Wednesday, July 29, 2015

Inspirasi dari Singapore, Malaysia dan Thailand Part #5 of 9 : Perjalanan ke Thailand


Hotel Mandarin ini terlihat tua sekali, begitu juga sebagian besar pegawainya. Uniknya hotel ini menyediakan gayung dan toilet, hemm ajaib juga. Menjelang tengah malam, mendadak warna air keran berubah coklat lumpur, sempat mengingatkan saya akan film Dark Water. Namun setelah dikeluarkan terus, lama-lama airnya menjadi jernih. 




Pagi hari ternyata breakfast harus antri layaknya imigrasi Singapore di hari pertama, bahkan nasi goreng sempat habis persis giliran saya, sehingga kami terlambat berangkat. Saat masuk bis, saya mendengar gerombolan Oma mengeluh panjang lebar mengenai hotel ini. Namun akhirnya perjalanan ke Hat Yai pun dimulai, sebagian besar melewati jalan tol yang mulus. Di sepanjang tol, Bu Christine cerita bahwa lahan di pinggir jalan tol ini dimanfaatkan untuk tanaman-tanaman seperti cacao. Namun untuk kebutuhan produksi coklat Malaysia, sejujurnya perkebunan Malaysia tidak mampu memenuhinya, karena itu Malaysia mengimpor cacao dari Indonesia, lalu dijual lagi ke turis Indonesia, jelas Bu Christine sambil menyengir.  




Saat melintas di Perak, Bu Christine cerita daerah ini sering sekali berhasil menjuarai Miss Malaysia. Salah satu contoh paling terkenal adalah Michelle Yeoh yang menjuarai Miss Malaysia di tahun 1983. Yeoh juga pernah berperan sebagai salah satu gadis Bond dalam film Tomorrow Never Dies, dan juga salah satu film legendaris Crouching Tiger Hidden Dragon besutan Ang Lee. Karena perannya yang signifikan, beliau di beri gelar Tan Sri Michelle Yeoh. 

Bagi Bu Christine yang orang tuanya pernah merantau ke Indonesia, sesungguhnya kekerabatan antara dua bangsa ini sangat dekat, terutama dengan banyaknya penduduk di Kedah dan Perak yang sejatinya berasal dari Aceh dan Sumatera Barat. 

Menjelang siang kami sampai di Penang, propinsi ini terdiri dari dua bagian yakni Penang Pulau dan Penang Daratan, terlihat jembatan panjang yang menghubungkan kedua pulau, sayang saya tidak sempat mengabadikannya. Di Penang kami berhenti makan di Kun Thai Restaurant, hemm makanannya lebih nikmat dibanding Cisco Thai Bistro. Makan di sini mengingatkan saya akan acara Bondan “Mak Nyus” Winarno saat beliau sedang mencoba kuliner Penang. Dan masakannya adalah yang terpedas selama perjalanan kami. Di bagian depan resto, tersedia mushalla rumah kayu yang mengingatkan saya akan rumah almarhum kakek di Padang Sidempuan. 





Akhirnya sampailah kami di Bukit Kayu Hitam yang merupakan perbatasan Thailand dan Malaysia, setelah keluar dari Pos Imigrasi Malaysia, saya ke toilet dan kaget alangkah bau dan kotornya toilet di imigrasi Malaysia.  Tak lama kami menuju pos Imigrasi Thailand, suasananya lebih kumuh di banding Malaysia, dan lebih mirip Indonesia. Dimana mana terlihat sepeda motor layaknya di Indonesia. Jika pelat nomornya berwarna putih maka sudah milik sendiri, namun kalau merah berarti masih dicicil. Pemakaian helm bagi pengendara motor hanya diwajibkan bagi yang membawa kendaraan, sementara penumpang tidak perlu. Banyak mobil-mobil bagus dan baru berseliweran di Thailand. 




