeli sepasang sepatu Nike seharga 9.999 Yen, sedangkan Si Bungsu memilih Adidas seharga sekitar 7.000 Yen, belakangan menurut mereka sepatu dengan seri yang sama di Indonesia berharga 2x lipatnya. Sayang Si Bungsu tak mendapatkan keringanan pajak pemerintah sekitar 500 Yen, karena paspor tertinggal di bis.
Anak-anak dikasih istri jatah 10.000 Yen, untuk belanja di sini, sementara saya dan istri hanya keliling dan berusaha mengabadikan Gotemba. Si Sulung membeli sepasang sepatu Nike seharga 9.999 Yen, sedangkan Si Bungsu memilih Adidas seharga sekitar 7.000 Yen, belakangan menurut mereka sepatu dengan seri yang sama di Indonesia berharga 2x lipatnya. Sayang Si Bungsu tak mendapatkan keringanan pajak pemerintah sekitar 500 Yen, karena paspor tertinggal di bis.
Kembali ke parkiran bis,
nampak Rico sudah kembali bergabung, belakangan dia cerita ke dua anggota
rombongan yang hilang setelah pemeriksaan imigrasi diduga keras sengaja
menghilang untuk menjadi pekerja ilegal di Jepang. Mereka terindikasi sengaja
menggunakan kemudahan TX Travel mendapatkan VISA untuk masuk ke Jepang. Namun
Rico sudah mengontak kepolisian setempat dan juga KBRI.
Supir kembali terlihat
marah, karena masih ada anggota rombongan yang terlambat nyaris satu jam saat
kembali ke bis. Hal seperti ini memang selalu terjadi saat pergi berombongan. Di
Jepang ada peraturan membatasi jam kerja supir untuk mengurangi resiko kecelakaan.
Sementara hotel kami dua malam kedepan masih berjarak sekitar 150 km dari
lokasi Gotemba. Jika supir melebihi jam yang ditentukan, maka keesokan harinya
dia bisa-bisa dilarang bekerja.
Dalam perjalanan kami
melihat pemandangan spektakuler Tokyo di malam hari. Menara-menara pencakar
langit, jalan yang bersih dan lengang, jembatan-jembatan besar dan indah. Si
Bungsu sempat cerita sekilas melihat gedung Uniqlo dengan karyawan bagian
desain yang sepertinya masih asik merencanakan produk baru. Saking bersihnya di Jepang, saya kaget sendiri saat membersihkan hidung (maaf), warnanya putih tidak seperti di Jakarta yang nyaris selalu kehitaman. Saat bertanya pada Si Bungsu, ternyata dia mengalami hal yang sama.
Lusi cerita bagaimana
penduduk Tokyo lebih suka iPhone ketimbang Samsung, lebih suka hidup sendiri
ketimbang berkeluarga, juga tingginya biaya hidup seperti harga sewa apartemen
dengan kualitas ala kadarnya serta ruang super sempit yang sewanya sudah
mencapai sekitar 6 juta sd 9 juta perbulan.
Akhirnya sampailah kami
di Tokyo Bay Makuhari, hotel jangkung setinggi 180 meter yang resmi beroperasional sejak 2006 dengan 2007
kamar, dan berjarak sekitar 7 menit jalan kaki dari Kaihimmakuhari Station.
Karena sudah lewat sekitar jam 20:00, maka istri dan Si Sulung langsung ke Lawson satu lantai diatas lobby, memesan
makanan dan buah. Sekali belanja habis sekitar 3.000 Yen. Kaget juga melihat
ukuran kamarnya yang bahkan papasan dengan istri saja, salah satu harus mengalah.
Link berikutnya di http://hipohan.blogspot.com/2018/07/jalan-jalan-ke-tokyo-part-4-dari-8.html
No comments:
Post a Comment