Pada awalnya
Si Sulung yang sudah ke Dieng dengan komunitas biker kampus lah yang
mengusulkan ide ini pada istri. Gayung lalu bersambut kebetulan karena ada
acara Dieng Culture Festival,
dan lantas kami kabari pada keluarga adik ipar. Sayangnya entah karena
miskomunikasi, proses registrasi terlambat dan akhirnya kami urung pergi pada
tanggal tersebut.
Kawasan Dieng Dilihat Dengan Google Map |
Tidak putus
asa, istri kembali merancang kepergian menjelang Iedul Adha, dan sengaja kami
memilih berangkat dengan mencuri waktu pada Jumat 9/Sept/2016 dan rencana kembali Minggu siang
11/Sept/2016, mengingat ada issue akan terjadi kembali kemacetan serius pada
lintasan menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur. Istri berusaha kontak dengan www.diengbackpacker.com
untuk memilih homestay dimana kami akan menginap, guide, dan beberapa hal terkait kuliner.
untuk memilih homestay dimana kami akan menginap, guide, dan beberapa hal terkait kuliner.
Sebenarnya
saya tidak tahu banyak soal Dieng, yang selalu teringat adalah peristiwa
1979, yakni saat Kawah Sinila
“meradang” setelah didahului oleh gempa dan lalu menyemburkan CO2 yang menghabisi satu desa dan sampai kini tidak lagi berpenghuni. Foto-foto
korban pengungsian yang tewas saat berbaris meninggalkan kawasan beracun dengan
bawaan masing-masing yang dimuat di
Harian Kompas, menghantui benak saya saat itu.
Dataran
Tinggi Dieng atau biasa disebut Dieng Plateau merupakan kawasan vulkanik yang
masih aktif, lokasinya sendiri sebagian masuk wilayah Kabupaten Banjarnegara
dan sebagian lain masuk Kabupaten Wonosobo. Layaknya kuali raksasa dengan dua jalan masuk, Dieng dikelilingi
beberapa Gunung, yakni Gunung Sindoro (3.150 m), dan Gunung Sumbing (3.387), Gunung Prahu (2.565), Gunung Pakuwaja (2.595 m) dan Gunung Sikunir (2.463 m). Kalau beruntung anda bahkan bisa mengamati Gunung Merbabu dari
tempat-tempat tertentu.
http://www.kompasiana.com/kandar_tjakrawerdaja/ |
Karena Dieng
memiliki Ketinggian rata-rata sekitar 2.000 m di atas permukaan laut, maka suhu
berkisar 12 sd 20 °C di siang hari dan 6 sd 10 °C dimalam hari. Pada saat kami
berada disana, suhu dimalam hari sekitar 11 °C. Saat musim kemarau, ternyata
suhu bahkan bisa mencapai 0 °C di pagi hari dan memunculkan embun beku yang
oleh penduduk setempat disebut “Bun
Upas” alias embun racun karena menyebabkan kerusakan pada tanaman. Konon kabarnya, Dataran Tinggi Dieng merupakan dataran tertinggi kedua di dunia setelah Tibet / Nepal, dan yang terluas di Pulau Jawa.
Nama Dieng
konon berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa Kawi, dimana "Di" berarti
"tempat/gunung" sedangkan "Eng" berasal dari kata
"Hyang" bermakna “dewa”. Dengan demikian artinya adalah
"Tempat Bersemayam Para Dewa". Nama lainnya adalah Negeri di Atas Awan, yang belakangan saya ketahui
maknanya saat kembali dari Gardu Pandang Tieng.
Karena cuma
berempat, maka saya tidak menggunakan mobil yang biasa kami gunakan seperti
dalam ekspedisi keliling Jawa atau keliling Sumatera tahun lalu, melainkan menggunakan mobil
istri yakni All New Sportage berusia
5 tahun. Kuatir karena ban Kumho nya
sudah cukup tua, maka saya putuskan untuk mengganti keempat ban 225/60/R17 tsb
tersebut seminggu sebelum berangkat,
sayangnya tidak ada ukuran yang sama persis sehingga saya memilih menggunakan
Bridgestone Dueller 225/65/R17 seharga 825 ribu rupiah per buah.
Ganti Ban Sebelum Berangkat |
Saya dan
istri juga cek via googlemap, dan memutuskan untuk pergi via selatan dan
kembali via utara sekaligus mencoba Tol Cipali yang selama ini belum pernah
kami jajal. Lalu dokumen tsb kami print
untuk mencegah kalau2 tidak ada sinyal GPS pada lokasi-lokasi tertentu. Meski sialnya dokumen tersebut malah tertinggal di meja kamar tidur.
Bandung - Dieng via Jalur Selatan |
Ide istri
untuk berangkat subuh ditolak mentah-mentah oleh Si Bungsu karena dia masih
harus presentasi di sekolah. Sehingga kami memutuskan menunggu Si Bungsu di lapangan parkir sekolahnya sampai selesai
presentasi lalu berangkat jam 08:30.
Perjalanan relatif lancar dan sekitar jam 13:00 kami sampai di Pringsewu. Kejutan melihat Pringsewu yang dulu begitu ramai, ternyata sekarang begitu
sepi, di tempat parkir yang
begitu luas hanya ada 2 mobil parkir, namun saat datang ternyata kami lah
satu-satunya tamu yang makan, meski ketika makan akhirnya ada satu mobil pengunjung
lainnya. Kasir yang sedang bertugas
menjelaskan bahwa ini diakibatkan orang-orang sekarang lebih memilih lewat Tol
Cipali. Teringat saya saat RM Sari Rasa Sambal Hejo, Cibentar Nagrak, Purwakarta yang dulu juga mendadak
sepi saat tol Cipularang buka, untungnya mereka sekarang ada di Rest Area 87
baik disisi kiri maupun
kanan.
Sepinya Pringsewu |
No comments:
Post a Comment