Saat kami di Bali, tepatnya di kota Denpasar, Ayah
membelikan sepeda motor Honda bekas 70 cc. Motor merah dengan kursi berwarna
kehijauan serta tempat duduk terpisah antar pengemudi dan penumpang. Karena
ayah sendiri tidak begitu mahir mengendarai motor, maka harapan Kak Eli
tertumpah pada adik Ibu alias Paman kami terkecil yang biasa kami sebut dengan
panggilan Tulang Nawawiy.
Beliau yang saat itu kuliah di ITS jurusan Arsitektur kadang
mampir ke rumah kami di Denpasar. Dengan mantap paman lalu menjelaskan
masing-masing komponen motor, sementara Kak Eli berada di atas jok, mencoba
memahami penjelasan paman dengan mesin menyala.
Masih belum selesai menjelaskan fungsi gas dan cara memainkannya namun belum
sempat menjelaskan bagaimana mengaktifkan rem, Kak Eli sudah langsung memutar
gas, dan meluncur cepat.
Paman sontak mengejarnya sambal meneriakkan “Rem…Rem Eli
…Rem…!” namun Kak Eli masih terlalu cepat, dan langsung menerabas sekumpulan pohon
tebu di ujung rumah kami dan Brak ! . Alhasil Kak Eli menangis terisak, dengan
sekujur tubuhnya penuh dengan bulu tebu, untung tak ada cedera parah
menimpanya, begitu juga motornya. Kelak Kak Eli menjadi begitu mahir dengan
motor tsb, dan kerap terlihat “ngebut” di jalanan Kota Denpasar.
No comments:
Post a Comment