Lalu Tour Guide Thailand pun masuk, namanya Pak Fauzi dan memang merupakan muslim Thailand Selatan, orangnya pendiam dan sedikit kaku. Namun dia memiliki kemampuan berbahasa Melayu, sehingga memudahkan kami menangkap apa yang ingin dia sampaikan. Kadang dia bernyanyi dalam Bahasa Thailand yang suku katanya pendek-pendek dan agak sengau. Lalu Pak Fauzi menjelaskan arti nama Hat (Pulau) dan Yai (Besar).  

Pak Fauzi juga sempat menyanyikan lagu kebangsaan Thailand meski agak fals sbb;

Pra thet thai ruam luead nu'a chat chu'a thai
Pen pra cha rat pha thai kho'ng thai thuk suan
Yu dam rong khong wai dai thang muan
Duay thai luan mai rak sa mak khi
Thai ni rak sa ngop tae thu'ng rop mai khlat
Ek ka raj ja mai hai khrai khom khi
Sa la luead thuk yat pen chat p'hli

Tha loeng pra thet chat thai tha wi mi chai ch'yo

Lokasi Hat Yai sendiri 14 jam atau sekitar 1.100 km dari Bangkok. Pak Fauzi juga bercerita beberapa atraksi menarik bagi turis seperti naik Gajah masuk hutan dengan biaya 200 baht untuk 30 menit. Menjelaskan banyaknya kendaraan baru di Hat Yai, menurut Pak Fauzi karena masyarakatnya cenderung hedonis dan konsumtif.

Cara mengucapkan Hat Yai, tiidak seperti yang tertulis, pada awalnya saya mendengarnya seakan akan Cap Cay, namun sepertinya lebih tepat Hat Nyai. Memang tidak mudah mendengar orang Thailand berbicara, karena suku katanya yang pendek pendek dan diucapkan dengan agak sengau. Belum lagi tulisannya, di beberapa tempat bahkan saya sama sekali tidak bisa baca kecuali angka yang memang masih ditulis dengan cara latin. 

Saat nantinya kembali ke Malaysia, kami diingatkan untuk tidak membawa beras dan buah-buahan segar, juga benda-benda tajam karena Imigrasi Malaysia sangat ketat dalam mensortir item-item ini. Harus diakui buah-buahan  produksi Thailand memang super, duriannya, nenasnya yang seratnya lebih mirip melon, pepayanya, melon oranye, dan beberapa jagung bibit unggul dengan warna krem dengan bercak-bercak ungu.  Jika tetap nekat membawa buah-buahan segar, kami diingatkan agar buahnya sudah dikupas, jika dikupas petugas imigrasi umumnya mengizinkan barang tsb masuk wilayah Malaysia. 

Konon kabarnya keunggulan Thailand adalah berkat Raja-nya yang sangat suka riset soal tanaman. Beliau sudah menjabat sebagai Raja sejak usia 18 tahun dan skr masih menjadi Raja dalam usia sekitar 87 tahun. Sepertinya Malaysia ingin memastikan kekayaan tanaman mereka tidak terganggu dengan penetrasi tanaman Thailand.




Dimana mana terlihat foto Raja Bhumibol dan Ratu Sirikit, tetapi sepertinya foto saat mereka berdua masih muda, karena masih terlihat berusia 40 tahunan. Jika di Indonesia yang kita lihat adalah foto kandidat pimpinan daerah, maka di Thailand sepertinya di dominasi kedua tokoh ini saja. Raja Bhumibol adalah salah satu Raja terkaya di dunia, dengan total kekayaan 30 Milliar USD. 




Selain foto Raja dan Ratu, di Thailand juga banyak kita temukan berbagai patung, seperti di Bali, patung-patung disini diperlakukan khusus, biasanya dikalungi bunga berwarna kuning. Teknik ukirannya tidak sebagus Bali, namun mempunyai ciri khas. Salah satu patung favorit adalah patung biksu yang sedang duduk, tadinya saya mengira ini adalah patung biksu yang sama namun ternyata tidak. Belakangan patung biksu duduk juga saya temui di Samila Beach, Sleeping Budha dan toko-toko souvenir. Di tengah kota bahkan ada patung biksu duduk setinggi bangunan enam tingkat.

