Pagi-pagi begitu bangun, saya dan istri langsung memanaskan ketupat lemak, rendang dan ayam gule bakar, hidangan lebaran titipan nenek-nya anak-anak. Setelah shalat Ied disekitar tempat tinggal saya di Grogol (masuk lokasi masjid lewat gang sebelah Hotel B Fashion) , kamipun langsung meluncur dengan taksi yang sudah dipesan saat malam takbiran. Tak terasa akhirnya kami sampai di Soekarno Hatta, dan langsung bergegas menuju meeting point yang disepakati, tepatnya di depan outlet Lion Air terminal keberangkatan. Di sana kami langsung bertemu Bu Ita, Tour Guide yang ditunjuk Angkasa Travel.
Sesampainya di Hang Nadim Airport dan pesawat mendarat dengan brutal karena sempat memantul 1x dan terkesan sulit direm, lalu kami makan siang dulu di Kopitiam Selera Resto dengan menu Ayam Penyet dan softdrink. Lalu menaiki Bis menuju Batam Center. Di Batam Center, jika bagasi anda kebetulan banyak , bisa dititipkan ke petugas bagasi di Batam Center dengan biaya 10.000 per tas, lalu tinggal diambil di Harbour Front, Singapore.
Saya sampaikan ke anak saya, “Nanti lihat deh di Batam, mobil nya beda dengan yang biasa kita lihat di Indonesia”, namun saya kecele, ternyata mobil di Batam saat ini sama saja dengan daerah lain di Indonesia. Dari Bu Sinaga yang memang penduduk Batam saya mendapat informasi bahwa saat ini tidak lagi diperkenankan impor mobil bekas ke Batam seperti dulu, namun di lain pihak mobil ATPM yang dijual, tak perlu membayar pajak. Meski harga mobil lebih murah di Batam, namun jika dibawa keluar Batam, maka pajak tetap harus dibayar. Namun satu dua masih terlihat mobil-mobil dari masa regulasi masih berlaku, biasanya dengan ciri khas huruf setelah angka menggunakan awalan “V”. Bu Sinaga sendiri mengatakan saat itu mobil mereka adalah Harrier yang dibeli dengan harga sangat murah.
Sedikit bingung ketika melihat nama ferry agak berbeda dengan yang sebenarnya, setahu saya kami seharusnya menaiki Ferry Sindo namun sepertinya kapal tersebut juga memiliki nama lain alias Queen Star 2. Saya sempat santai saja ketika gate untuk kapal kami terbuka, karena nama nya berbeda antara Tiket dengan display diatas gate. Namun ternyata itu adalah Ferry yang seharusnya kami naiki, untung istri saya teliti.
Menjejakkan kaki di Harbour Front Singapore, kami langsung disambut antrian imigrasi yang sangat panjang. Namun khusus penduduk Singapore atau Pelajar dan Pekerja yang mendapat izin bekerja di Singapore bisa langsung masuk antrian khusus. Petugas imigrasi yang inspeksi keliling mendadak meminta saya keluar barisan, karena merasa tidak melakukan kesalahan, saya bertanya “Why ?”. namun petugas dengan ketus dan nada tinggi menjelaskan bahwa dia sengaja membuka loket baru untuk mengurangi padatnya antrian. Hemm sepertinya di negara-negara dimana Indonesia mengirim TKI, selalu ada perasaan bahwa bangsa kita diperlakukan “berbeda”.
Selepas dari pos imigrasi, saya menunggu anak2 sementara istri berjalan duluan. Lalu kami bertiga keluar,.... lah istri kemana ya ? group whatsapp kami berempat yang biasa dipakai berkomunikasi paket datanya sudah saya intsruksikan untuk di matikan. Sementara tidak semua handphone dalam keadaan aktif. Kebetulan saya sama sekali tidak mendengar saat istri mencoba call. Cemas menunggu lama dan kuatir istri bersama rombongan keluar dari gate lain, saya berusaha tanya sana sini. Petugas pertama menyarankan saya ke lantai 2, namun kami tidak menemukan bagasi atau group atau istri saya disana. Petugas kedua di bagian informasi menyarankan saya kembali masuk lewat gate untuk keluar, dan pada saat yang sama di loket informasi nampak sepasang kakek nenek member travel kami yang juga terpisah dari rombongan. Kakek dan nenek nampak begitu lega melihat saya, padahal saya sendiri juga masih sama tersasar.
Akhirnya saya kembali ke gate keluar diikuti pasangan kakek dan nenek yang tersesat dan kedua anak saya, namun petugas pria berparas India dengan tegas dan galak melarang kami semua masuk dan mengambil bagasi, melainkan hanya saya sendiri. Barulah akhirnya saya bertemu istri di area pengambilan bagasi. Nantinya sepasang kakek dan nenek ini juga sempat mengalami masalah lain, yakni diare dan kehilangan passport.
Karena travel perlu waktu memasukkan barang ke Bis, kami diminta untuk makan dulu malam dulu di Harbour Front. Kami langsung memesan berbagai minuman dengan merk Yeo’s rasa susu kedelai dan coconut (Yeo’s juga menyediakan rasa lain seperti Buah Kundur/Ketimun) , juga nasi lemak serta yamien baso.
Cerita lucu disini adalah, tanpa sengaja karena mengira salah satu koper adalah milik Opa (Sekaligus anggota tertua dengan usia 74 thn), Bu Ita lalu membawa tas tersebut ke Johor Bahru, padahal ternyata milik penumpang Ferry lain alias Batam Fast. Untung saja tidak ada isi yang aneh-aneh dan membuat kami harus berurusan dengan imigrasi Singapore. Belakangan koper dititipkan ke petugas dari Angkasa Travel untuk dikembalikan ke Harbour Front.
Catatan Perjalanan
- Sepertinya, lebih baik menggunakan provider di negara tujuan, jika tujuannya menghemat pulsa, maklum biaya komunikasi paket data bisa sekitar 150 ribu IDR per hari. Atasan saya di Singapore bahkan memiliki berbagai kartu provider sekitar asia tenggara, sehingga dia selalu menggunakan nomor lokal di negara tujuan.
- Setiap traveller dalam group harus bertanggung jawab atas barang masing-masing, dengan demikian resiko kehilangan atau tanggung jawab terhadap barang-barang terlarang bisa diperkecil.
No comments:
Post a Comment