Menikah dengan istri pertama : Djamilah
Pulungan.
Menikah dengan istri kedua Siti Khadijah.
Menikah dengan istri ketiga : Seorang
Wanita Manado bermarga Mohede (nama masih belum diketahui).
Putra dan Putri
sbb;
- Idris Baginda Pohan (dari istri pertama)
- Ida Farida Pohan (dari istri kedua)
- Desi Yanti Pohan (dari istri kedua)
- Yani Pohan (dari istri kedua)
Saat Belanda gagal dalam clash kedua, dan
terusirnya mereka beberapa masa setelah proklamasi, Bandung sebagaimana
kota-kota lain rusuh tidak terkendali. Aset-aset Belanda seperti rumah dengan
segera diduduki massa. Termasuk sebuah
rumah besar di jalan Riau sempat diduduki Ayah. Namun yang berhasil Ayah duduki
hanya lantai dua saja, karena Ayah masih sendiri dan melihat abang ayah alias
Maradjo Pohan lebih membutuhkan, maka Ayah memberikan rumah tersebut pada
abangnya. Konon kabarnya Maradjo Pohan setelah beberapa saat menjual rumah tersebut dan menggunakan dana
pembeliannya membeli sebuah rumah di daerah elite yakni Gandapura No 8.
Maradjo Pohan |
Sambutan Hangat
Saat kami
pertama kali pindah kembali ke Bandung dari Denpasar sekitar tahun 1980, dengan
menaiki kereta api jurusan Surabaya - Bandung. Di Stasiun Bandung, Maradjo
Pohan yang biasa kami panggil Uwa Gandapura, , dengan wajah gembira menyambut
kami, bersama VW Variant 1968 berwarna
krem kesayangan beliau. Bukannya langsung menuju Jln Gandapura 8, Uwa malah
mengajak kami keliling Bandung.
Terkesan sekali
melihat kota kelahiran 12 tahun sebelumnya,
yang selalu ada dalam mimpiku, jalan yang turun naik, rumah-rumah bekas Belanda
yang asri, pohon2 yang rindang, udara sejuk akhirnya kami melewati Jalan Dipati
Ukur, lalu Uwa menunjuk Universitas Padjadjaran, dan mengatakan "Ucok,
nanti kau kuliah disitu ya amang". Lalu lanjut ke Jalan Ganesha, dan
menunjuk kampus Institut Teknologi Bandung, dan berkata "Ade nanti kau
kuliah disitu ya amang". Kami diam saja mendengar kata2 Uwa yang rasanya
tidak mungkin kami capai itu.
1982, Bang Ucok
ternyata masuk ke Universitas Padjadjaran jurusan Manajemen, dan meski sedikit
terlambat aku menyusul kuliah di Paska Sarjana, Institut Teknologi Bandung
tahun 1996 jurusan Software Engineering. Entah kata2 Uwa adalah doa, atau kami
menjadi terobsesi karenanya, namun setiap hal itu teringat kami terus termotivasi
hingga kini.
Belakangan VW
Variant Double Barrel Made in USA yang dibawa beliau saat pulang dari ekspedisi
perdamaian Pasukan Garuda di Kongo, dijual oleh istri ketiga Maradjo Pohan,
lalu aku beli dari papa, dan akhirnya
menjadi milikku. Namun saat menikah karena istri tidak terbiasa menggunakan
stir kiri, maka aku jual kembali ke abangku. Sayang tape aslinya sudah hilang
akibat di reparasi oleh sepupuku Royce Arnold Pohan, dan menurut Maradjo Pohan, tape tersebut lalu tak jelas dimana keberadaannya.
Tidak Semua Tentara
Berperang
Saat aku masih
SMA, suatu saat beliau mampir ke rumah kami di Awiligar. Tahu aku mau pergi
cukuran, beliau malah menawarkan diri untuk mencukur aku. Saat itu aku selalu
berpikir yang namanya veteran perang kemerdekaan pasti ikut bertempur. Jadi pas
dicukur dengan penasaran aku bertanya berapa banyak Belanda yang ditembak mati oleh
beliau.
Eh beliau senyum-senyum
dan lalu berkata bahwa sebenarnya tidak pernah menembak Belanda, lantas beliau
bercerita tidak semua tentara pergi perang, sebagian di departemen logistik,
zeni konstruksi, dan kebetulan beliau memang di garis belakang. Saat itu, salah
satu tugas beliau adalah mencukur rambut gerilyawan yang sering-sering gondrong dan bahkan gimbal serta tentu saja kutuan.
Saat perang
usai, maka TNI dibentuk dan setiap gerilyawan diminta bergabung, namun pangkat
boleh memilih sendiri sendiri, ada yang pilih jendral dan beliau memilih pangkat
lain. Alhasil beliau pensiun dengan pangkat terakhir Kapten Infanteri
Surat Sakti Maradjo Pohan
Menjelang lulus
SMA, aku bimbingan di Saut Santosa, salah satu bimbingan kelas malam paling top
di Bandung. Saat itu sekitar tahun 1987, seperti biasa dengan mengendarai motor
butut Suzuki A100 eks Pos dan Giro yang suara khasnya sangat dinantikan remaja
yang merindukan surat dr kekasihnya akupun meluncur.
