Menikah dengan : Muchtaruddin
Putra dan Putri
sbb
- Arlin Syafril / Apen (1964)
- Febrina Ros Natali / (1966)
- Rahmad Hidayat / Adek / Somex (1968)
- Nila Novemi / Emi (1970)
- Rachmawati / Butet (1973)
Bagaikan Artis India
Meski waktu kecil Nurlena Pohan berkulit
agak hitam dan sering ditertawakan oleh kakak-kakak perempuannya, namun Nursiti
Siregar meramalkan anak bungsu yang dia lahirkan tanpa bantuan siapapun ini akan
cantik seperti artis India. Saat
menjelang remaja, terbukti bahwa Nurlena menjadi salah satu kembang yang
mengundang lirikan banyak pria di Padang Sidempuan.
Nurlena Pohan menurut penuturan Nursiti
Siregar, masih suka menyusu sampai kira-kira kelas 4 SD. Walaupun Nursiti
Siregar sudah tidak lagi memiliki ASI. Namun Nursiti Siregar membiarkan saja
anak bungsunya ini menyusu. Saat dewasa apabila disinggung cerita ini, Nurlena
Pohan akan tertawa malu.
Tetap kukuh dalam berpendapat soal anak
bungsuinya, setiap kali kakak-kakaknya kembali meledek kulitnya, Nursiti
Siregar hanya menjawab
“Naron naa degesan anggi mon .. ligi maa…
songon bintang pilim Andia do on saulakon”
Yang artinya
Nanti kelak .. cantik sekali adik kalian
ini .. seperti bintang film India.
Dan memang diantara semua anak perempuan
Baginda Karapatan, Nurlena Pohan lah yang paling menarik penampilannya.
Berkenalan dengan Polisi Ganteng
Perkenalan Nurlena
Pohan dan suaminya Muchtaruddin cukup unik. Saat itu Muchtaruddin yang sedang
berdinas di polisi bagian lalu lintas sering bertugas di Simpang Tiga di Padang
Sidempuan. Dari jauh Muchtaruddin melihat seorang gadis cantik, tinggi semampai
sedang bersepeda. Lantas sebuah ide melintas di benaknya agar bisa berkenalan
dgn gadis itu. Lantas dia bunyikannya pluitnya...”Pritttt !” dan di hentikannya
sepeda gadis itu lalu ditilangnya dengan alasan tidak memiliki pentil sepeda.
Bukannya menurut, Sang Gadis malah marah-marah, dan mengatakan “ Kau tidak
kenal ya Bapak ku Baginda Karapatan ? ambil saja sepedanya sekalian !” dan sambil
melengos Sang Gadis itu pun pergi meninggalkan sepedanya dengan Muchtaruddin
yang masih terpana karena kecantikan dan juga sikap ketus Sang Gadis.
Nurlena Pohan pulang dan langsung mengadu sambil menangis ke Baginda Karapatan,
Tanpa pikir panjang, beliau langsung mendatangi Kepolisian dan mencari
Muchtaruddin, yang berani-beraninya menilang putrinya. Baginda Karapatan yang memang berkarakter
keras, langsung mengamuk dan sampai-sampai membalikkan meja Kantor Polisi serta
menyuruh Muchtaruddin minta maaf pada anaknya serta mengembalikan sepedanya.
Muchtaruddin kaget dan cukup segan melihat Baginda
Karapatan, namun setelah mencari tahu mengenai sosok Baginda Karapatan, beliau
memberanikan diri datang dengan membawa oleh-oleh sebecak penuh dengan
buah-buahan. Ternyata kesukaan Baginda Karapatan akan buah-buahan menjadi
kelemahan beliau, yang langsung menerima Muchtaruddin dengan ramah, dan
akhirnya membiarkan Sang Polisi Ganteng berkunjung ke rumah dan langsung
menyemai cinta diantara Nurlena Pohan dan Muchtaruddin.
Sementara itu wanita mana pula yang tidak luluh melihat Polisi ramah dan
ganteng yang sejak saat itu selalu membantu menyebrangkan Nurlena Pohan dan
kawan-kawannya setiap pagi yang kalau ukuran sekarang, sepertinya Muctaruddin bisa
masuk ke dalam dunia maya dengan tag
‘Polisi Ganteng’.
Orang Pintar yang Menyebalkan
Kesal dengan situasi yang terjadi, Baginda
Karapatan minta bantuan orang pintar untuk memisahkan ikatan asamara mereka.
Namun, setelah memantau alam lain, Si Orang Pintar menolak melakukan tugasnya.
“Ulang amangboru, anggo u ida naa
degeeessan rasoki ni alai on !”
Yang artinya
“Jangan paman, kalau kulihat , bagus sekali rezeki mereka”
Ahh
geram Baginda Karapatan, lalu semburnya
“Si te do ho !! Keni ho .. !! “
Sepertinya terjemahannya tidak perlu,
karena kurang pantas diterjemahkan.
Mengikuti Jejak Kakak dengan Kawin
Lari
Sebagaimana kakak-kakanya seperti Mayurida Pohan dan
Nurmina Pohan, maka Nurlena Pohan pun terpaksa kawin lari pada usia kira-kira
19 tahun, karena lagi-lagi Baginda
Karapatan tidak merestuinya. Baginda Karapatan tidak mau putri bungsunya menikah
dengan orang Aceh yang dia cap sebagai Tukang Kawin.
Muchtaruddin dan Nurlena Pohan |
Jadi meski sudah sering berkunjung, namun
Muchtaruddin masih saja belum dapat restu dari Baginda Karapatan. Akhirnya
mereka berdua memutuskan kawin lari, dan
Nurlena Pohan untuk sementara disembunyikan di rumah Burhanuddin Siregar yang
akhirnya menjadi Bupati Tapanuli Selatan. Namun akhirnya Baginda Karapatan
berhasil menemukan mereka berdua, dan tanpa pikir panjang Baginda Karapatan
langsung memukuli Muchtaruddin dengan batang ubi sambil menangis dan berkata
“Teganya kau bawa si Butet ku” sambil
terus tak henti memukuli.
Memulai Hidup Tanpa Bantuan Orang
Tua
Nurlena Pohan dan suaminya tidak diperbolehkan Baginda
Karapatan tinggal di rumah miliknya sehingga mereka berdua tinggal di asrama.
Suatu hari Nurlena Pohan akhirnya mengandung
sementara kehidupan mereka tetap terasa sulit. Sampai suatu hari Nurlena
Pohan kehabisan beras dan tidak ada uang lagi yang tersisa. Maka dengan
mengendap ngendap beliau masuk ke rumah Baginda Karapatan, yang tidak jauh dari
asrama Kepolisian berada.
Mendadak Nursiti Siregar ibunya muncul dan langsung
memeluk putrinya sambil Nurlena Pohan
memeluka ibunya kuta-kuat dan menangis seraya meminta maaf. Lalu dalam tanginya
Nurlena Pohan mengatakan bahwa dia kehabisan beras dan uang. Nursiti Siregar
yang memang terkenal dengan kelembutannya segera menyiapkan beras dengan yang
terbuat dari bambu dan menaruh dedaunan sayuran singkong di bagian atas agar
tidak terlalu terlihat. Situasi ekonomi
yang sulit ini terus berlangsung sampai dengan lahirnya Arlin Syafril di tahun 1964.
Kelahiran Putra Pertama
Sejak lahirnya Arlin Syafril maka Baginda Karapatan pun
akhirnya luluh dan mau menerima putrinya kembali. Namun setahun lebih umur
putra pertamanya, maka Nurlena Pohan pun
mengandung putri keduanya yakni Febrina. Sayangnya meski sudah menjalin
hubungan yang kembali baik dengan Baginda Karapatan, Muchtaruddin dipindah tugaskan ke Natal.
Di masa itu masih sangat sulit transportasi, perjalanan ke
lokasi terpencil harus ditempuh dengan berjalan kaki, Nurlena Pohan yang masih
mengandung putri keduanya beserta suami dan putranya harus menempuh perjalanan
2 hari 2 malam menuju Natal. Saat ini
jarak 161 km dari Padang Sidempuan ke Natal bisa ditempuh sekitar 4 jam.
Syafril kecil di bopong Muchtaruddin
sedangkan Nurlena Pohan dengan kepayahan karena kehamilan berjalan
beriringan. Mereka juga harus menyeberangi berbagai sungai, jalanan yang licin berlumpur dan
jurang-jurang terjal termasuk resiko bertemu dengan binatang buas
Sampai di Natal dan Kembali ke
Padang Sidempuan
Akhirnya sampailah mereka di Natal dan lalu ditempatkan
di asrama Polsek Natal, namun kehidupan tetap
susah. Dalam kondisi seperti itu kadang Muchtaruddin harus melaut
mencari ikan. Begitu sepinya Natal, sehingga belum tentu lima bulan sekali
terlihat motor atau mobil. Jika ada kendaraan, maka sekalipun dini hari
orang-orang berkeluaran untuk
melihatnya, termasuk para wanita berapakain panjang yang biasanya sangat
jarang terlihat keluar rumah.
Akhirnya pada tanggal 28 Februari tahun 1966 jam 00.10 WIB lahirlah anak perempuan mereka
yang diberi nama Febrina Ros Natali yg mereka maknai sebagai Febrina bunga dr
Natal. Namun mereka ternyata tidak lama berdiam di Natal. Baginda Karapatan
yang kasihan melihat putrinya, lalu menghadap DANRES agar menantunya dipindahkan
kembali ke Padang Sidempuan. Namun cuma sebentar, Muchtaruddin kembali pindah
tugaskan ke Medan. Disusul lahirnya
putra ketiga mereka Rahmad Hidayat tanggal 25 Desember 1968.
Kopinya Pakai Gula Saja Sedikit
Karena warna kulitnya Julukan untuk Nurlena
Pohan saat kecil dengan demikian adalah Si Kopi Paet (Kopi Pahit). Penampilannya
yang hitam manis itu sempat menimbulkan rasa geli tetua kampung. Saat setelah
menikah sewaktu suami Nurlena Pohan, Muctaruddin datang ke kampung, para tetua
kampung saling berbicara sambil menunjuk nya
“Oohh.. indon ma na mambuat Si Kopi Paet I
.. ?”
Yang artinya
“Oohh… ini dia yang memperistri Si Kopi Pahit
itu ..? “
Muchtaruddin, yang tidak mengerti bahasa Batak
menjawab dengan polos, menjawab
“Tidak pak, kopi nya pake gula saja sedikit,
saya tidak biasa minum Kopi Pahit”
Pindah Ke Medan
Di Medan mereka tinggal di Jalan Brastagi, yang saat itu
dipinjamkan oleh Paramaen Siregar suami Salbiah Pohan. Karena beliau sayang
pada kedua iparnya tersebut. Situasi di rumah itu sangat menyenangkan seingat
Febrina. Setiap lebaran mereka menjalankan tradisi berkumpul, sehingga terjalin
hubungan yang dekat dengan para sepupu, seperti Sarpin dan Ispi yang merupakan
putra-putri Salbiah Pohan lalu Hasan, Arman, Erwin dan Zulfan yang merupakan
putra dan putri Mayurida Pohan. Rumah itu menyimpan banyak kenangan, seperti
saat malam takbiran waktu bermain main lilin, Ispi sempat terbakar bajunya,
atau Febrina tertabrak sepeda motor, yang foto-fotonya masih tersimpan rapi.
Namun situasi ekonomi tetap sulit, sehingga Paramean
Sirgear banyak membantu. Sehingga suatu hari Nurlena Pohan berencana memberikan
hak asuh Febrina, kepada tetangga depan rumah mereka yakni
Keluarga Azinar yang memang sudah bertahun-tahun tidak jua mempunyai
anak. Namun tindakan ini dicegah Nursiti Siregar, dan menegur putrinya dengan marah
“Jangan kau jual anakmu itu
Butet !, anak itulah hartamu..lihatlah cantik dan lucunya dia..sabarlah kau
Butet nanti pasti hidupmu senang”.
