Senin dinihari, 1 Juni 1992, setelah hamil 9 bulan (setelah menikah
tahun 1991), Kak Eli mengalami kontraksi dan lalu ketuban pecah saat tengah
malam, saat itu juga aku langsung menyiapkan VW Variant 1968 kesayangan, dan bersama
Mas Parno, dan Ibu, kami berempat langsung menuju kediaman dr. Pories Setyadi di
bilangan jalan W.R. Supratman 76. Namun pintu pagarnya terkunci, setelah di
ketok2 sambil menjerit-jerit panik, istri dr. Pories yang masih pakai piyama lalu
keluar dan bertanya ada apa ? Setelah kami jelaskan, istri dr. Pories langsung
minta kami ke Rumah Sakit Bersalin Limijati segera, dan minta disampaikan ke
perawat untuk berkoordinasi dengan beliau.
Belakangan, baru aku tahu, di kota-kota besar, Spesialis Kebidanan
memang tidak menerima persalinan di rumah, melainkan di rumah sakit dimana
mereka terdaftar sebagai ahli.
Seandainya saja tahu dari awal, tentu kami akan membawa Kak Eli langsung ke RS Bersalin
Limijati.
Sehari sebelumnya, aku menemani Kak Eli mencari berbagai
perlengkapan bayi, dan tak lupa kami mampir di Restoran Mie Baso Linggarjati di
depan Bioskop Dian, di kawasan Alun-Alun Bandung langganan alamarhum ayah, yang
tentu saja lebih nikmat jika dinikmati bersama Es Duren Tape Ketan Hitam yang
dijual persis depan restoran.
Kami menunggu di depan kamar bersalin dengan berdebar-debar,
sepertinya proses tidak berjalan mulus. Kak Eli cerita kemudian dia sudah kehabisan
tenaga untuk mengedan, sampai muncul bintik -bintik pembuluh dara yang pecah
diwajahnya, karena salah teknik saat mengedan. Sialnya pula, proses pembersihan
lambung tidak sempat dilakukan sebelumnya, sehingga saat mengedan, bukan hanya
bayi yang keluar tapi juga menyemprotkan seluruh sisa hasil produksi di lambung
Kak Eli, sampai2 diwajah dr. Pories menempel butiran tape ketan yang sudah
mengalami fermentasi dua kali (termasuk di perut Kak Eli), tak ketinggalan bau
durian yang menyengat. Mendengar suara
Viko menangis, Mas Parno langsung memeluk Ibu dan aku, lalu sujud syukur sambil
meneriakkan takbir.
Bagi Mas Parno, kelahiran Viko ini sangat melegakan, karena setelahnya
langsung berangkat ke Dusseldorf, Jerman untuk bekerja di sebuah restoran bernama
Neue Liebe milik Zbigniew Bleszynski (ayah kandung Tamara Bleszynski). Akhirnya
sesuai harapan Mas Parno, yang sempat kuatir Viko baru akan lahir saat dia
sudah berangkat ke Dusseldorf. Sekitar
15 hari setelah Viko lahir, aku sempat mengantar Mas Parno ke Jakarta dan
bertemu langsung dengan Zbigniew Bleszynski.
Selama Mas Parno bertugas di Jerman, Viko dan Kak Eli
tinggal bersama sama kami di rumah Ibu, dan
kehadiran mereka berdua tentu sangat membahagiakan Ayah dan Ibu, khususnya
kehadiran Viko sebagai cucu pertama mereka. Beberapa masa setelah Viko lahir,
kami selalu mengenang peristiwa itu sambil tertawa keras, dan kerap menjuluki
Viko memiliki saudara kembar dalam bentuk tape ketan.
No comments:
Post a Comment