Kompleks Candi Arjuna
Setelah sarapan kami langsung menuju
Kompleks Candi Arjuna dimana terdapat berbagai Candi seperti Candi Semar, Candi
Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembrada. Tidak jelas juga kenapa nama-nama
yang digunakan berasal dari Kisah Mahabrata. Perkiraan pembangunan candi ini
adalah di tahun 731 (809 M). Di lokasi
inilah Dieng Cultural Festival berpusat.
Dijalan keluar kami membeli satu kotak kentang dan jamur goreng,
ternyata Kentang Dieng memang enak sekali apalagi dimakan panas-panas saat cuaca dingin.
Kompleks Candi Arjuna #1 |
Kompleks Candi Arjuna #2 |
Setiap beberapa ratus meter, nampak
kumpulan pipa pralon melintasi bagian atas jalan, yang menurut Mas Gofir
digunakan untuk pengairan tanaman Kentang. Selain Kentang ada juga Kubis,
Wortel, Cabe Bendot (persis seperti Cabe Bromo), Kacang Babi dan tentu saja Carica yang tumbuh subur dalam-petak-petak lahan
penduduk yang tersebar di lanskap dan perbukitan Dieng yang kadang bahkan
terlihat miring. Secara kontur mengingatkan saya akan pedesaan di Bromo.
Salah satu tamanam menarik adalah tanaman trompet berbunga kuning yang menurut Mas Gofir menjadi bagian dari ritual masyarakat Dieng. Secara turun temurun mereka juga meyakini adanya kekerabatan dengan Suku Tengger dan Suku Bali, namun bedanya di Dieng mayoritas sudah beragama Islam meski dengan catatan masih ada banyak upacara dan tradisi seperti pemotongan rambut anak gimbal.
Tanaman Trompet |
Salah satu tamanam menarik adalah tanaman trompet berbunga kuning yang menurut Mas Gofir menjadi bagian dari ritual masyarakat Dieng. Secara turun temurun mereka juga meyakini adanya kekerabatan dengan Suku Tengger dan Suku Bali, namun bedanya di Dieng mayoritas sudah beragama Islam meski dengan catatan masih ada banyak upacara dan tradisi seperti pemotongan rambut anak gimbal.
Cabe Gendot |
Carica |
Kacang Babi |
Kentang Dieng |
Kawah Sikidang
Dari lokasi ini dengan menelusuri pipa gas
raksasa, kami menuju Kawah Sikidang. Lagi-lagi Mas Gofir menawarkan berfoto di
depan huruf-huruf raksasa “SIKIDANG” dan kembali saya tolak halus. Masuk
kompleks Kawah Sikidang, ternyata masyarakatnya sudah sangat sadar wisata.
Mereka menyiapkan berbagai properti seperti Motor Trail, Patung King Kong,
Burung Hantu, Jeep, Kuda bahkan Badut hanya untuk sesi pemotretan. Bukan cuma properti, sebuah tempat berukuran
2x2 m, yang digunakan untuk merebus telor pun harus bayar jika dipotret. Mas Gofir
sambil bergurau mengatakan di Kawah Sikidang, hanya kalau memotret langit lah
yang masih gratis.
Jaringan Pipa Gas Menjelang Sikidang |
Asal usul nama Sikidang karena kolam panas
di area ini sering berpindah-pindah seperti Kidang (Kijang kalau dalam Bahasa
Indonesia). Air bercampur lumpur berwarna keabuan yang mendidih dan meletup di kawah ini cukup
tinggi, antara setengah hingga satu meter, seraya mengepulkan asap panas. Kami
berempat tidak terganggu dengan bau belerang yang menusuk, dan tidak membeli masker meski di lokasi
parkir banyak pedagang asongan yang
menawarkan masker. Pada jarak setengah meter dari sumber air, bahkan rokokpun
bisa menyala tanpa bantuan korek api.
Badut Menunggu Order Foto |
Serabi Sagon Hangat |
Jeep Khusus Sesi Foto |
Kontemplasi di Lereng Kawah |
Saya melarang Si Bungsu yang sangat ingin
difoto di samping Burung Hantu, karena kuatir ikut menyumbang perburuan ilegal
Burung Hantu. Disini kami sempat membeli Kue Sagun seukuran serabi yang
disajikan dalam keadaan hangat dan ternyata memang enak. Selain Kawah Sikidang
masih ada kawah-kawah lain seperti Kawah Sibanteng, Kawah Sileri, Kawah Timbang dan tentu saja yang paling terkenal alias Kawah
Sinila. Si Sulung menghilang kembali
ke lokasi sekitar parkir, sepertinya perutnya bermasalah setelah menyantap mie
goreng pedas di Red Cobek.