Nurlena Pohan menangis sambil memeluk anak
perempuan satu-satunya yang masih tidak
mengerti apa sebenarnya yang terjadi
Keluarga Azinar yang sempat berharap pun ikut bersedih
dan karena sampai akhir hayatnya beliau tetap tidak mempunyai keturunan, mereka
lalu mengadopsi anak lain yang di beri nama mirip yakni Fazrina.
Ahli Dalam Manajemen Keuangan Keluarga
Nurlena Pohan
adalah sosok ibu yang dikagumi anak-anaknya khususnya Febrina Ros Natali. Meski
cuma tamatan SMA beliau sangat pintar menangani keuangan keluarga, sehingga
dari keturunan Baginda Karapatan, beliaulah salah satu yang terbaik dari sisi
finansial.
Berlimpahnya Rezeki
Diantara 9 bersaudara, selain karena kemampuanya mengelola keuangan,
Nurlena Pohan ini termasuk yang paling bagus rezekinya. Mungkin
ini memang yang dinamakan garis tangan. Misalnya suatu ketika, ada pembagian
kain panjang. Kain-kain ini ada
yang bagus, ada yang biasa-biasa. Maka para saudara perempuannya berebutan memilih
duluan.
Nurlena Pohan, karena merasa paling muda, hanya
diam menunggu sisa bungkusan kado terakhir.
Ternyata, setelah dibuka, kain panjang yang diterima Nurlena Pohan
itulah yang paling bagus. Saudara
lainnya protes, kok Nurlena dapat paling
bagus ?, namun memang seperti itulah garis tangan beliau.
Wafatnya Nurlena Pohan
Diantara 9
bersudara yang hidup sampai dengan dewasa, beliau termasuk yang begitu cepat
pergi menghadap Sang Khalik di usianya yang masih menginjak 51 thn karena
berbagai komplikasi penyakitnya.
Saat sorenya
beliau sakit, ternyata malamnya sudah meninggal di hadapan Febrina, setelah
sebelumnya beliau sempat minta dikupaskan buah pir, meski hanya memakannya
sedikit saja. Saat Nurlena Pohan merasa sesak, tangannya melambai kearah Febrina, supaya
mendekat dan berbisik “lihat-lihat Butet (anak bungsunya) ya inang...” dan “iya
ma..” jawab Febrina.
Meski cuma
sendirian mendampingi beliau, Febrina sempat menuntun Nurlena Pohan untuk
mengucapkan dua khalimat syahadat...sampai beliau menghembuskan nafas
terakhirnya.
Terobsesi dengan Kebersihan dan Kerapihan
Hal lain yang aku
ingat mengenai Nurlena Pohan, adalah cara bicaranya yang selalu terkesan sambil
tersenyum dan ekspresi manja (mungkin karena bungsu) dan wataknya yang ingin
segala sesuatunya terlihat rapi dan bersih. Saking terobsesinya beliau dengan
kerapihan dan kebersihan, halaman depan rumah Nurlena Pohan di Gang Sado
disemen seluruhnya. Begitu juga dengan lantai rumah beliau, selalu berkali kali
dipel. Saat pindah ke Denpasar, aku
bermain mobil-mobilan dengan Rahmad Hidayat, putra beliau di halaman semen tersebut.
Bagi anak seperti kami, bermain mobil-mobilan dengan lahan datar seluas itu
jelas merupakan kegembiraan tersendiri.
Saat puluhan
tahun kemudian aku bertugas ke Medan, dan mengunjungi rumah terakhir beliau,
rasanya rindu sekali dengan sosoknya, di rumah itu masih terlihat foto-foto
beliau, mushalla khusus yang sering dipakai sholat, semoga Allah mengampuni
dosa-dosa beliau, menerima semua amal baiknya, dan ditempatkan di tempat
terbaik di sisiNya.
*Diceritakan
oleh Anwar Syafri Pohan sesuai penuturan ibu beliau Siti Hajar Lubis.
*Sedikit
tambahan dari penulis soal obsesi kebersihan dan kerapihan.
*Awal
perjalanan hidup Nurlena Pohan diceritakan putrinya Febrina Ros Natali.
No comments:
Post a Comment