Ternyata tidak mudah juga membujuk
anak-anak berjalan kaki menuju lokasi Mie Ongklok yang di informasikan salah
seorang sahabat ex PIKSI ITB alias Razid Arief. Udara yang begitu dingin
menyebabkan mereka lebih suka berkemul saja di kamar, dan ketika akhirnya mau ikut, mereka mengusulkan supaya naik mobil saja. Namun akhirnya kami berempat berjalan
kaki dari homestay kira2 600 meter.
Kami melintasi toko-toko souvenir
dan kaos yang beberapa diantaranya
mengingatkan saya akan toko-toko kecil dan cantik di Haji Lane dalam perjalanan sebelumnya. Si Sulung
membeli kaos seharga 90.000 dan gelang akar seharga 10.000 di Dihyang (www.dihyangmerch.com).
Tak lama kamipun sampai di pertigaan menuju Kompleks Candi Arjuna, dan langsung memesan 4 porsi Mie Ongklok dan Sate Sapi, rasanya lebih lezat dibanding pertama kali makan Mie Ongklok saat jalan-jalan ke Yogya.
Untuk 4 porsi Mie Ongklok termasuk Sate Sapi, 2 Teh Tawar Panas serta 2 Ginger Milk Tea, kami harus membayar 90.000.
Tak lama kamipun sampai di pertigaan menuju Kompleks Candi Arjuna, dan langsung memesan 4 porsi Mie Ongklok dan Sate Sapi, rasanya lebih lezat dibanding pertama kali makan Mie Ongklok saat jalan-jalan ke Yogya.
Untuk 4 porsi Mie Ongklok termasuk Sate Sapi, 2 Teh Tawar Panas serta 2 Ginger Milk Tea, kami harus membayar 90.000.
Sikunir
Kami kembali ke homestay dan tidur sambil
dipeluk hawa dingin nan mengerikan, untung air panasnya sudah kembali berjalan
normal setelah sebelumnya sempat bermasalah. Dini hari kami bangun jam 04:00 pagi untuk bersiap ke Sikunir. Sebelumnya penghuni lantai atas sudah sangat
brisik dari jam 03:00 dan pergi duluan. Udara luar sangat dingin, untuk pertama kali setelah
lima tahun, saya stel AC mobil dengan mode penghangat.
Ternyata keputusan berangkat jam 04:00
adalah keputusan yang salah terutama karena minggu pagi pengunjung Dieng
bertambah banyak, saat mendekati lokasi tujuan nampak beberapa mobil malah
kembali pulang, karena antrian yang mengular. Hemm saat Sabtu sepi namun
berkabut, saat Minggu udara cerah namun kami tetap tidak bisa lanjut, maka Mas
Gofir langsung ambil keputusan untuk menuju Gardu Pandang Tieng.
Gardu Pandang Tieng
Kami langsung menuju Gardu Pandang,
beberapa kali berpapasan dengan rombongan bikers, salah satu bahkan sekitar 20
motor dan riuh rendah menglakson kami, ternyata menurut Si Sulung rombongan bikers
berplat D.
Istri dan Si Bungsu di Gardu Pandang Tieng |
Kecamatan Kejajar dilihat dari Gardu Pandang |
Secara pemandangan sebenarnya antara kedua
tempat ini agak mirip, hanya memang area yang bisa di lihat lebih luas kalau
dari Sikunir, dan ketiga gunung Sindoro, Sumbing dan Merbabu dapat dilihat
semuanya dari Sikunir (meski Gunung Sumbing hanya terlihat separuhnya saja),
sementara kalau dari Gardu Pandang, Gunung Sumbing tertutup Gunung Sindoro.
Saya segera menyiapkan tripod untuk pemotretan dengan teknik low shutter ke
belasan detik agar dapat menangkap pergerakan cahaya dari lembah kecamatan
Kejajar.
Negeri di Atas Awan
Saat kembali, kami terkagum kagum dengan
pemandangan yang sebenarnya kami lewati saat pertama kali ke Dieng, namun
karena dimalam hari tidak banyak yang terlihat. Ternyata kita bisa melihat awan
berarak dari bagian yang lebih tinggi, sekaligus menjawab kenapa banyak tulisan
Negeri di Atas Awan yang bisa kita lihat di Dieng.
Negeri di Atas Awan |
No comments:
Post a Comment