Bukit Sidengkeng
Untuk melihat Telaga Warna dari
ketinggian, Bukit Sidengkeng merupakan salah satu pilihan terbaik, memang tidak
seterjal Sikunir, namun juga tidak semudah Batu Pandang. Kami langsung memulai
pendakian, saya beberapa kali berhenti karena napas serasa habis dan dada sesak,
bisa jadi karena lelah menyetir, bangun terlalu pagi dan udara tipis di
ketinggian. Di pertengahan jalan istri, terlihat mulai pusing dan lalu terduduk
dan hampir black out. Disusul Si Sulung yang lemas masih terus menerus diare.
Landscape dari Bukit Sidengkeng |
Mengamati Telaga Tiga Warna Bersama Mas Gofir |
Akhirnya mereka berdua kembali kebawah
untuk menunggu kami, sementara saya, Si Bungsu dan Mas Gofir melanjutkan
perjalanan keatas, beberapa kali saya berhenti karena nafas yang tersengal,
namun saya kuatkan diri untuk terus berjalan ke puncak. Penduduk membuat
semacam tangga dengan bantalan tanah dari karung plastik, dan di beberapa
tempat tersedia pelataran kayu yang menempel ke pohon. Sesampai diatas, kepala
saya terasa pusing dan berkunang-kunang, tanpa berpikir panjang saya langsung
merebahkan diri di rerumputan, Mas Gofir yang memang sehari-harinya pendaki
gunung mengingatkan saya untuk meluruskan kaki.
Sebagai pendaki gunung yang biasa membawa beban 50 kg di punggung dan
mendaki gunung yang sebenarnya, naik ke bukit ini urusan kecil baginya. Mas
Gofir sempat cerita bahwa cita-citanya adalah mendaki Cartenz Pyramid yang
menurutnya memerlukan biaya sekitar 60 juta rupiah. Sambil menunggu kondisi saya pulih, Si Bungsu
mengitari puncak bersama Mas Gofir sambil merekam pemandangan sekitarnya.
Saat turun tidak kalah menderitanya,
karung-karung ini disusun dengan jarak yang cukup berjauhan, saya merasa nyeri
di bagian lutut setiap kali menginjakkan kaki ke anak tangga turun berikutnya,
terpaksa kadang saya melintasi jalur rumput disamping untuk menghindari gerakan
ala meloncat tersebut. Sesampainya di bawah Si Sulung dan istri menyambut
dengan Carica, wuih sedap sekali ternyata. Dan kami siap lanjut ke tantangan
berikutnya. Carica merupakan jenis
pepaya mengkerut yang ternyata memang tidak tumbuh di daerah lain. Setelah
dipotong dalam bentuk dadu lalu diolah dengan dengan air gula yang terasa segar
ketika diminum.
Telaga Tiga Warna
Tanpa perlu memindahkan mobil, kami hanya
berjalan kaki ke sisi satunya, dan langsung memasuki kawasan Telaga Warna,
sebenarnya disini ada dua telaga, yang satu berwarna dan yang lain lebih bening
dan bernama Telaga Pengilon. Jika di Telaga Warna sama sekali tidak ada ikan,
sebaliknya Telaga Pengilon, selain untuk beternak ikan digunakan juga sebagai
sumber pengairan.
Telaga Tiga Warna |
Nampak sekumpulan pengamen menyanyikan
lagu-lagu lawas Koes Plus dengan suara indah dan aransemen yang rapi. Menurut Mas
Gofir sebenarnya ada saluran yang menghubungkan kedua telaga ini, anehnya yang
satu tetap berwarna dan yang lain tetap bening. Mas Gofir juga menawarkan untuk
melihat-lihat gua disekitar telaga, tetapi kami yang sudah puas mengunjungi
gua-gua di Pangandaran dan di Gunung Kidul sambil tersenyum menggelengkan
kepala.
Kedua telaga ini bukan satu-satunya telaga
di Dieng melainkan ada telaga lainnya seperti Telaga Merdada, Telaga Menjer, Telaga Dringo dan Telaga Cebong. Hemm entah kenapa nama Cebong cukup tenar di
sini, sepanjang jalan kami juga melihat banyak bis dengan tulisan Cebong Jaya,
yang membuat Si Sulung senyum-senyum penuh arti. Dari sini kami langsung menuju
homestay untuk istirahat.
Lanjut ke Part #5 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/perjalanan-ke-dieng-5-dari-7-dieng.html
Lanjut ke Part #5 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/perjalanan-ke-dieng-5-dari-7-dieng.html
1 comment:
ulasan menarik
Post a Comment