Homestay yang kami sewa terdiri dari lima
kamar, tiga kamar di lantai bawah dan dua kamar dilantai atas. Setiap kamar berukuran
sekitar 4x4 m, sudah dengan kamar mandi didalam dilengkapi air panas dengan
menggunakan gas. Ada dua ruang keluarga, satu di atas dan satu dibawah serta
satu ruang tamu dan dapur. Salah satu ruang keluarga dilengkapi dengan
perapian, dan secara keseluruhan homestay ini bagus dan mencerminkan selera seni diatas rata-rata
homestay lainnya. Begitu membuka pintu, di sisi kiri langsung terlihat
Gunung Sindoro, di bagian depan kiri nampak dua buah sumur besar beratap
yang konon kabarnya untuk menampung pembuangan aliran air dari danau. Sedangkan
di bagian depan nampak Terminal Shuttle yang tengah dibangun.
Perapian Homestay |
Dua kamar dibagian atas digunakan satu
keluarga dari Jakarta, namun Innova yang mereka kendarai gagal parkir di depan
homestay karena selain cukup terjal belokannya juga tajam. Saya terpaksa pakai
trik mundur untuk bisa parkir persis depan homestay, tentu saja disertai ban
yang mendecit dan sedikit asap hitam.
Homestay Bunga |
Udara semakin dingin, untungnya lantai
kamar dilapisi karpet. Ketika
menggunakan kamar mandi, airnya bagaikan mengiris-ngiris bagian bawah tubuh
saat bebersih. Setelahnya kaki dan tangan tetap kedinginan meski sudah
disusupkan ke dalam dua lapis selimut. Karena capai kami usahakan cepat tidur
agar dapat fit keesokan harinya. Adik ipar yang pernah lama di Jepang
mengatakan, dahulu dia selalu berpendapat lebih enak udara dingin dibanding
panas, saat di Jepang dia berubah pikiran ternyata jauh lebih nikmat udara
panas meski harus kegerahan di banding udara dingin.
Pagi harinya Sabtu sekitar jam 04:00,
ternyata hujan turun lalu disusul kabut tebal,
mas Gofir datang dan lalu menyampaikan percuma saja kalau kami ke
Sikunir pagi ini, karena tidak akan terlihat apa-apa. Akhirnya kami memutuskan
setelah menikmati kopi, untuk sarapan
pagi di warung Bu Yati dengan menu Ayam
Goreng Sambal Rawit Hijau. Masakan Bu
Yati memang mantap, tak aneh jika warung beliau meski lokasinya agak ke
belakang banyak didatangi para pendaki yang akan ke Gunung Prahu.
Sambil ditemani musik latar yang sedang
memainkan For Whom The Bell Tolls karya
Metallica yang terinspirasi dari Ernest Hemingway, kami selesaikan sarapan
kami. Pemilik warung yang menggunakan kaos salah satu group metal lokal bolak
balik melayani kami. Aneh juga rasanya sarapan pagi sambil diteror dengan
dentuman album konser Metallica.
Lanjut ke Part #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/perjalanan-ke-dieng-4-eksplorasi-candi.html
Lanjut ke Part #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/perjalanan-ke-dieng-4-eksplorasi-candi.html
No comments:
Post a Comment