Thursday, August 30, 2018

Mengenang Kak Eli - Kehangatan Pribadi


Mirip seperti ayah almarhum, Kak Eli adalah sosok yang hangat. Kalau aku janjian dengannya, baik ke rumahnya dulu di Cianjur, Depok (Gas Alam) atau saat di Batu, Malang juga ketika Kak Eli di rumah Ibu di Bandung. Kak Eli selalu menyongsong aku dengan senyum lebar, tentu saja lengkap pelukan dan juga ciuman.  Begitu juga saat pulang, Kak Eli kembali menghujani adiknya dengan pelukan dan ciuman hangat, mengantar aku sampai ke pagar halaman.

Bukan cuma ke aku, pada istri dan kedua anak-anak, Kak Eli juga selalu memberikan kehangatan, baik hangat ekspresi juga hangat karena tubuhnya yang besar dan empuk. Bahkan dia hapal ulang tahun istri dan kedua anakku, dan selalu berupaya memberikan hadiah spesial meski kadang Kak Eli sendiri sedang kesulitan finansil.

Kak Eli juga selalu bersedia menjadi teman bicara yang mau mendengar, terutama dengan kemampuan indra keenam yang dia miliki (meski acapkali harus dianalisa ulang, karena kesulitan Kak Eli menuangkan apa yang dia “lihat” dalam bentuk kalimat). Kadang setelah lama berdiskusi, aku baru sadar lebih banyak aku yang cerita soal hal-hal yang aku hadapi sehari-hari ketimbang mendengarkan curhatan Kak Eli yang tentu saja seharusnya tak kurang banyaknya.

Beberapa tahun terakhir, Kak Eli sempat mengelola usaha semacam warung kecil di area seluas 4m2 yang ada di klinik yang dikelola istriku. Kang Saiful, tukang yang bekerja di klinik ku sebelum dan sesudah kejadian berpulangnya Kak Eli cerita dengan haru bagaimana, Kak Eli membantunya dengan ongkos bensin, saat dia sedang bingung kehabisan uang. Bukan Cuma memberikan sesuai kebutuhan Kang Saiful, Kak Eli bahkan melipatduakan pemberiannya, karena kuatir ada apa-apa di jalan. Kak Eli menolak menerima pengembalian Kang Saiful beberapa hari setelahnya.

Edi supir di klinik cerita bagaimana Kak Eli yang sudah dia anggap sebagai layaknya Ibu Kedua, karena Kak Eli selalu menitipkan kue atau roti pada anak semata wayangnya saat dia pulang ke Banjaran libur di akhir pekan.  Sebagai tanda terimakasih, sebaliknya Edi selalu berupaya membawakan ketan siap goreng untuk Kak Eli. Karyawan lain juga selalu kebagian roti jualan Kak Eli yang dibagikannya secara gratis jika masih jua tak laku setelah beberapa hari.

Pasien-pasien di klinik ternyata juga banyak yang kehilangan Kak Eli, karena sambil berjualan, dia juga dengan ramah mengajak pasien bicara, sehingga sebagian bahkan sudah seperti sahabatnya sendiri. Saat ada bidan baru, Kak Eli juga selalu berusaha ikut membantu proses persalinan. Tak aneh, salah satu sepupu datang melayat jauh-jauh dari Pekanbaru, karena terharu mengingat Kak Eli pernah menyempatkan diri datang dari Bandung saat mereka mengalami musibah kehilangan anak. 

No comments: