Menikah dengan : Tunggal Siregar
Putra dan Putri
sbb;
- Hasan Bashry Siregar
- Arman Syah Siregar
- Erwin Siregar
- Zulfan Azhari Siregar
Sosok Mayurida Pohan adalah salah satu
dari putri Baginda Karapatan yang sangat dikenal dekat dengan keluarga ku. Ayah
beberapa kali menyebutkan betapa salah satu adik perempuanya yang paling dia
sayangi adalah Mayurida Pohan, sementara Ibuku menyebutkan kedekatan dengan
Mayurida Pohan yang membuatnya yakin ketika menerima pinangan Ayah. Maklum
mereka satu kelas di sekolah menengah yang zaman itu di sebut sebagai Sekolah
Kepandaian Putri.
Ibu juga mengatakan Mayurida Pohan
memiliki kecerdasan khusus sehingga sempat loncat kelas saat dari kelas 1
loncat kelas langsung ke kelas 3. Di
masa lalu jika Ibu dan Mayurida Pohan bertemu maka mereka sanggup saling
bercerita semalaman suntuk, khususnya ketika masing-masing memiliki masalah
dalam keluarga.
Baginda Karapatan yang bisa dikatakan
gagal dalam mewariskan jiwa enterpreneurshipnya sebenarnya sempat berharap
putrinya ini lah yang akan meneruskan bisnisnya, bukan hanya karena kecerdasan
melainkan juga karena disiplinnya. Namun apa mau dikata Mayurida Pohan malah
memutuskan kawin lari dengan Tunggal Siregar, duda satu anak yang saat itu kost di rumah Baginda
Karapatan.
Mayurida Pohan dan Siti Hajar Lubis, Sahabat Dekat Satu Sekolah di SKP |
Peristiwa kawin lari ini sempat membuat
Nursiti Siregar babak belur dihajar suaminya ketika mengetahui bahwa Tunggal
Siregar jatuh cinta saat bertemu karena Mayurida Pohan diperintahkan ibunya Nursiti
Siregar menjamu Tunggal Siregar yang saat itu datang bertamu. Sejak perjamuan itulah
Tunggal Siregar mencanangkan niat untuk memperistri Mayurida Pohan.
Untuk memperjelas cerita, berikut ini
tulisan langsung dari Erwin Siregar putra ketiga Mayurida Pohan, yang dimulai
dengan petualangan Tunggal Siregar sampai dengan menemukan tambatan hati,
menikah dan mengarungi hidup baru.
Berawal Dari Desa Lubuk Korsik
Lubuk Korsik, inilah salah satu desa di hulu sungai
Batang Pane, Padang Bolak,Tapanuli Selatan. Di desa inilah Tunggal
Siregar, lahir dan tumbuh besar hingga
beranjak remaja. Desa ini terletak di lokasi terpencil. Untuk bisa menuju desa
itu orang harus melewati banyak desa,seperti desa Purba Tua, Lubuk Torop,
Botung, Aek Gambir, Sibustak, Sungai Tolang, Siombob, Sigimbal, Mananti, Paran
Padang, Rahuning, Naga Rundeng dll. Juga harus terlebih dahulu menyeberangi
sungai Batang Pane hingga berkali kali. Jalannya berliku dan terjal, kontur
tanahnya kering dan tandus. Umumnya masyarakat sekitar menanam padi ladang
tadah hujan dan tembakau di lereng-lereng bukit yang relatif miring dan
mendaki. Saking minimnya tanah datar di kampung ini, kuda-kuda yang ada, lebih
sering digiring berjalan membawa beban
ketimbang ditunggangi untuk dipacu berlari
kencang.
Tunggal Siregar adalah anak sulung dari sembilan
bersaudara, saat usia masih remaja sekali, sekitar usia lima belas tahun, ia telah dikawinkan dengan anak gadis yang
masih memiliki kekerabatan dari desa tetangga. Kebiasaan orang desa dahulu
memang para bujang dan anak gadis rata-rata berumah tangga di usia dini. Hal
itu bisa dimaklumi karena di desa itu tidak ada sekolah samasekali, sehingga
remaja lebih cepat dewasa. Orang dikampung ini juga rata -rata punya anak
banyak, bahkan kadang sampai belasan jumlahnya.
Beberapa
aktivitas yang biasa dilakukan di Lubuk Korsik adalah saat malam tiba yakni
menembak ikan dengan cara menyelam di sungai Batang Pane yang kebetulan berada
persis di belakang rumah beliau. Dengan
hanya bermodalkan senapan air buatan sendiri dan kaca mata air yang terbuat
dari bambu.
Aktivitas
lainnya adalah berburu Rusa, beliau pernah bersama ayahnya melumpuhkan Rusa
besar yang terjebak di bawah kolong rumah mereka. Pada masa itu rumah rumah di
kampung memang memiliki kolong. Saking
besarnya rusa tsb, saat itu semua penduduk desa
berpesta daging rusa.
Berpulangnya Istri
Sayangnya isteri pertama beliau meninggal dunia saat melahirkan anak pertamanya, seorang anak
laki-laki, yang dia beri nama Guntur
Siregar. Sejak kematian isterinya
terbersit di hati beliau harus segera
merantau keluar dari kampungnya. Beliau berpikir jika ia terus menerus tinggal
di kampung maka nasib dan masa depannya tidak akan berubah. Bosan dengan
melihat rutinitas kampung yang dari dulu stagnan.
Erwin Siregar mengatakan Tunggal Siregar ayahnya, pernah
bercerita, saking parahnya jalanan kampung yang harus dilewati antar desa,
sering kuda beban mereka terpeleset kakinya di antara sela-sela dua batang
pohon yang dijadikan jembatan penyeberangan antar desa. Tak ayal lagi sang kuda
pun tewas mengenaskan di dasar jurang yang ratusan meter dibawah sana. Akhirnya
sang kuda dan beban yang dibawanya dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja
merana di dasar jurang.
Sekali waktu beliau dan
adiknya pergi berkunjung ke desa tetangga ingin melihat pesta perkawinan
yang biasanya dihibur dengan gondang dan tarian tortor. Saking asyiknya
menonton hiburan mereka pulang
kemalaman. Di tengah perjalanan hutan belantara, diterangi cahaya temeram
bulan, tiba-tiba dari balik-balik semak belukar melompat dua bayangan hitam, yang satu besar dan yang
satunya kecil. Dan akhirnya berdiri persis menghadang di hadapan mereka berdua,
berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat ayah dan adiknya berdiri.
Ternyata seekor induk harimau dengan anaknya, adik beliau
sudah gemetar ketakutan setengah mati, tidak tahu harus berbuat apa, beliau
menenangkan adiknya agar tidak berisik apalagi
menangis atau mundur lari ke belakang. Lalu beliau mengaum
sekencang-kencangnya, dan alhasil malah Sang Harimau malah lari kabur.
Merantau Untuk Pertama Kali
Tekad beliau merantau untuk mengubah nasibnya sudah
bulat, maka disampaikanlah niatnya itu kepada orangtuanya, namun orangtuanya
tidak mengizinkannya, dengan alasan beliau adalah anak sulung yang diharapkan
kelak bisa membimbing dan memperhatikan adik-adiknya, apalagi jika kelak
orangtuanya meninggal dunia. Namun karena sudah meniatkan, maka beliau tetap
pergi meninggalkan kampung halamannya tanpa restu dan sepengetahuan
orangtuanya. Hanya berbekal sedikit uang hasil penjualan termbakau yang
diambilnya dari gudang penyimpangan tembakau mereka.
Untuk keluar
dari Lubuk Korsik menuju jalan lintas propinsi memakan waktu sehari semalam,
banyak desa dan hutan semak belukar yang harus dilalui. Namun semua itu tidak
menyurutkan tekad beliau untuk merantau mengubah nasib. Yang ada di benak
beliau adalah kata merantau dan merantau saja. Seumur hidupnya baru kali inilah
dia menyusuri jalan panjang terjal, berbatu penuh liku menuju jalan lintas
propinsi tempat dia nanti akan menumpang bus yang kebetulan lewat di jalan
tersebut.
Akhirnya sampai
jualah beliau di jalan lintas antar
propinsi tersebut. Lama beliau tertegun di tepi jalan, bingung untuk menentukan
tujuan dan mau menumpang bus yang mana. Bus penumpang antar propinsi bolak
balik melintas, dan pihak kondektur bus pada sibuk menawarkan diri agar beliau
menaiki busnya. Namun beliau tetap diam membisu tidak menanggapi tawaran
mereka. Di saat dilanda kebingungan, tiba-sebuah tiba bus mendekat, dan sang
kondektur bus berteriak-teriak
,”Ayo...Rantau...Rantau...Rantau....“,
seperti tersengat beliau yang memang ingin merantau, langsung
menghentikan bus tersebut, padahal yang dimaksud supir itu tidak lain adalah
Rantau Prapat, yang jarak tempuhnya sekitar enam jam dari tempat dia berdiri
menunggu bus.
Di sepanjang
jalan beliau tidak bisa tidur, takjub dengan bus yang ditumpangi, yang meski
berbadan besar namun melaju dengan
kencang. Sesekali matanya berkaca kaca mengingat putranya Guntur Siregar yang
dia tinggal begitu saja. Dipandanginya pepohonan dan rumah penduduk di kiri
kanan jalan, yang seakan akan berlarian menjauh meninggalkan kenangan jauh di
belakang sana.
Tunggal Siregar |
Sampai di Rantau Prapat
Menjelang sore
hari sampailah bus tersebut di Rantau Prapat, terheran-heran Tunggal Siregar
melihat ramainya orang hillir mudik di jalanan, dan kagum melihat banyak bangunan
besar dan indah. Dalam hati beliau berkata, sepertinya ia sudah tidak salah pilih kota ini memang
benar-benar paling cocok untuk orang perantauan seperti dia.
Dan
keyakinannya semakin kuat bahwa ia tidak salah pilih memilih kota perantauan
tatkala dilihatnya banyak orang berkulit
putih dan bermata sipit. Sebelumnya, beliau tidak pernah melihat etnis cina
sama sekali, dan juga mendengar bahasa Tionghoa terdengar asing di
telinganya. Melihat realita itu ia mengira bahwa ia telah berpergian begitu jauh
sekali, dan mengira kota Rantau Prapat
ini adalah sebuah kota negara asing di luar negara Indonesia, yang karena itu sangat
cocok untuk tujuan perantauan.
Makan Lilin
Saat malam
tiba, beliau lalu memesan sebuah kamar di sebuah losmen, ketika menyerahkan
kunci kamar, resepsionis juga memberi beliau sebatang lilin dan lalu
menunjukkan kamar tempat beliau menginap. Beliau menerima saja kunci dan lilin
tersebut dengan senang hati dan percaya diri, padahal seumur hidupnya baru kali
itu dia melihat lilin. Karena mengira
lilin itu semacam makanan dia coba mengunyahnya, namun bingung dengan rasanya
yang hambar dan berminyak. Takut malu dilihat orang, secepat kilat sang lilin
beliau masukkan ke sakunya, dan ia berpikir keras untuk apa sebenarnya lilin
tersebut diberikan.
Beliau lalu
membuka kamarnya, lagi-lagi merasa heran kenapa kamarnya gelap gulita,
sementara kamar tamu lainnya terang bercahaya. Ia mengira, jangan-jangan sang
resepsionis tahu dia orang udik dan bodoh, sehingga mereka menganggap remeh dan
memberikan beliau kamar tanpa penerangan sama sekali. Ternyata saat itu di
daerah itu lagi terjadi giliran pemadaman listrik, sehingga setiap tamu diberi
sebuah lilin oleh resepsionis. Demi menjaga harga dirinya dan agar sang
resepsionis tidak tahu bahwa dia orang udik yang tidak tahu apa itu lilin, lalu
ia protes dengan lantang pada sang
resepsionis, “Pak...kenapa Anda menempatkan saya pada kamar yang gelap gulita, sementara
kamar-kamar disebelah saya ada penerangannya? Janganlah pilih kasih
pak...mentang-mentang saya tamu baru di sini ya...??!!” semprot beliau dengan
bahasa Indonesia yang masih terpatah-patah dan kaku.
Sang
resepsionis tersentak menjawab,”Apa bapak belum saya kasih lilin tadi ?” dengan penuh
percaya diri beliau balas menjawab, “Tidak ada, nah kalo begitu... ayo tolong nyalakan lilin tersebut sekalian
agar saya bawa ke kamar”. Resepsionis pun segera menyalakan lilinnya, sekaligus
membantu beliau memecahkan misteri lilin. Dalam hati ia tersenyum senyum dan
bergumam, “Hemm..
kena kau...akhirnya aku punya dua buah lilin”
Mayurida Pohan |
Menonton Film di Bioskop
Tidak jauh dari
loaksi losmen, kebetulan berdiri sebuah gedung bioskop. Tunggal Siregar yang tidak pernah menonton film di bioskop,
merasa terheran heran kenapa banyak
orang berkerumun mematung berdiri memandangi
poster film-film yang sedang dan akan diputar keesokan harinya.
Sementara gambar para pemain bintang film
yang ada di poster film itu tidak bergerak-gerak sama sekali. Dalam
benaknya ia berkata, kenapa banyak sekali orang bodoh rela membeli karcis segala, hanya untuk memandangi poster film yang tidak bergerak
gerak itu. Sungguh beliau tidak pernah
tahu bahwa itu memang hanya poster, sementara filmnya diputar di dalam gedung
bioskop. Seiring waktu berjalan, lama-lama barulah beliau tahu apa fungsi
bioskop dan akhirnya mulai mencoba menonton film. Dalam waktu singkat beliau
mulai merasa cocok dengan para koboy yang dimasa itu memang banyak diputar.
Terinspirasi
dari film-film koboi itulah beliau suka sekali memakai topi yang sering
dikenakan para bintang film koboi, sembari memelihara jambang dan kumisnya
sedemikian rupa agar mirip-mirip sosok Charles Bronson salah bintang film
idolanya. Kekagumannya pada
bintang-bintang film koboi terus terbawa hingga ia berumah tangga, maka dinding
rumah beliau banyak ditempelinya poster-poster bintang film koboi dengan pose
mununggang kuda, lengkap dengan background pemandangan padang prairie yang luas
dan bukit-bukit cadas, seperti yang
sering terlihat papan reklame rokok Marboro atau Lucky Strike. Bisa jadi juga
beliau teringat dengan pemandangan kampung halamannya Padang Bolak yang kering dan tandus dan tidak dapat menjanjikan
apa-apa bagi masa depannya.
Menjaga Kedai
Sekian lama
beliau hidup luntang lantung tidak ada pekerjaan, akhirnya persediaan bekal
uang dikantongnya semakin menipis dan
kandas, maka tidak bisa tidak ia harus bisa mencari pekerjaan apa saja, yang
penting bisa makan dan ada tempat berteduh. Akhirnya ada Sang Juragan pemilik kedai kelontong yang kebetulan
semarga dengan ayah bersedia memperkerjakannya menjaga kedai kelontongnya.
Sang juragan
jatuh kasihan dan simpati mendengar kisah dan kuatnya tekad beliau merantau.
Selain menjaga kelontong ternyata ayah ditugaskan Sang Juragan mengantar jemput
anaknya ke sekolah yang lumayan jauh dari rumah mereka dengan sepeda ontel
model palangnya. Tunggal Siregar yang selalu menutupi asal usulnya dari udik,
dengan mantap dan percaya diri mengiyakan tugas mengantar jemput anak juragan,
meski sebelumnya ia tidak pernah sama sekali mengenderai sepeda.
Belajar Bersepeda
Bagaimana
mungkin ia bisa mengenderai sepeda, karena di kampungnya memang tidak pernah
ada sepeda, mengingat jalanan di kampungnya penuh batu-batu besar dan naik
turun bergelombang. Akhirnya tibalah saat beliau harus mengantar anak Sang Juragan
ke sekolah, maka dinaikkanlah anak tersebut di boncengan belakang. Namun
sepanjang jalan sepeda itu tidak
dinaikinya, malah digiringnya berjalan. Si anak merasa heran, kenapa
beliau tidak kunjung menaiki sepedanya
dan mengayuhnya. Melihat beliau terus menerus menggiring sepedanya, lalu sang
anak mengomel agar beliau menaiki sepedanya. Beliau tidak menanggapi omelan si anak, namun omelan si anak
bukanmnya mereda dan malah makin menjadi-jadi. Tidak tahan mendengar omelan,
akhirnya dengan nekadnya beliau berkata dalam hati "Apa kali rupanya
hebatnya naik sepeda ini, sementara di
kampungku saja, kuda yang begitu liar pun bisa kutunggangi, apalagi sepeda kek gini. Kecillah...!" .
Beliau lalu
mengambil ancang-ancang menggiring sepedanya sambil berlari kencang, setelah
yakin dengan kestabilan larinya, lalu tiba-tiba melompat ia ke atas sadel sadel sepeda itu, dan berusaha secepat mungkin untuk bisa mengayuh
pedal sepeda. Tehnik konyol yang dilakukannya tentu membuat lajunya sepeda
menjadi limbung tidak tentu arah, stangnya liar tidak terkendali. Hanya sepersekian
detik akhirnya sepeda tercebur ke kali, untung si anak tidak terluka. Sambil menangis dia mengadukan perihal cara
Tunggal Siregar bersepeda, namun Tunggal Siregar yang tidak mau dipermalukan malah membela
diri, sambil mengatakan anak majikan lah yang yang bawel, padahal sudah kencang
masih merengek terus minta lebih kencang lagi, akhirnya kukayuhlah sekencang
mungkin, hingga akhirnya tercebur ke kali.
Bekerja di Terminal
Hanya beberapa
minggu menjadi calo bus terminal, nama beliau cukup terkenal di kawasan
terminal. Itu berawal ia dikeroyok para calo lain yang tidak senang dengan
kehadirannya, mereka menganggap kehadiran beliau di tengah-tengah mereka
mengurangi penghasilan mereka. Padahal beliau tidak pernah memanggil-manggil,
mencurangi atau memotong calon penumpang
bus sasaran mereka sebagai calo. Justru merekalah yang sering berbuat demikian
terhadapnya, namun beliau tetap menahan diri untuk sabar, karena sadar diri
sebagai pendatang baru di terminal tersebut harus selalu menjaga sportifitas.
Lagipula
Tunggal Siregar Ayah yakin bahwa rezeki kita tidak pernah tertukar dengan orang
lain, maka tidak perlu iri atau syirik pada orang lain. Kebencian mereka
terhadap beliau mungkin telah dipuncak ubun-ubun, mereka ingin memberi
pelajaran dan perhitungan pada beliau.
Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba wajahnya ditinju seorang calo yang dianggap
sebagai saingan beratnya. Lewat jurus-jurus silat yang pernah diajari orang
tuanya yang kebetulan memang pesilat tangguh di kampungnya, maka dengan mudah
beliau melumpuhkan calo yang pukul curi itu.
Melihat
kawannya terkapar, lalu dua orang calo lainnya datang membantu mengeroyoknya,
namun pertarungan tangan kosong itu
masih terlihat imbang. Di tengah serunya tarung bebas berlangsung,
tiba-tiba kepala beliau dipukul dengan
sebilah balok oleh calo satunya lagi.
beliau terhuyung terhempas jatuh ke tanah, kepalanya robek penuh darah,
hingga tidak sadarkan diri. Saat ia siuman ia kaget kenapa ia berada di rumah
sakit dengan kepala dibalut perban, sepintas mirip orang sedang mengenakan
surban putih. Matanya bengkak, hitam
kebiru-biruan,akibat darah beku di sekitar bola matanya. Kancing-kancing bajunya berlepasan, penuh bekas ceceran-ceceran darah kering. Menyadari semua
itu, beliau bukan malah ciut nyalinya. Sepulang dari rumah sakit, ia datangi
LApo Tuak di mana para calo-calo lawannya selalu berkumpul. Dengan sebilah
belati terselip di pinggang ia kembali
menantang calo yang mengeroyoknya, “Hoiii...kalo kalian jago...ayo kita satu lawan satu!” teriaknya keras, demi
melihat keberanian beliau datang menantang dalam kondisi seperti itu, pucat
pasi dan ciutlah nyali mereka.
Akhirnya,
dengan dimediasi pihak pengawas keamanan
terminal setempat disepakatilah
perdamaian antara mereka, di mana para calo yang mengeroyoknya meminta maaf
padanya. Dan dengan lapang dada beliau menerima maaf mereka. Sejak peristiwa
itu sosok beliau cukup disegani disekitar terminal, sampai-sampai ia dikira
memiliki ilmu kebal, dan punya nyawa cadangan segala.
Sebenarnya keseharianya
beliau lebih banyak diam. Entah karena katar belakang pendidikannya yang minim,
namun memang beliau selalu berkata seadanya, seperlunya secara singkat namun padat.
Lama mengalami hidup yang sulit di dunia terminal dan berkenalan dengan sosok
berbagai profesi, mulai dari penjual rokok, pedagang dan bahkan tukang copet
banyak mewarnai caranya menghadapi hidup.
Merencanakan Perampokan
Bergaul di
dunia terminal akhirnya Tunggal Siregar, yang sebelumnya tidak pernah mengenal
minuman keras akhirnya sering minum
minuman keras dengan para preman pasar yang sering terlibat melakukan tindakan
kriminal berbagai rupa. Saking terbiasanya minum minuman keras, beliau mudah saja membuka
tutup botol minuman keras dengan giginya, dengan sekali sentak saja terbukalah
botol minuman itu tanpa alat pengungkit
pembuka tutup botol samasekali. Saat tua, beliau masih dapat dengan
mudah menggunakan giginya membuka berbagai botol seperti kecap, dll.
Di suatu
sore, di kedai tuak, Tunggal
Siregar dengan dua temannya asyik
menenggak minuman keras. Di tengah asyik menikmati minuman keras, seorang
temannya, mantan residivis, mengusulkan ide
untuk mencuri salah satu toko
emas terbesar di kota Rantau Prapat, milik etnis tertentu. Gayung pun
bersambut, dan untuk memuluskan aksi, mereka menyelidiki toko emas yang akan
mereka jadikan target. Setelah persiapan
segala sesuatunya matang, malam harinya dengan membobol atap mereka menggasak
emas yang tersimpan di brankas.
Ternyata emas
yang mereka gasak cukup banyak, untuk meninggalkan jejak mereka sepakat bertiga
pergi melarikan diri ke Malaysia menggunakan
perahu tongkang lewat Tanjung Balai. Sebagian kecil emas haril curian
telah mereka jual, dan sebagian besar lagi masih di tangan Sang Residivis.
Sesuai kesepakatan saat hari keberangkatan ke Malaysia, barulah emas hasil curian akan dijual dan
semua dibagi rata sepertiga-sepertiga.
Hobi Film Koboi Berbuah Sial
Sehari sebelum
hari keberangkatan ke Malaysia, Tunggal Siregar yang tergila-gila menonton film
koboi, malam harinya masih menyempatkan dirinya berdua menonton film koboi di
bioskop kesayangannya. Saat asyik-asyiknya menonton film tiba-tiba dari ruang
operator terdengar pengumuman. Dimana
beliau Tunggal Siregar bersama rekannya Jalotup Sinaga diminta segera keluar,
dan jangan sekali-kali mencoba melarikan
diri. Smeentara bioskop ini telah dijaga
ketat dengan senjata lengkap dari Polsek Rantau Prapat.
Gemetar dan
terkesiaplah mereka berdua, rencana untuk merantau ke Malaysia buyar sudah,
dengan langkah gontai beliau dan temannya menyerahkan diri tanpa
perlawanan apa pun. Ternyata orang yang membocorkan identitas mereka adalah
Sang Residivis.
Dengan memakai
perantaraan tangan orang lain ia bocori tentang keberadaan Tunggal Siregar dan
kawannya di dalam bioskop. Sementara Sang Residivis hilang begitu saja tanpa
bekas, bagai di telan bumi. Saat itu Ayah dan temannya Jalotup Sinaga merasa
dendam luar biasa dengan pengkhianatan yang telah dilakukan Sang Residivis,
kalau saja mereka lolos ingin rasanya mereka habisi nyawa Sang Residivis.
Tertangkap
Namun akhirnya
beliau bertambah kesal campur sedih, karena ternyata yang dimasukkan penjara
hanya beliau seorang. Sementara temannya Jalotup Sinaga bermain mata dengan Sang
Polisi karena kebetulan dia punya saudara pengacara hitam yang bisa mengatur
agar dia tidak terlibat pencurian berat itu.
Tiga tahun di
penjara membaut beliau merasa benar-benar malang, maksud hati merantau hendak
mengubah nasib, akhirnya malah masuk penjara. Setelah administrasi dan segala tetek bengek urusan
pelimpahan dari tahanan polisi ke rumah penjara selesai, mulai detik itu babak
baru kehidupan rumah penjara dirasakannya.
Kehidupan di Penjara
Situasi
kehidupan penjara dimasa itu ada semacam hukum tidak tertulis, bahwa setiap
orang yang baru masuk dalam penjara harus terlebih dahulu ditato oleh sesama
napi atas perintah pemimpin non formil para narapidana sebut saja Si Algojo.
Tato itu dimaksudkan untuk membedakan
orang yang telah pernah masuk penjara dan orang yang tidak pernah masuk
penjara. Tak seorangpun di penjara tersebut yang berani menolak, kecuali dia
siap babak belur dihajar Si Algojo dang gangnya.
Beliau yang
merasa tak sanggup jika suatu saat sekeluar dari penjara memiliki tato
dibadannya, menolak dengan keras (dan juga karena masih tersisa pendidikan
agama dalam dirinya yang menganggap tato haram hukumnya). Alhasil beliau tetap
melawan dan meronta-ronta sehingga anak buah Si Algojo belum juga berhasil
mentatonya. Si Algojo yang tidak sabar langsung maju dan mencengkram buah zakar
beliau. Saat nyaris pingsan kesakitan, sipir penjara tiba-tiba masuk karena
mendengar kericuhan dan melarang mereka
mentato beliau.
Melawan Si Algojo
Melihat betapa
berani beliau mempertahankan prinsipnya agar dirinya tidak ditato, membuat Si
Algojo akhirnya sedikit segan pada beliau, terlebih-lebih narapidana lainnya.
Sampai saat itu hanya beliau lah satu-satunya narapidana yang berani menolak
untuk ditato
Khusus pada
beliau, Si Algojo pun tidak lagi sewenang-wenang namun para napi lain
diperlakukan layaknya budak, mulai dari membersihkan kamar, mencuci pakaian
sampai memijat-mijat badannya.
Apa saja yang
diperintahkannya maka semua narapidana harus tunduk dan taat padanya, pendek
kata ia bagaikan raja di penjara. Juga jika ada tamu narapidana yang berkunjung
melihat saudaranya di penjara, semua pemberiannya sebagian harus manjadi upeti
baginya. Jika tidak diberi, maka tendangan dan bogem mentah yang akan dirasakan oleh narapidana lain,
ditambah bonus caci maki.
Salah satu yang
membuat segan para narapidana lain adalah karena mereka menganggap Si Algojo
punya ilmu kebal dari berbagai senjata tajam. Sekali waktu, mereka menyaksikan
sendiri betapa ia pernah berkelahi dengan narapidana lain, meski ditusuk pisau
belati berkali-kali namun tetap saja tidak mampu menembus perutnya.
Membela Narapidana Lain
Sekali waktu,
masuklah seorang narapidana baru, konon ia mantan seorang direktur perusahaan
yang terlibat kasus penggelapan uang. Tidak tahu karena alasan apa, mungkin ada
sikap orang itu yang membuat jengkel hati, Si Algojo memaksa narapidana baru
tersebut meminum secangkir air seni segar hasil produksi Si Algojo, beliau yang
tidak suka perbuatan tersebut menepiskan cangkir tersebut,
Lalu
beliau menasehati Si Algojo itu, betapa
tidak manusiawinya memperlakukan orang seperti itu. SI Algojo urung melanjutkan
perbuatan kejinya. Beliau yang sudah siap-siap menghadapi dampratan Si Algojo
ternyata menunggu dengan sia-sia. Si
Algojo tidak bereaksi berlebihan atas cara beliau menggagalkan aksinya.
Berpindahnya Kepinding dan Kutu Busuk
Tidak lama
berselang, masuklah lagi seorang narapidana baru, jalannya terseok-seok, dekat
pergelangan kakinya ada borok besar menganga, hitam kebiru-biruan, busuk dan
bernanah. Ternyata ia tersangkut kasus
pencurian sapi, dan sempat lari berbulan-bulan ke hutan. Ketika ditemukan
aparat, kakinya telah telah luka dan menganga lebar.
Sebagai
pendatang baru, ia dianggap membawa
berkah sendiri bagi narapidana lainnya, meski boroknya bau amis seperti
bangkai. Kamar penjara yang selama ini penuh kutu busuk, kepinding, yang
sepanjang malam mengggangu tidur mereka, tiba-tiba lenyap seketika. Mereka
heran, kenapa malam itu mereka bisa tidur nyenyak tanpa diganggu kutuk busuk
sama sekali. Kemana perginya kutu busuk itu gerangan, pikir mereka. Keheranan
mereka terjawab pagi harinya, ternyata kutu busuk, kepinding, itu semua
berkumpul di borok si narapidana baru yang menganga lebar. Begitu banyaknya
kepinding dan kutu busuk sehingga cekungan lukanya sama sekali tertutup..
Pertarungan Akhir dengan Si Algojo
Beberapa bulan
kemudian, masuklah seorang tahanan baru, seorang pemuda ganteng dan berkulit
bersih. Si Pemuda dilaporkan oleh orangtua kekasihnya karena mencoba melarikan
kekasih yang tidak direstui oleh orangtuanya. Si Algojo yang ternyata punya
kelainan seksual tertarik dengan si pemuda tersebut. Suatu malam secara paksa
ia ingin menggauli pemuda itu. Karena Si Pemuda menolak keinginannya, maka Si
Algojo marah besar, dihajarnya Si Pemuda hingga terkapar dan lalu dikencinginya (maaf) meski tengah terkapar
lemah tidak berdaya. Melihat insiden itu, Tunggal Siregar berusaha mencegah dan
berhasil menahan Si Algojo untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun kebencian
Tunggal Siregar akhirnya semakin tak
tertahan melihat kelakuan Si Algojo. Sejak itu Tunggal Siregar berusaha mencari
kesempatan dan rajin mengasah sendok, dan terlebih dahulu mengolesinya dengan
darahnya sendiri,lalu dihunjamkan ke tanah untuk memusnahkan ilmu kebal Si
Algojo.
Lalu Tunggal
Siregar menyusun rencana dan waktu waktu paling pas untuk mengeksekusi Si
Algojo, yakni saat pembagian ransum yang memang merupakan tugas Si Algojo.
Tunggal Siregar sengaja memilih antrian nomor dua. Ketika tiba gilirannya,
dengan sendok terhunus tersebut secepat kilat
ia menusuk perut Si Algojo berkali-kali, hingga ususnya terburai keluar.
Darah yang
menyembur membasahi ransum para narapidana, yang akhirnya menggagalkan acara
makan saat itu. Namun dengan usus terburai, Si Algojo tetap melakukan
perlawanan dan mengejar musuhnya, Tunggal Siregar segara ambil langkah seribu
dan masuk ke ruangan kantor Kepala Sipir penjara, lalu mengunci pintunya.
Si Algojo terus
berusaha mendobrak pintu sampai akhirnya tersungkur lemas karena kehabisan
begitu banyak darah. Tunggal Siregar
lalu menjelaskan apa yang terjadi pada Kepala Sipir Penjara. Meski sempat
kuatir Tunggal Siregar meraih pistol yang kebetulan terletak diatas meja, namun
melihat Tunggal Siregar memang tidak bermaksud anah-aneh, Kepala Sipir segera
mengamankan pistol tersebut.
Akibat tindakan
tersebut Tunggal Siregar akhirnya dikenakan pasal perbuatan mencoba
menghilangkan nyawa orang lain dan hukuman tambahan dikurung dalam sel 1 x 0,5
meter selama seminggu, dan hanya diberi makan satu kali dalam sehari. Di dalam sel khusus tersebut, beliau mengalami
penderitaan yang teramat sangat karena hanya bisa tidur dalam posisi jongkok
atau bertekuk lutut, tanpa bisa meluruskan badan sama sekali. Saat itu beliau
berdoa agar tidak seorangpun keturunannya merasakan kehidupan di penjara.
Namun setelah
persistiwa tersebut situasi penjara menjadi semakin kondusif. Sejak itu sosok
Tunggal Siregar dianggap sebagai
pahlawan di antara sesama napi, karena menghormati keberanian beliau. Setelah
menanti cukup lama akhirnya beliau bisa keluar dari penjara, meski sempat kaget
melihat bajunya yang dititipkan saat masuk dulu sudah robek-robek dimakan
rayap, untungnya narapidana lain mau berbagi pakaian ganti.
Kembali Pulang
Setelah keluar
dari penjara Tunggal Siregar baru kembali pulang kampung setelah anak dari
istri pertamanya berusia sekitar 5 tahun. Sepanjang jalan, matanya
berkaca-berkaca, ia merindukan anak nya Guntur Siregar, orangtuanya,
adik-adiknya, dan semua teman-teman sepermainannya dulu. Rasanya bus yang
ditumpanginya begitu lambatnya, ingin rasanya ia terbang bersama angin agar
segera sampai.
Saat hendak
memasuki pintu rumahnya, persis di
halaman rumah dilihatnya ada beberapa
anak kecil laki-laki usia sekitar lima tahunan, bertelanjang dada
bermain pedang-pedangan. Karena ia tidak
mengenal siapa anak itu, akhirnya tidak ia hiraukan samasekali.
Pas di mulut
pintu, beliau mengucap salam, dan berteriak “Ayah...Uma...Aku pulang...!” Demi
mendengar suara yang tidak asing itu, kedua orangtuanya berhamburan keluar dari
dapur memeluk anak sulungnya yang telah sekian lama tidak ada kabar berita,
bagaikan ditelan bumi. Tangis anak beranak pecah seketika, mereka saling
melepas rindu. Lalu beliau bertanya, “Mananya...si Guntur ....?”
Ibunya menjawab,
“Itulah anakmu, si Guntur Siregar yang sedang main pedang-pedangan di luar sana” sambil menunjuk
si anak kecil tersebut.
Beliau bergegas
keluar rumah, dan langsung menggendong anak itu. Si Anak meronta-meronta menangis minta dilepas dari pelukan Tunggal
Siregar, karena ia tidak mengenal siapa orang yang tiba-tiba datang memeluknya.
“Aku ini ayahmu nak” beliau berkata lirih sembari menangis terisak-isak,
melihat anaknya tak mengenal beliau, sambil tetap dipeluknya erat sambil terus
menangis sesenggukan. Kedua orang tua beliau ikut menangis haru melihat mereka,
sambil berusaha meyakinkan anak itu ahwa Tunggal Siregar memang ayahnya.
Seiring waktu,
lama-kelamaan itu Guntur Siregar akrab dengan beliau, yang sempat hilang tanpa
kabar berita dan dan mulai suka bermanja-manja. Sejak itu pula Guntur Siregar
menjadi anak yang jauh lebih periang dari sebelumnya.
Merantau Untuk Kali Kedua
Tak lama di
kampung, setelah memulihkan kondisi psikisnya karena lama berada di penjara,
maka Tunggal Siregar memutuskan untuk kembali merantau. Kalau pada perjalan
pertama dia ke Rantau Prapat maka kini tujuannya adalah ke Padang Sidempuan.
Saat itu beliau
untuk sementara tinggal di tempat kost adiknya. Kebetulan rumah kost tersebut
adalah kepunyaan Baginda Karapatan. Adik Tunggal Siregar pun memberitahukan pada
abangnya bahwa pemilik kostnya memiliki beberapa anak gadis yang salah satunya
terkenal karena kecantikan, kecerdasan dan tentu saja keramahannya. Dan si adik
tak henti-henti mengusulkan abangnya agar tak terus larut dalam kesedihan
setelah perantauannya yang berakhir gagal dan peristiwa kematian istri pertamanya.
Cinta di atas segalanya
Setelah
perkenalan, secara jujur Tunggal Siregar menjelaskan kondisinya, yakni anak
desa, tidak bersekolah, duda dan punya satu anak lelaki. Saat itu Mayurida
Pohan yang memang polos menerima kondisi Tunggal Siregar secara apa adanya,
justru malah terkesan semakin jatuh hati campur kasihan melihat nasib Tunggal
Siregar.
Mengetahui putrinya
dan Tunggal Siregar menjalin hubungan, Baginda Karapatan marah besar pada putrinya.
Jauh didalam hatinya dia tidak ingin anaknya yang berpendidikan dan juga
berprestasi serta sangat diandalkan dalam bisnisnya ternyata berhubungan dengan
duda yang tak jelas asal usulnya.
Kawin Lari
Namun kemarahan
Baginda Karapatan hanya dianggap angin lalu oleh Mayurida Pohan, alih-alih
mundur, Mayurida Pohan malah merencanakan untuk kawin lari. Sementara Nursiti
Siregar hanya bisa pasrah dengan kenekatan putrinya tersebut. Dalam hal ini, Mayurida
Pohan bukan hanya mengabaikan ayahnya, namun juga mengabaikan semua saran saudaranya
yang ternyata juga tidak menyetujui keputusannya meneruskan cinta terlarang.
Kehidupan Pernikahan
Menjalani hidup
berumah tangga tanpa restu orangtua bukan lah hal yang mudah, apalagi keluarga
besar Mayurida Pohan satupun tidak ada yang setuju dengan keputusan yang beliau
ambil. Dalam pelarian mereka, Tunggal Siregar bekerja serabutan apa saja, demi mencari
nafkah keluarga. Seiring perjalanan
waktu saat keempat anaknya lahir, akhirnya Baginda Karapatan bisa
menerima putrinya Mayurida Pohan apa adanya, dan melupakan semua yang telah
terjadi. Karena Tunggal Siregar tidak punya pekerjaan tetap, maka sekeluarga
mereka tinggal cukup lama bersama Baginda Karapatan, dimana Tunggal Siregar akhirnya ikut dilibatkan membantu bekerja di perusahaan Baginda
Karapatan. Bahkan belakangan Baginda Karapatan dengan sukarela menyekolahkan
cucu tirinya Guntur Siregar layaknya cucu kandung sendiri.
Mayurida Pohan dan Tunggal Siregar |
Hijrah Ke Medan
Karena
keinginan yang kuat untuk hidup mandiri, Mayurida Pohan sekeluarga akhirnya
sepakat hijrah ke Medan. Di Medan lah Tunggal Siregar akhirnya mencari nafkah
dengan usaha sewa buku komik yang berlokasi di bawah pepohonan yang berjajar di
Lapangan Merdeka. Setiap pagi beliau dengan sepeda ontelnya membawa sebuah peti
persegi sekitar ukuran setengah meteran dengan boncengan sepedanya. Peti itu
berisi berbagai buku komik, sementara anak-anaknya secara bergantian sering
ikut menyertainya, dan didudukkan di atas peti tersebut. Jika dilihat sepintas
lalu persis seperti atraksi akrobat, agar tidak anak-anaknya biasanya
berpegangan erat pada leher sang ayah.
Usaha Persewaan Komik
Sesampai di
Lapangan merdeka komik komik tersebut disusun sedemikian rupa di rak-rak buku
layaknya penjual koran sekaligus bisa diangkat-angkat dan disimpan di sekitar
pergudangan stasiun kereta api. Ada sebuah kursi panjang yang disediakan bagi
pelanggan yang membaca komik. Bila turun hujan persewaan komik tidak bisa buka,
karena atapnya hanya mengandalkan rerimbunan pohon-pohon besar dan rindang yang
tumbuh di sekeliling Lapangan Merdeka.
Namun jangan
harap pertanyaan tentang komik akan dijawab oleh Tunggal Siregar, beliau hanya
tahu gambarnya saja itupun kadang hanya
gambar cover. Kenapa ? ya karena beliau
memang tidak bisa membaca sama sekali . Itu juga yang menjadi sebab kenapa
anak-anaknya selalu dibawa beliau bergantian. Selain agar ada teman ngobrol,
anak-anaknya juga diberdayakan agar bisa membantu mencarikan nama-nama komik
pesanan pelanggan. Saat datang komik komik baru yang dipesan beliau, maka
anak-anaknya pun berebutan membacanya,
aroma khas komik baru itu rasanya harum
semerbak bagi anak-anaknya. Hobi membaca tersebut, akhirnya menjadi kebiasaan
anak beliau khususnya Erwin Siregar.
Menjadi Penarik Becak
Namun malang
tak dapt ditolak dan untung tidak dapat diraih, usaha komik ternyata tidak bisa
bertahan lama. Disebabkan ada peraturan Pemerinta
Kota yang melarang pengusaha kecil persewaan komik membuka usahanya. Kali ini
Tunggal Siregar banting stir alih profesi menjadi penarik beca. Erwin Siregar
masih jelas mengingat bagaimana Tunggal Siregar, ayahnya mengayuh beca hingga jari-jari kaki
ayah menjadi kapalan, dan bentuknya berubah lebih mirip seperti segi tiga.
Anak-anak Ikut Membantu Orang Tua Dengan mengepul Barang Rongsok.
Karena tetap
saja tidak cukup, demi menambah penghasilan rumah tangga, keempat anaknya selepas
sekolah keluar rumah menjadi pemulung barang-barang bekas. Saat itu yang
namanya kaca atau beling adalah termasuk barang yang punya nilai ekonomis atau
layak jual, yang sangat diminati para pengepul barang rongsok.
Dengan
bermodalkan karung kecil dan sebuah piring kaleng bekas, keempat anak tersebut pun
turun ke sungai atau parit busuk yang letaknya persis di belakang rumah adik
Mayurida Pohan alias Nurlena Pohan. Piring itu berfungsi untuk menyekop atau
menyendok dasar parit busuk itu agar
bisa menemukan serpihan-serpihan kaca rumah tangga orang yang bisanya dibuang
begitu saja ke sungai ataupun parit busuk.
Erwin Siregar
sering merasa perlindungan Tuhanlah yang menjaga mereka berempat sehingga tidak
terluka saat mencari pecahan-pecahan kaca. Putra Nurlena Pohan alias Syafril sangat ingin membantu sepupunya mencari
serpihan kaca di dasar parit itu namun dilarang oleh Nurlena Pohan. Karena
berusaha tetap solider maka, Syafril hanya menjadi penonton di sisi sungai ataupun
parit busuk persis di belakang rumahnya. Meskipun Syafril dan keluarga secara
ekonomi terhitung orang berada, karena posisi ayahnya yang menjadi pejabat di
Kepolisian, namun hubungan persaudaraan anak-anak Mayurida Pohan dan anak-anak
Nurlena Pohan tetap kompak dan akrab tanpa mempermasalahkan kaya atau miskin.
Semua
barang-barang rosok yang diperoleh dikumpulkan oleh anak-anak di bawah tempat
tidur yang terbuat dari lembaran-lembaran papan, tanpa kasur dan hanya
beralaskan sehelai tikar pandan. Biasanya menjelang satu bulan maka penuhlah
semua timbunan barang rongsok di bawah tempat tidur. Lalu berbagai barang rosngok
itu dimuat ke atas beca untuk dibawa Tunggal Siregar ke pengepul barang rongsok.
Uang hasil penjualannya semua diserahkan oleh anak-anak pada Mayurida Pohan,
lalu disisihkan oleh beliau sebagian untuk jajan keempat anaknya.
Menjadi Buruh Bongkar Muat
Menyadari
profesi sebagai tukang beca tidak akan bisa merubah nasib jauh lebih baik,
akhirnya Tunggal Siregar mencoba melamar pekerjaan sebagai buruh bongkar
muat barang, merangkap tukang
bersih-bersih di perusahaan bus Batang Pane melayani trayek Medan-- Padang
Sidempuan. Berkat kedisiplinan, kerajinan dan keuletannya bekerja ia
mendapatkan penghasilan yang jauh lebih
baik ketimbang teman sekerja sesama buruh bongkar muat barang.
Seragam Bagi Empat Bersaudara
Karena
kehidupan yang sangat sulit, Mayurida Pohan menjelang lebaran selalu membeli
bahan kain yang sama bagi celana dan baju bagi keempat putranya. Kadang keempat
putranya keberatan dengan pakaian tersebut, namun Mayurida Pohan mengingatkan
bahwa seragam itu agar kelak mereka berempat tetap kompak.
Untuk sepatu,
sengaja dibelikan yang berbahan karet dan dimasa itu sering dinamakan Partakos,
sehingga sangat kuat meski kadang harus terendam air saat musim hujan. Bahkan
saking kuatnya, salah satu putranya Erwin Siregar bercerita sengaja menginjak
batu-batu yang runcing dan tajam agar memiliki alasan untuk segera diganti.
Kini mengingat itu semua, kadang muncul sesal betapa saat kanak-kanak kita
sering sekali tidak tahu bagaimana susahnya orang tua mengupayakan kehidupan
yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Promosi Menjadi Kepala Cabang Bus
Batang Pane
Suatu ketika, Direktur Utama yang berdomisili di Padang
Sidempuan menyuruh Tunggal Siregar menghadapnya. Beliau heran dan bingung apa gerangan terjadi sehingga dia disuruh menghadap Direktur
Utama segala. Tentu itu tidak pernah terbayangkannya, karena ia menyadari ia
hanya pegawai rendahan yang tidak mungkin ada sangkut pautnya dengan Direktur Utama.
Rupanya Sang Direktur Utama menawarkan beliau jabatan sebagai Kepala Kantor Cabang
Perusahaan Bus Batang Pane, karena Kepala Cabang Medan sebelumnya terlibat
korupsi uang perusahaan, sehingga sesegera mungkin harus digantikan. Beliau
kaget setengah mati mendengar tawaran itu, bagi dia itu bagaikan mendengar
petir di siang bolong.
Betapa tidak, ia teringat bahwa ia tidak bisa baca tulis,
dan berhitung sama sekali. Apa yang dia jalankan selama ini hanyalah bekerja
sebaik baiknya, dan sama sekali tidak pernah bermimpi yang muluk-muluk. Apalagi
dia tidak pernah duduk di bangku sekolah sama sekali. Sementara Kepala Cabang
yang akan digantikannya adalah seorang alumnus Fakultas Ekonomi, yang memiliki
gelar “Drs”. Beliau bahkan lebih sering
mengeja “Drs” sebagai “Doktorhandus”, dengan tambahan huruf “H”.
Demi menjaga kesan baik dan agar Sang Direktur Utama
tidak tahu bahwa beliau tidak tahu baca tulis, maka beliau pun pura-pura minta waktu dan bermusyawarah
dengan istrinya alias Mayurida Pohan terlebih dahulu, dengan alasan ingin untuk
mempertimbangkan apakah tawaran Sang Direktur Utama diterima atau tidak.
Sang Direktur Utamapun memberi dia waktu sekitar seminggu
untuk menawab tawaran tersebut, untuk memutuskan apakah posisi Kepala Cabang
Medan ini perlu ditawarkan pada kandidat lainnya. Beliau menyetujui waktu
seminggu yang diberikan. Keluar dari ruang rapat direktur utama, hati beliau
berbunga-bunga layaknya berjalan di atas awan, ia membayangkan betapa
bahagianya istrinya jika mendengar kabar bahagia yang tidak pernah
terpikirkannya sama sekali selama hidupnya.
Belajar Membaca dan Menulis
Saking girangnya beliau, sepulang kerja ia bergegas ke
toko buku, dan membeli buku tulis besar dan tebal seukuran folio, buku ini
sering disebut buku kustum, yang sering dipakai siswa yang kursus jahit
menjahit, dan digunakan untuk menggambar pola-pola model baju dll. Beliau tidak
bisa membedakan mana buku tulis biasa dan mana buku tulis kustum. Semua buku
itu sengaja dibeli karena di malam hari
dia ingin belajar pada istrinya baca tulis, dan matematika sederhana. Dan yang
tidak kalah penting, ia juga minta diajari bagaimana membuat tandatangan agar
tandatangan terlihat elegan dan memiliki pola yang konsisten. Ia bertekad dalam
satu minggu ia harus bisa menguasai semua pelajaran tersebut plus tandatangan
tentu saja, agar tenggat waktu yang ditetapkan sang direktur utama jangan
dilewatkan begitu saja.
Saat beliau pulang, Mayurida Pohan terkaget-kaget melihat
suaminya membawa-bawa buku kustum segala. Lalu beliau pun memaparkan kabar
bahagia itu. Mayurida Pohan seakan
bermimpi mendengar cerita suaminya dan malam itu juga dengan penuh sukacita dan
kesabaran Mayurida Pohan mengajari semua
pelajaran yang dibutuhkan suaminya. Untungnya Tunggal Siregar tekun mengikuti
apa apa yang diajarkan istrinya. Tidak sia sia memang Mayurida Pohan dahulu sering juara kelas, dan
kini dia mampu mengajari suaminya.
Bahkan sepertinya Mayurida Pohan tahu betul
metode dan teknik belajar
mengajar kilat dan praktis agar suaminya
mudah mencerna pelajaran yang diberikan dalam waktu seminggu.
Berkat kegigihan dan besarnya keingintahuan
Tunggal Siregar terhadap hal-hal yang baru dan menantang, akhirnya dalam
waktu seminggu beliau bisa menguasai baca tulis dan matematika dasar. Dan tentu
saja serta tanda tangan yang polanya
konsisten. Uniknya kualitas tulisan latin beliau bahkan lebih baik dibanding tulisan
tangan anak-anaknya.
Maka persis setelah seminggu, beliau pun menghadap Sang Direktur
Utama dengan penuh percaya diri dan penampilan bak selayaknya Kepala Kantor yang
sebenarnya , meski pakaian yang dikenakannya adalah pakaian rombeng dan sepatu
yang dibelinya di Pajak Sambu. Sejak itu resmilah beliau menjadi pejabat Kepala
Kantor Bus Batang Pane. Semua teman sekerjanya respek dan mendukung karena selama
ini dia memang pandai bergaul dan lurus lurus saja. Hingga beliau meninggal
dunia tidak ada seorang pun orang sekantornya yang tahu bahwa dia tidak pernah
duduk di bangku sekolah sama sekali.
Bahkan ketika kawan sekantornya menanyakan ia tamatan sekolah apa, dan dia jawab dengan
jujur, justru mereka yang bertanya tidak mempercayai jawabannya sama sekali. Beliau
biasanya diam saja, karena dia memang selalu menjawab apa adanya
Pindah Ke Perusahaan Bus Sampagul
Berselang kurang lebih lima tahun menjabat Kepala
Cabang Perusahaan Bus Batang Pane, mengingat kinerjanya yang lumayan bagus,
lalu sebuah Perusahaan Bus Sampagul yang jauh lebih besar dan maju ketimbang
bus Batang Pane, datang menawarikan
beliau agar bersedia menjabat
Kepala Cabang Perusahaan Bus Sampagul. Kepala Cabang yang lama diberhentikan
karena dinilai kurang cakap manangani
perusahaan sehingga sulit bersaing. Peluang tawaran bagus ini tentu
tidak disia-siakan beliau mengingat
kebutuhan hidup yang terus saja
semakin meningkat. Juga karena keempat anaknya
anaknya bersekolah semua. Lalu beliau pun minta izin dan pamit secara
baik-baik kepada Direktur Utama Batang Pane, dan ternyata pihak perusahaan
lamanya rela melepas kepindahan ayah dengan tangan terbuka, tanpa ada masalah
sedikitpun.
Setahun beliau
mengepalai Perusahaan Bus Sampagul, maka perusahaan tersebut semakin maju pesat, bahkan yang sebelumnya
trayeknya hanya melayani Medan - Padang Sidempuan, akhirnya melebarkan sayap
hingga trayek Medan- Jakarta. Meski memiliki jabatan sebagai Kepala Cabang
tidak berarti beliau memanfaatkan
kedudukannya untuk memberi fasilitas gratis pada keluarganya sesukanya.
Sesekali saja anak-anak beliau memanfaatkan bus tersebut,seperti saat Erwin
Siregar dan Syafril mengunjungi rumah bibinya
di Bukit Tinggi semasa liburan sekolah. Satu hal yang selalu diingat
Erwin Siregar adalah disiplinnya beliau saat bekerja. Beliau telah hadir
pagi-pagi sekali sebelum semua pegawai yang lain datang, dan pulang belakangan
setelah pegawai yang lain pulang. Pernah suatu pagi, beliau melihat kantor
belum dibuka, sementara hari telah terang benderang, tanpa basa basi beliau
menerjang pintu kamar tidur penjaga
kantor tersebut hingga lepas kunci engselnya. Sontak sang pegawai kantor tersentak bangun
ketakutan, dan minta maaf, lalu beliau
menasehati dia dengan baik-baik agar tidak mengulangi lagi kebiasaan
buruknya.
Keluarga Besar Berdatangan
Saat para sanak
keluarga di kampung pada tahu bahwa Tunggal Siregar telah menjabat sebagai
Kepala Perusahaan Bus Sampagul, maka banyaklah para sanak keluarga berdatangan
ke Medan dengan menumpang Bus Sampagul, dengan berbagai kepentingan masing
masing. Maka jadilah rumah Tunggal Siregar bak losmen penginapan sementara,
sehingga rumah tidak pernah sepi disinggahi para keluarga, yang kuatir akan
keamanan Medan serta untuk menghindari tersesat di kota besar.
Mayurida Pohan menyambut semua sanak keluarga yang
berkunjung dengan sukacita, semua diperlakukan sama, baik keluarga dari pihak
Tunggal Siregar atau pihak beliau. Saking santernya kebaikan Mayurida Pohan
melayani mereka , maka saban waktu ada terus saja sanak keluarga yang
berkunjung ke Medan, bahkan ada yang sekadar ingin pelesiran atau melancong melihat kota Medan
saja. Ada juga yang minta dijadikan pembantu rumah tangga Mayurida Pohan, meski
tidak digaji pun mereka bersedia, yang
penting tinggal di kota Medan. Tidak sedikit ada orang yang mengaku-ngaku
“keluarganya keluarga” berkunjung ke rumah kami dengan berbagai kepentingan, namun semua itu tetap dilayani Mayurida Pohan dengan sukacita.
“keluarganya keluarga” berkunjung ke rumah kami dengan berbagai kepentingan, namun semua itu tetap dilayani Mayurida Pohan dengan sukacita.
Nasihat Tunggal Siregar
Pencapaian
karir Tunggal Siregar hingga bisa menjabat sebagai Kepala Cabang, meski
samasekali tidak pernah duduk di bangku sekolah menjadi inspirasi bagi beliau
saat menasehati anak-anaknya. Beliau sering berkata, “Lihat lah aku, anak dusun
yang tidak pernah duduk di bangku sekolah pun bisa diangkat Kepala Cabang, seharusnya kalian yang sudah
sekolah tinggi tidak lagi tinggal di Indonesia, tapi justru tinggal dan sukses
di Amerika, Jerman, Prancis dan lain sebagainya”. Apa yang dikatakan beliau itu
bisa jadi memang benar adanya, karena kenyataannya menurut Erwin Siregar pencapaian
karir anak-anak beliau yang malah pernah duduk di sekolah tinggi belum ada yang bisa mengimbangi karir puncak beliau.
Bagi beliau keuletan,
kegigihan, kesabaran, ketabahan, dan kejujuran di atas segala-segalanya.
Percuma punya gelar titel berderet-deret di depan dan di belakang nama tidak
memiliki hal-hal mendasar yang dia sebutkan.
Erwin Siregar
sendiri akhirnya menyadari,semua yang dijelaskan beliau itu memang benar
adanya, sebelum perihal kecerdasan emosional ramai dibicarakan para pakar
sebagai tolok ukur kesuksesan hidup seseorang, Tunggal Siregar sudah mempraktekkan
dalam kehidupannya justru karena ia menyadari minimnya bekal pendidikan yang dia punyai. Maka
jalan satu-satunya adalah dengan menyempurnakan etos kerja.
Nasihat Mayurida Pohan
Kepada
anak-anaknya, Mayurida Pohan sering memberi nasihat agar mengikuti jejak
saudara lelakinya yakni Maradjo Pohan, Oloan Pohan dan Syaiful Parmuhunan
Pohan, yang berusaha untuk merantau, kerja keras dan sekolah setinggi mungkin.
Selain itu agar meniru bagaimana mereka sembilan bersaudara selalu kompak meski
menghadapai berbagai masalah kehidupan.
Cerita Lain : Hasan, Nunung dan Maraonom
Saat Ayah
bekerja di Perum Pos dan Giro (sekarang PT Pos Indonesia), Mayurida Pohan dan
Nurmina Pohan meminta anak-anak mereka Hasan dan Nunung agar dimasukkan sebagai
pekerja di kantor. Ayah meminta tolong pada sahabat-sahabatnya untuk memasukkan
keponakan-nya bersama-sama dengan salah satu kerabat dari keluarga Nursiti
Siregar bernama Maraonom.
Tahun-tahun
berlalu, hanya Maraonom yang benar-benar tekun meneruskan karirnya sampai
dengan pensiun. Sementara Hasan dan Nunung karena berbagai sebab akhirnya
keluar begitu saja. Nunung bahkan sempat terlibat kasus penyalah gunaan dokumen
dan paket pos. Untuk menjadi pegawai Perum Pos dan Giro memang dibutuhkan sosok
amanah yang dapat menjaga titipan pelanggannya. Maraonom juga terus menjalin
hubungan kekerabatan dengan meluangkan waktu untuk selalu mampir ke rumah
Mayurida Pohan saat-saat istirahat dari bertugas.
Cerita Lain : Bertetangga Dengan Adik Sendiri
Karena di satu
masa pernah berdekatan tempat tinggal dengan Nurmina Pohan, maka anak-anak
mereka bisa dibilang cukup dekat dan bergaul sehari hari. Bukan cuma saling
berkunjung, mereka juga cukup sering saling bertukar menu dan saling bertukar
dapur. Namun sesuai cerita Erwin Siregar, mereka berempat tetap harus memantau
situasi mengingat suami Nurmina Pohan alias Zulkifli Daulay dikenal sebagai
sosok yang agak temperamental.
Cerita Lain : Perkelahian Hasan dan Arman
Meski Mayurida
Pohan bersaudara sangat akrab satu sama lain, namun anak kesatu dan kedua dalam
keluarganya dikenal selalu berkelahi satu sama lain yakni Hasan dan Arman. Sementara anak ketiga dan keempat relatif berkarakter
lebih tenang, yakni Erwin dan Zulfan. Kalau melihat kedua anaknya berkelahi,
Mayurida sering sekali menangis.
Erwin, Zulfan, Arman dan Hasan |
Cerita Lain : Putri Pilihan Nursiti Siregar
Saat Baginda
Karapatan meninggal dan sesuai kesepakatan maka Nursiti Siregar diberi
kesempatan untuk memilih dengan putra dan putri yang mana beliau ingin tinggal.
Beliau memilih Mayurida Pohan. Karena rumahnya cukup sempit, maka diputuskan
untuk membeli rumah dibagian belakang untuk tempat tinggal Nursiti
Siregar.
Cerita Lain : Memanfaatkan Teh Tersisa
Suatu hari
datang lima orang tamu yang merupakan sahabat-sahabat Tunggal Siregar saat mereka
masih di Jalan Perjuangan. Mayurida Pohan langsung membuat teh manis para tamu tersebut.
Setelah para tamu pulang, ternyata tidak semua teh manis dicangkir habis
diminum.
Tak lama
berselang saat beliau mau tidur siang, mendadak datang lagi tamu yang lain.
Kali ini mereka cuma berdua. Mayurida Pohan langsung kembali ke dapur mengambil
dua cangkir baru, lalu menuangkan sisa isi lima cangkir rombongan tamu pertama
tadi ke dalam dua cangkir baru tersebut. Lalu terhidanglah jamuan dua cangkir teh
manis berikutnya dan beliau pun segera masuk kembali ke kamar melanjutkan tidur
siangnya.
Cerita Lain : Mayurida Pohan dan Anak Monyet
Pada suatu hari
Guntur Siregar, anak tiri Mayurida Pohan datang dari Gunung Tua ke Medan,
dengan membawa seekor bayi monyet, yang masih merah. Anak monyet itu dia bawa karena
ia teringat Zulfan Siregar adik tirinya pernah merengek minta monyet agar dapat
dipelihara. Guntur Siregar berkisah anak monyet itu ia dapatkan dgn menembak
induknya, jatuhlah sang induk dan anak yg masih dalam gendongannya sambil terus
mengisap puting susunya induknya yang sedang sekarat.
Demi mendengar
kisah itu Mayurida merasa iba. Saban hari ia beri susu bayi SGM hingga bayi
monyet tersebut perlahan lahan tumbuh besar. Monyet ini sangat manja juga jinak pada
Mayurida Pohan, bahkan tidur pun mereka seranjang. Tapi ya namanya juga
monyet, mahluk satu ini memang suka
usil, akibatnya para tetangga mengeluh karena merasa makanan mereka sering
hilang.
Melihat betapa sayang
Mayurida Pohan pada monyet kecilnya, akhirnya putra beliau Arman Siregar
bersama teman-temannya membuang monyet itu. Mengetahui monyetnya hilang, Mayurida
Pohan merasa sedih sekali. Terus menerus cemas dan sedih berkepanjangan,
akhirnya teman Arman Siregar yang tidak tega, memberitahu Mayurida Pohan bahwa
dialah bersama sama Arman Siregar yang membuang
monyet tersebut.
Bukannya mereda,
beliau malah menangis semakin menjadi jadi dan merepet berkepanjangan pada
putranya Arman Siregar. Dalam hidupnya
peristiwa Itu adalah salah satu kesedihan yang paling memilukan. Anehnya Arman
Siregar hanya diam membisu,sepertinya dia tidak merasa bersalah dan berdosa
melukai hati ibundanya.
Cerita Lain : Mayurida Pohan dan Anak Burung
Suatu hari, di
halaman rumah Mayurida Pohan, ada sangkar burung gereja jatuh dr pohon,
terlihat anaknya yang masih merah dengan bulu-bulu yang belum tumbuh sempurna.
Karena kasihan maka Mayurida Pohan, memberi makanan setelah sebelumnya dikunyah
terlebih dahulu. Burung ini beliau rawat penuh kasih sayang, sampai bulu
bulunya tumbuh dan mulai belajar terbang. Setiap hari burung itu terbang keluar
rumah, anehnya setiap sore sore kembali pulang ke laci mesin jahit Mayurida Pohan. Jika beliau sedang menjahit kadang dia
sering hinggap di bahu atau bahkan di kepala. Lambat laun Si Burung sudah seperti
bagian dari keluarga.
Namun malang tidak
bisa ditolak, sekali waktu Sang Burung menemui ajalnya karena dimakan kucing
garong, maka beliau lagi lagi bersedih dan menangisi kematian burung yg sudah
dia anggap layaknya anaknya sendiri.
Mengenang
peristiwa itu, salah satu putra beliau, Erwin Siregar jika menemui sangkar
burung jatuh. Selalulah ingatan nya melayang pada ibunya Mayurida Pohan. Betapa
lembut hati beliau, dan Erwin Siregar berdoa semoga arwah beliau di alam sana
dipertemukan dengan monyet dan burung
kesayangannya.
Berpulangnya Mayurida Pohan
Saat Ayah
menangisi jenazah Mayurida Pohan, sesuai dengan cerita Erwin Siregar, beliau mengatakan
bahwa Mayurida Pohan lah saudara yang paling disayanginya melebihi
saudara-saudaranya yang lain. Ayah juga memuji karakter Mayurida Pohan yang tidak
pernah bertikai dengan sesama saudaranya. Dan hal tersebut tidak lain karena sifat
nya yang penyabar, lembut dan juga periang. Secara karakter Mayurida Pohan lah
yang paling mirip dengan ibunya alias Nursiti Siregar.
Bukan hanya
Ayah yang perhatian, abang Mayurida Pohan, yakni Oloan Pohan juga rajin
mengirim surat-surat sebagai nasihat pada adiknya saat menghadapi pasang surut
kehidupan rumah tangga. Pada dasarnya nyaris semua saudara Mayurida Pohan
memang kurang sreg dengan Tunggal Siregar, namun Mayurida Pohan tetap menjaga
keutuhan pernikahan mereka sehingga maut memisahkan. Surat-surat dari
abangnya, beliau susun dengan rapi dan
disimpan baik-baik.
Adik bungsunya
alias Nurlena Pohan juga begitu terpukulnya meninggalnya kakaknya tersebut,
apalagi baginya Mayurida Pohan sudah
dianggapnya sebagai pengganti ibunya sendiri. Saat kecil Mayurida lah yang
menggendong adik bungsunya kemana-mana.
Lanjut ke Anak ke #7 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-15-dari-17.html
*90 % cerita ini
merupakan tulisan langsung dari Erwin Siregar
*Anekdot mengenai teh
daur ulang sumbangan Rudi Ramon Pohan
*Sisanya merupakan
tambahan penulis dari sana sini dengan nara sumber Siti Hadjar Lubis.
No comments:
Post a Comment