Namun malang
tak dapat ditolak, mendadak ada razia diujung jalan. Tak membawa STNK, dan juga
tak memiliki SIM, akupun memutar balik dan memutar gas sekencang-kencangnya.
Tak mau kehilangan aku, pickup polisi dengan bak terbuka, langsung memotong
jalur motor, disusul dengan terhempasnya aku ke aspal.
Lalu
serombongan polisi turun, yang satu merampas motor, yang lain memaksa aku
menyandar di pickup dengan membelakanginya, lalu menggeledah aku dari ujung
kepala sd ujung kaki, sementara yang lain memeriksa tas diktat bimbingan.
Singkat kata motor kesayangan ditahan, dan dengan lunglai aku berjalan kaki
kembali ke rumah.
Sesampainya di
rumah, Bang Ucok abangku, menghiburku dan lalu atas nasihat papa, malam itu
juga kami menuju rumah Maradjo Pohan. Saat itu aku merasa heran, dengan saran
papa, kira2 apa yang akan dilakukan beliau, bukankah beliau tentara pensiunan yang sudah
berusia 60 sekian.
Dengan tenang beliau,
mengeluarkan secarik kertas, lalu menulis dengan mantap, kira2 isinya, tolong
jangan diperpanjang dan segera lepaskan motor keponakan saya, dst, lalu
dibagian bawah tertulis Kapten Infanteri Marajo Pohan dan serangkaian nomor
yang mungkin merupakan nomor registrasi tentara beliau.
Kira-kira
menjelang jam sepuluh malam kami pun memasuki Kantor Polisi sektor Cihapit,
menjelaskan maksud kami, menyerahkan surat Uwa. Polisi jaga yang bertugas,
terdiam, dan lalu tanpa banyak kata2, beliau melepaskan kami membawa kembali
motor tersebut.
Rahasia Bagiku Namun Bukan Rahasia Bagi Orang Lain
Di Medan,
selesai prosesi pemakaman, beliau dibisiki kakaknya Salbiah Pohan, ada satu rahasia
yang disimpan Nursiti SIregar selama ini tentang anak lelaki pertamanya Maradjo
Pohan yang beliau pasti belum tahu. Dengan penasaran beliaupun bertanya apa
itu, tapi Salbiah Pohan menahannya, "Nanti setelah ketiga hari kita acarah
yasinan, akan aku beri tahu" demikian Salbiah Pohan.
Tiba malam
ketiga, acara yasinan telah selesai, beliaupun bergegas mendekati kakaknya.
Karena beliau terus mendesak akhirnya kakaknya menceritakan rahasia yang
terpendam selama ini dari. Maradjo Pohan terharu dan menangis sesunggukan, meski
sehari-hari bersikap lembut dan tenang, hari itu dia menjeritkan tangis.
Selesai
rangkaian acara di Medan, beliau mampir di Jakarta di rumah adiknya yakni Oloan
Pohan, sebelum meneruskan perjalanan ke Bandung. Maka berkumpullah semua kerabat
di rumah Oloan Pohan. Setelah menunggu cukup lama dan memastikan semua hadir
maka beliau mengatakan akan menyampaikannya
sesuatu diluar masalah warisan dan sangat serius, ungkapnya.
Lalu beliau pun
cerita, sebenarnya Nursiti Siregar seperti kebanyakan masyarakat Batak yang
patrilineal, dahulu amat sangat
mendambakan kelahiran seorang anak laki-laki, apalagi karena selama ini anak
pertama dan kedua perempuan semua. Sedangkan dalam adat batak, anak laki-laki
adalah penerus marga dan gelar-gelar lainnya. Jika belum punya anak laki-laki
maka belum sempurnalah keluarga itu.
Saking inginnya
Nursiti Siregar membahagiakan suaminya Baginda Karapatan dengan memiliki anak laki-laki,
maka Nursiti Siregar bernazar jika Allah memberikan anak laki-laki, maka beliau
berjanji tidak akan pernah melewatkan sholat lima waktu sekalipun juga.
Akhir kata doa Nursiti
Siregar pun terkabul, cuma masalahnya jika beliau lupa atau alpa tidak sholat
satu kali saja, maka kontan jatuh sakit pulalah Maradjo Pohan. Hal ini terjadi
sejak Maradjo Pohan dilahirkan dan terus berlanjut sampai saat itu. Sambil
berurai airmata Maradjo Pohan bertutur kepada semua yang hadir. Tapi seluruh
keluarga malah tertawa terbahak-bahak. ternyata cerita itu sudah bukan rahasia
lagi bagi mereka. Nursiti Siregar kerap atau bahkan terlalu sering menceritakan
peristiwa itu pada semua orang kecuali ke anaknya sendiri Maradjo Pohan, lalu
pertemuan pun bubar begitu saja dengan antiklimaks.
Lanjut ke Anak Ke #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-12-dari-17.html
Lanjut ke Anak Ke #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-12-dari-17.html
*Mengenai “Rahasia Bagiku Namun Bukan Rahasia Bagi Orang Lain” sesuai
cerita Rudi Ramon Pohan.
*Asal usul rumah di Gandapura 8 sesuai cerita Siti Hajar Lubis.
*Selebihnya pengalaman penulis langsung saat berinteraksi dengan almarhum.
No comments:
Post a Comment