Suasana di Thailand mengingatkan saya akan suasana di Shenzhen dimana kami nyaris tidak bisa membaca satu huruf sekalipun. Namun tulisan menyangkut angka, sepertinya tetap lebih sering menggunakan simbol latin. Kami langsung menuju pusat kota untuk mencari makan.. Saya dan keluarga memilih sebuah restoran bernama Rocky Muslim Restaurant. Kami memesan nasi goreng dan nasi ayam, sambil menikmati wifi yang cukup kencang di restoran ini. Di sini gerombolan Oma membuat ulah dengan berjalan jauh dari lokasi yang disepakati, dan terlambat kembali ke Bus, sehingga para traveller yang mau menonton Cabaret akhirnya turut telat. Untuk pertama kali Bu Ita terlihat gusar, karena sebelumnya hal yang sama sudah terjadi di Sungei Wang Plaza. 







Dari sini kami ke Cabaret, untuk para traveller yang mau menonton saja. Saya dan keluarga memilih menyusuri jalan sambil mencari bekal kalau-kalau saat malam hari kami kelaparan. Di sebuah mart saya lihat mie Thailand namun dengan ingridient Dried Pork. Saat kembali ke lokasi Cabaret, telihat Pak Aseng mengepel seluruh lantai Bis, sementara supir travel lain memilih untuk mojok, sambil menyeruput kopi dan rokok. 




Ketika masuk kamar, istri langsung beraksi dengan sandalnya, dan empat kecoa mungil penduduk asli Thailand langsung tewas di tempat di sekitar toilet. Saat peak season kadang memang kebersihan hotel menjadi kurang terjaga, dan saya ingat dua plastik kresek berisi entah apa peninggalan tamu sebelumnya, dalam kulkas kami di Mandarin Pacific, Kuala Lumpur. 

Saat malam hari, kami berjalan-jalan di depan hotel, alias Jalan Sanehanusorn melihat-lihat makanan khas. Untuk memudahkan kami mencari makan, Tour Guide menyarankan kami untuk memilih penjual berjilbab. Soal makanan lebih seru Thailand dibanding Malaysia, mulai dari Ketan Mangga, Ketan Duren, Udang-udang besar, Cumi Kering dan berbagai gorengan Ayam, Kwetiaw Ayam, Sticky Rice, Nasi Briyani, Nasi Goreng bertebaran di sepanjang jalan. Minuman yang dijual juga unik diantaranya Bubor Chacha, yakni es campur dengan potongan-potongan ubi. Wanita penjual berjilbab disini cantik-cantik, ibarat Jihan Fahiran dan Nabila Syakieb jualan kwetiaw, anehnya mereka hanya berjualan dibantu anak perempuannya atau anak lelaki, tanpa adanya sosok ayah. Istri sambil bercanda bilang, mungkin suaminya pada jadi driver Tuk-Tuk. Nampak juga tuk-tuk dengan sound system full berdentam dentam serta layar besar, sepertinya mirip dengan kebiasaan beberapa daerah di Indonesia. 













Catatan Perjalanan


  • Hati-hati kalau makan KFC dan McDonald di Thailand, karena juga menjual makanan haram. Jadi meski restorannya sama, namun halal dan haramnya adalah hal yang berbeda di tiap-tiap negara. 
  • Salut buat Pak Aseng, sosok inspiratif yang kalem, rendah hati, baik hati, rajin serta tanpa mengeluh mengangkat dan menurunkan bagasi 42 traveller setiap kali dibutuhkan. 



1 comment:

Blogger said...

artikel yang bagus