Thursday, November 26, 2015

Underworld - Symphony X

Rasanya tak salah penilaian Arjen Anthony Lucassen mengenai kualitas vokal Russel Allen yang akhirnya menelurkan paling tidak tiga album Star One, yakni Space Metal (2002), Live on Earth (2003) dan Victims of The Modern Age (2010) dan satu album Ayreon yakni Flight of Migrator (2000). Saat tenang, Allen mengingatkan kita akan vokal lembut Steve Walsh vokalis Kansas, namun saat harus meraung Allen memiliki kegarangan nan ekpresif ala Daniel Gildenlow dengan range vokal yang lebih tinggi. Sedapnya Russel Allen nyaris selalu berhasil menjaga pitch controlnya, sehingga nada-nada ala musik klasik yang sering dimainkan Symphony-X terasa sangat pas di telinga. 




Tadinya album Underworld (2015) ini terasa tidak begitu mudah dilalap seperti juga Iconoclast (2011), untungnya track melodiusnya relatif lebih banyak dibanding Iconoclast yang meenggempur telinga kita habis-habisan dan hanya menyisakan satu track melodius yakni When All is Lost. Namun bagi saya album legendaris seperti Paradise Lost (2007) atau The Odyssey (2002) tetap lebih mudah dicerna dibanding Underworld.

Bagaimana dengan Michael Romeo, gitaris sehat berbadan montok ini, tetap memukau dari sisi sound ritem, kecepatan memainkan riff riff powerchord, teknik sweeping yang mengalir mulus, tapping cepat dan solo yang meski tetap belum sekelas John Petrucci dari Dream Theater, namun bisa menyamai unik-nya solo ala Alex Lifeson dari Rush. 

Seperti biasa, Michael Pinella, Jason Rullo, Michael Le Pond menjaga sektor ritem dengan aman dan terkendali, Rullo tidak perlu pamer seperti Portnoy namun tetap bermain presisi dan rapat, Pinella seperti biasa memberikan suasana Original Score film kolosal, dan LePond yang bermain tenang. Layaknya lukisan mereka bertiga memberikan frame yang kokoh dan serasi, manakala Romeo dan Allen menyapu kanvas dengan ganas dan ekspresif. 

Seperti umumnya album progressive, total panjang track mencapai 1:03:57, terdiri dari 11 track, yakni 

1.Overture (2:13)
2.Nevermore (5:29)
3.Underworld (5:48)
4.Without You (5:51)
5.Kiss of Fire (5:09)
6.Charon (6:06)
7.To Hell and Back (9:23)
8.In My Darkest Hour (4:22)
9.Run with the Devil (5:38)
10.Swan Song (7:29)
11.Legend (6:29)

Overture (****) 
Megah dan terkesan kolosal, meski Pinella permainan solonya relatif biasa, namun untuk kemegahan, Pinella benar-benar mampu memberikan racikan khusus yang berkesan. 

Nevermore (****)
Tanpa jeda Overture langsung lanjut ke Nevermore, dan telinga kita langsung dihajar Allen, diiringi perubahan beat berganti-ganti dan dentuman rapat Rullo, tak lupas sweeping mulus dan cepat yang dijadikan Romeo sebagai latar ketimbang distorsi habis. Untuk soal sweeping ini, rasanya Yngwie Malmsteen juga belum tentu menang melawan Romeo. Dibagian akhir, Romeo sempat memberikan kita tapping yang mulus. 

Underworld (***)
Allen menunjukkan diusia sekarang dia masih mencapai nada tinggi dengan mulus, entah kalau ini merupakan konser. Saya teringat La Brie saat ini, yang sulit mencapai nada tinggi yang biasa bawakan di album-album awal Dream Theater. 

Without You (*****)
Track ini mengingatkan saya akan Kansas, Allen bernyanyi dengan tenang, kualitas tracknya sendiri sekelas dengan When All Is Lost di album sebelumnya. Indah dan menyayat namun tetap dalam koridor nada-nada klasik. Di menit 1:53 sempat tertegun dan merasa akrab dengan vokal Allen, sepintas sangat mirip dengan James Hetfield meski sekitar 10 detik. Di bagian tengah, mendadak Romeo memetik gitar dengan sahdu, seperti menemukan oase di tengah gurun. 

Kiss of Fire (***)
Track ini mengingatkan saya akan The Odyssey, kasar dan tebal. Kali ini LePond diberi kesempatan untuk memamerkan bass solo. Ini mungkin merupakan salah satu track terkompleks, rapat dan dinamis, belum lagi Rullo berkali kali memamerkan pedal bas drum secara beruntun dan cepat ala Paul Bostaph.  

Charon (****)
Di bagian awal saya mulai pesimis album ini mungkin tidak lebih bagus dibanding Iconoclast, namun ternyata Charon menarik untuk dinikmati sampai selesai. Di menit keempat berbeda dengan yang sudah-sudah Pinella memainkan solo cukup panjang. 

To Hell and Back (****)
Diawali dengan solo menyayat, yang akhirnya membuat saya lebih optimis, album ini ternyata memang diatas kelas Iconoclast. Di menit 3:10, Romeo bermain layak nya Alan Holdsworth, Sang Idola Para Gitaris. Dan track terpanjang dalam album ini pun berakhir. 

In My Darkest Hour (*****)
Dihajar langsung dengan ritem ala Hammet dan Hetfield, lalu Allen meraung, kali ini dia lebih mirip Robert Halford, vokalis botak Judas Priest dengan suara melengking tinggi. 

Run With The Devil (***)
Track ini standar heavy metal, tidak ada yang menonjol dan khusus, namun tetap track yang enak. 

Swansong (*****)
Track indah sekelas dengan Without You, dan kembali mengerek nilai album ini menjadi lebih jauh dari kelas Iconoclast. Track ini merupakan salah satu contoh  paling pas dalam menggambarkan ciri khas Symphony-X. Meski judulnya mengingatkan kita akan  BeeGeesm justru sama sekali tidak ada nada pop ala BeeGees dalam track ini. Pinella menambahkan permainan piano yang memikat dalam track ini, dan di tengah track Pinella sempat hanya berdua dengan jeritan memukau Allen. Dan akhirnya track indah ini berakhir dengan dentingan piano sahdu Pinella. 

Legend (****)
Semestinya Swansong layak mengakhiri album yang akhirnya saya nilai asik ini, namun entah kenapa malah Legend yang dijadikan sebagai penutup. Apakah Legend jelek ? oh tidak sama sekali, ini track asik namun seakan salah penempatan. 

Kesimpulan akhir, album yang memuaskan saya, dengan rata-rata bintang ****, khususnya karena ada tiga track mencapai nilai tertinggi yang bagi saya terdengar sangat emosional namun sekaligus muram dan gelap. Sangat direkomendasikan bagi penggemar Symphony-X khususnya yang merasa kesulitan menikmati Iconoclast karena memang lebih heavy. Inspirasi album ini sendiri menurut Romeo berasal dari Dante dengan karya Infernonya yang sempat menginsipirasi Dan Brown di buku terakhirnya, serta karya opera Jacques Offenbach alias Orpheus In The Underworld

Kisah yang diangkat Romeo adalah bagaiman untuk seseorang yang kita cintai, kita berani menempuh resiko apapun. Sebagai penutup, kita perlu tahu layaknya Portnoy yang sering menyembunyikan pesan angka, Romeo memberi judul Nevermore, yang memiliki tiga kata, tiga nada pada frasa melodi, dimana setiap versinya memiliki tiga keterkaitan dengan  tiga lagu pada album ketiga mereka yakni "The Divine Wings of Tragedy". 

No comments: