Menikah dengan :
Dahlia Matondang
Putra dan Putri
sbb;
- Elissa Pohan
- Erlina Pohan (Alm)
- Ahmad Amru Pohan
- Royce Arnold Pohan
- Edrina Pohan
- Rudi Ramon Pohan
Cerita mengenai
sosok Oloan Pohan dalam tulisan kali ini 90% bersumber dari Rudi Ramon Pohan,
anak bungsu beliau. Dari sisi penulis, hal unik mengenai beliau yakni, saat suatu
hari beliau mengirim surat pada Ayah saat kami masih di Denpasar, Bali. Disitu tertulis kalimat yang kurang
lebih berbunyi seperti ini “Bagaimana kabar anakku yang kutitipkan pada kalian
?”. Karuan saja membaca surat ini membuat Kakakku dan Abangku saling bertukar
pandang karena mengira salah satu dari mereka adalah anak angkat. Namun kakakku
yang paling terpukul, karena dia berusia dua tahun saat Abangku lahir, artinya Abangku
kemungkinan besar memang anak kandung Ayah dan Ibu, namun Kakakku sebaliknya.
Ayah dan Ibu juga seakan akan menikmati drama tersebut dan tidak secara
langsung menjelaskan bahwa kalimat Oloan Pohan adalah sebagai ekspresi
keakrabannya pada keponakannya sendiri.
Saat Ayah dan
Ibu sempat konflik di menjelang kepindahan kami dari Sibolga ke Denpasar,
daripada mendamaikan rumah tangga adiknya, Oloan Pohan saking sayang pada keponakannya
malah lebih memilih menyiapkan tempat tinggal bagi aku dan ketiga saudaraku,
yang nota bene sudah dianggapnya sebagai anak-anaknya sendiri.
Beberapa kali
beliau juga datang saat kami di Bali,
selain ngobrol sampai pagi dengan ayah, mereka juga berenang di Sanur Seaside
Cottage. Terkesan aku melihat beliau berenang bolak balik tanpa sama sekali
terlihat lelah. Sambil tersenyum beliau menjelaskan bahwa dia bahkan mampu
berenang lebih jauh dibanding jarak yang dia tempuh jika berjalan kaki.
Oloan Pohan |
Saking dekatnya
Ayah pada Oloan Pohan, sering sekali Ayah bahkan lebih mendengar apa kata
abangnya, dibanding istri atau anak-anaknya. Hal ini mungkin diakibatkan Ayah
sudah merantau sejak SMP dan Oloan Pohan saat itu lebih sebagai pengganti kedua
orang tuanya. Kadang antara Ayah dan Ibu terjadi perselisihan, umumnya terjadi
sepulangnya Ayah dari rumah Oloan Pohan.
Begitu juga saat Ayah pulang dari tugas pertamanya keluar negeri,
daripada memilih langsung pulang ke Bandung, Ayah bahkan memilih untuk ke rumah
Abangnya terlebih dahulu, lalu anak dan istrinya seakan akan hanya mendapatkan prioritas
kedua dan sisa oleh-oleh. Meski terasa
aneh, namun itu juga yang menjadi alasan utama kenapa sembilan bersaudara ini
benar-benar kompak. Bagi mereka boleh saja konflik hari ini , namun esok hari
semua masalah seakan lenyap karena persaudaraan diantara mereka lebih kuat dan
lebih penting. Baiklah kita langsung saja lanjut ke tulisan Rudi Ramon Pohan.
Merantau
Tamat dari
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Padang Sidempuan, Oloan Pohan kembali ke
Sialaman yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Padang Sidempuan. Rasa galau
menyelimuti hati beliau karena menurut ibunya Nursiti Siregar, Oloan Pohan diminta
ayahnya Baginda Karapatan untuk berangkat merantau melanjutkan pendidikan SMA ke
Yogyakarta.
Rasa takut,
gamang serta gelisah menyelimuti hati Oloan Pohan, apalagi Yogyakarta, tempat yang sangat jauh dari
kampungnya yaitu sekitar 2 minggu perjalanan dengan kapal laut, juga bahasa
yang dipergunakan umumnya adalah bahasa Jawa, bahasa yang tidak pernah beliau
pelajari sedikitpun juga. Bahasa Jawa yang dia ketahui adalah bahasa yang
dipakai sebagian orang di pasar Padang Sidempuan atau bahasa para pekerja kuli
kontrak yang ada disekitar Sialaman.
Mengajar Untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup
Singkat kata,
sambil menyelesaikan SMA, Oloan Pohan berusaha menghidupi dan mencari makan
sendiri. Baginya tidak pantas lagi jika dia masih berharap kiriman uang dari Baginda
Karapatan yang masih memiliki tanggung jawab paling tidak lima adik-adiknya,
karena kedua kakanya Djaunar Pohan dan Salbiah Pohan sudah menikah, sedangkan
Maradjo Pohan abangnya sudah merantau duluan dan saat itu sudah berdiam di
Bandung.
Beliau mencari
nafkah dengan mengajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Yogyakarta. Namun satu
SMP saja tidaklah cukup, sehingga terpaksa beliau mengajar di beberapa SMP. Setiap
mengajar beliau mengendarai sepeda ontel dari satu SMP ke SMP lainnya. Kadang karena
skedulnya berdekatan, dan agar tidak terlambat beliau terpaksa mengayuh sepeda
ontelnya lebih kencang khususnya saat skedul mengajar berikutnya lebih agak
jauh ke arah Bantul.
Makan Enak
Ditengah
kesibukan mengajar, momen yang paling digemari
beliau adalah saat beliau bergabung bersenda gurau dengan teman-teman
sesama parantauan dari komunitas Tapanuli Selatan yang ada di Yogyakarta.
Apalagi jika ada undangan makan dari salah satu keluarga temannya yang biasanya
dilengkapi dengan makanan khas seperti Ikan Mas Arsik, Sambal Goreng Limbat
atau Ayam Gulai, serta tak lupa Sayur Daun Ubi Tumbuk tentu saja dengan Sambal
Tuk-Tuk. Namun makanan yang paling digemari beliau adalah ayam. Demikian
gemarnya beliau, sampai-sampai obsesi nya jika ekonomi membaik dan setelah
menikah kelak akan meminta istrinya membeli dan memasak ayam kampung
bulat-bulat, di gulai kemudian dipanggang untuk disantapnya sendirian tanpa
nasi sama sekali.
Kehidupan Kuliah
Tamat SMA,
beliau diterima menjadi mahasiswa di IKIP Yogyakarta Fakultas Sastra Inggris.
Mata pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran favoritnya sejak SMP dan SMA.
Tapi semasa kuliah himpitan ekonomi masih saja menjadi persoalan, untuk itu
beliaupun tetap bekerja sambil kuliah dengan mengajar di beberapa SMA. Salah
satu SMA tempatnya mengajar adalah Sekolah Tata Boga (sejenis Sekolah Menengah
Kejuruan SMK - sekarang). Ada satu murid wanita di Sekolah Tata Boga itu yang
sering menarik perhatiannya sambil sesekali curi-curi pandang, rambut keriting,
cantik dan mungil. Belakangan setelah mencari tahu, ternyata gadis tersebut adalah
orang Batak yang juga ternyata saudara perempuannya teman beliau diperkumpulan
Tapanuli Selatan. Dahlia Matondang demikian namanya tinggal di Yogyakarta
dengan menumpang pada abang kandungnya Abu Sanif Matondang yang saat itu telah
berkeluarga dengan sembilan anak.
Perlahan beliau
mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk menaklukkan gadis itu, dan sengaja
menekan lalu mempersulit pemberian nilai pelajaran untuk gadis itu agar mendapatkan
perhatian lebih. Namun jurus-jurus itu ternyata belakangan diketahui tidak begitu
berhasil. Namun belitan ekonomi yang dialami gadis tersebut dan berakibat
seringnya terlambat membayar uang sekolah lah yang menjadi pintu bagi beliau
untuk mengenal lebih dekat gadis tersebut.
Oloan Pohan dan Dahlia Matondang |
Beliau mulai lebih
intens berbicara dan menyimak curahan hati Sang Gadis tersebut. Tinggal bersama
Sang Abang (satu-satunya laki-laki di keluarganya) yang juga guru rendahan
dengan sembilan anak membuatnya harus ikut prihatin. Belum lagi ketidak cocokannya dengan kakak
ipar yang kebetulan berasal dari suku yang berbeda. Himpitan ekonomi membuat
kakak ipar sering terlihat gusar, dan seakan tidak suka keberadaan Sang Gadis
yang juga adik iparnya.
Beliau lalu
menyarankan bagaimana kalau mereka menikah saja, sekaligus berhenti sekolah (saat
itu Sang Gadis masih kelas 2 SMA). Maka menikahlah akhirnya Oloan Pohan dan
Dahlia Matondang di Yogyakarta dengan dihadiri oleh teman-teman perkumpulan
Tapanuli Selatan, tanpa kehadiran orang tua kedua belah pihak sama sekali.
Meski Baginda Karapatan sudah sejak awal lebih menginginkan ketiga anak lelakinya
menikah dengan marga Siregar.
Pindah Ke Karangkajen
Situasi sosial
politik Indonesia yang masih belum stabil ditandai gejolak-gejolak pergerakan
disana-sini makin menghimpit perekonomian rumah tangga beliau. Untung ada teman
beliau yang memiliki dua putri dan menginginkan beliau mengajar les privat Bahasa
Inggris. Sebagai bayarannya beliau beserta keluarga boleh menempati rumah
kosong milik Sang Teman di jalan raya Karangkajen di depan batik GKBI dan boleh
ditempati tanpa batas waktu. Rumah yang cukup besar, dengan model Belanda walau
tidak sebesar dan setinggi Rumah Belanda pada umumnya. Dapurnya terpisah dari
rumah utama yang dihubungkan dengan lapangan semen cukup luas.
Namun ekonomi
semakin runyam saja, G30S PKI makin sewenang-wenang melakukan sweeping dari
rumah ke rumah, sementara di masa itu gaji mengajar ditambah pembagian beras
campur jagung (beras bulgur) lebih mirip makanan ayam. Minyak tanah untuk masak
makin susah dan mahal, sampai-sampai Dahlia Matondang sering mengajak anak
perempuannya ke pemotongan kayu dan meminta Sang Anak dengan badan kecilnya
menyuruk-nyuruk di bawah meja untuk mengambil serbuk gergajian lalu mengoperkan
ke pada Sang Ibu. Sesampai di rumah Dahlia Matondang menjadikan serbuk kayu
gergajian itu sebagai bahan pengganti kompor.
Tinggal di
rumah di pinggir jalan raya Karangkajen memiliki berkah tersendiri, sering pedati-pedati
yang ditarik sapi atau kerbau lewat depan rumah, kebetulan Pasar Telo Cuma
berjarak 100 meter dari rumah tersebut. Mereka membawa hasil bumi seperti
singkong, sayur tebu dan lain-lain. Dengan jalannya yang sangat lambat, karena
pedati-pedati dan kusirnya sudah menempuh jalan yang sangat jauh berapa hari
yang lalu. Saking lambatnya sering anak perempuan Oloan Pohan tinggal
menggapaikan tangannya ke gerobak pedati untuk mengambil singkong atau menahan
tebu yang menjorok keluar agar perlahan mulai terlepas dari ikatannya tanpa
sepengetahuan sang kusir yang terangguk-angguk sambil mengantuk.
Beternak Ayam
Untuk
menyalurkan hobi beliau makan ayam panggang, maka beliau mulai memelihara ayam
di gang samping rumah hingga belakangan mencapai ratusan ekor. Sepertinya
ayam-ayam itu tidak tahu dan tidak menyadari bahwa sebenarnya ketika beliau
sering mengelus-elus ayamnya satu persatu itu bukan karena sayang, tapi yang terbayang
betapa lezatnya ayam panggang utuh harum sedap dengan asap panas mengepul.
Mudik Setelah Kelahiran Putra Pertama
Tak terasa
lahirlah dua putri beliau, yakni Elissa Pohan dan Erlina Pohan, lalu disusul
kelahiran putra pertama yakni Achmad Amru Pohan. Begitu suka cita Oloan Pohan
dan Dahlia Matondang menyambut putra ini sehingga mereka berupaya dengan segala
cara untuk bisa mudik ke kampung di Padang Sidempuan. Kebetulan memang Oloan
Pohan sudah sekitar 17 tahun tidak pulang kampung. Zaman itu, perjalanan mudik memang luar
biasa, paling tidak 2 minggu naik kapal laut sampai ke Belawan, lalu disambung
dari Medan 2 hari naik bus ke Padang Sidempuan. Ditengah kepadatan bus itu ayah
meski mengurusi ke dua putrinya yang tiada henti-hentinya muntah karena mabuk.
Satu bersandar di tangan kiri, satunya lagi bersandar di tangan kanan. Terpaksa
Oloan Pohan menjadikan tangannya sebagai ember penampung muntah untuk kemudian dibuang
ke luar jendela. Sementara Achmad Amru Pohan kecil sedang lincah-lincahnya,
berlari-lari kesana sini. Untungnya
penumpang lain suka sekali dengan anak ini sehingga beberapa dengan sukarela
mau membantu menjaganya.
Rasa haru,
bangga, bahagia campur rindu tak henti-hentinya menyelimuti Nursiti Siregar
menyambut si anak hilang yang sudah sekitar 17 tahun tak berjumpa. Apalagi si
anak itu sudah berkeluarga dan membawa cucu yang begitu menyenangkan dan
menggemaskan, terlebih cucu laki-laki yang dalam adat Batak sangat penting
untuk meneruskan marga. Baginda Karapatan yang dulu sempat tidak setuju Oloan
Pohan menikahi Dahlia Matondang karena mengira Dahlia adalah orang Minang,
akhirnya menerima rombongan dengan tangan terbuka.
Ditengah
haru-biru di rumah Baginda Karapatan itu, tiba-tiba seorang anak dengan
mengendarai sepeda menyelonong ngebut, masuk ke dalam rumah bahkan sampai ke
ruang tengah tanpa turun dari sepeda. Sontak Oloan Pohan berteriak, menghardik
dan menghampiri anak itu seakan hendak menampar, namun Nursiti Siregar lekas-lekas
menghampiri dan melindungi anak itu dan berkata kepada Oloan Pohan, anaknya sbb
“Ulang amang,
ulang dipukul ho, baberemu do on amang...” (jangan nak, jangan kau pukul anak
ini, dia keponakanmu)
sergah Nursiti Siregar sambil mengusap kepala anak itu.
Ha...? ise
lakna ia umak ? (Hah, anak siapa ini rupanya ?) tanya Oloan Pohan
“On ma na
margoar Dahrun Efendi Siregar, anak ni si Salbiah, amang....baberemu do on..”
(inilah yang bernama Dahrun Efendi Siregar, anak kakakmu Salbiah Pohan)
jelas
Nursiti Siregar
Kemarahan Oloan
Pohan serta merta mereda, dipandanginya
anak yang tersipu malu campur takut itu dibelakang badan Nursiti Siregar.
Kembali ke Yogyakarta dan Mulai Merintis Karir Sebagai Tour Guide
Kembali ke Yogyakarta,
maka Oloan Pohan kembali kepada rutinitas semula, beliau dikejar-kejar skedul
mengajar di beberapa sekolah, mengurus rumah tangga dengan enam anak yang
kadang sakit bergiliran. Salah satu yang paling parah adalah Erlina Pohan. Selama bertahun selalu saja kakinya bersisik
dan melepuh kadang mengeluarkan darah juga nanah.
Namun semua itu
dilalui beliau sambil belajar dan berusaha tetap konsentrasi menyelesaikan kuliah.
Sudah hampir 10 tahun beliau kuliah dan belum juga tamat. Doktorandus (Drs), gelar yang sangat ingin
disandangnya dan akan melengkapi menterengnya plat nama depan rumah di atas
kusen pintu rumah Drs. O. Pohan adalah impiannya sejak kuliah.
Rasa humor dan
setia kawan membuat beliau banyak mempunyai teman di Yogyakarta. Salah satunya
adalah temannya yang kerja di hotel dan suka memberinya order menjadi guide
bila ada tamu bule. Beliau akan suka cita menerima order itu karena disamping
honornya yang lumayan besar dibanding honornya mengajar selama ini, tips yang didapat
dari para bule itu pun biasanya dapat mengobati rasa rindunya pada ayam
panggang kesukaannya.
Kondisi Ekonomi Yang Tak Juga Membaik
Di seberang
rumah kami, berdiri sebuah koperasi batik GKBI dengan gedung yang termasuk
megah untuk masa itu. Kadang Oloan Pohan ikut dan disertakan dalam beberapa
acara mereka. Menjadi ritual menyenangkan bagi keenam anaknya setiap hari
adalah, menyeberang ke gedung GKBI pagi-pagi sekali, biasanya ada ibu-ibu di
situ yang jika melihat keenam anak Oloan Pohan, maka ibu itu langsung mengajak
masuk dari belakang gedung dan memberikan bubur kacang hijau semangkuk satu
orang. Bagi keenam anak tersebut, rasa bubur kacang hijau segar dan enak sekali
dan masih terkenang hingga kini, apalagi sejak kondisi ekonomi semakin sulit,
mereka bisa dikatakan jarang sekali makan bubur seperti itu di rumah.
Beliau akhirnya
menyelesaikan kuliahnya, tak lama anak ke tujuh lahir prematur di rumah sakit
langganan keluarga. RS Brontokusuman demikian nama Rumah Sakit tersebut,
sayangnya bayi kecil tersebut hanya bertahan hidup lima hari saja. Oloan Pohan memberikan
nama Ucok Pohan lalu dimakamkan di pemakaman umum di Karangkajen, Yogyakarta.
Himpitan
ekonomi terus saja menggayuti kami, sampai pada suatu hari ayah mendapat kabar
bahwa kawan-kawan seperjuangannya kuliah dan sesama perantau dari Tapanuli
Selatan dulu itu sudah banyak yang pindah ke Jakarta. Mereka membuka usaha EMKL
(Ekspedisi Muatan Kapal Laut) PT. Bina Samudera Raya di Tanjung Priok. Beliau
diajak bergabung ke Jakarta dari pada harus terus bertahan tinggal di Yogyakarta
yang semakin sulit untuk dijadikan sebagai tempat mencari nafkah.
Huru Hara Setelah Pemberontakan PKI
Selain situasi
ekonomi di Yogyakarta, hal lain yang membuat Oloan Pohan menjadi emosional lalu
memperkuat keputusannya untuk segera meninggalkan Yogyakarta adalah saat
tentara mendatangi rumah beliau dalam rangka sweeping kerumah-rumah untuk
mencari aktivis PKI. Kebetulan sekali di Yogyakarta, PKI kebanyakan memang berprofesi
guru seperti beliau.
Ditengah malam
yang hening, sekumpulan tentara mendobrak rumah beliau, suara dobrakan yang
sangat kuat mengagetkan Oloan Pohan sekeluarga. Dahlia Matondang saat itu tidak
berada di rumah karena sedang menonton film di bioskop dengan adik-adiknya. Sementara
anak-anak beliau yang ketakutan, terkecing-kencing lari ke belakang rumah
menerobos pagar kawat menuju sawah. Mereka lari sekencang-kencangnya sambil
menangis ketakutan tanpa bersuara, beberapa diantara anak-anak beliau celananya
tersangkut kawat berduri dan tertusuk kawat hingga berdarah.
Sampai hari ini
tidak jelas benar, bagaimana beliau selamat dari sweeping dimalam hari itu. Setelah
situasi tenang, anak-anak kembali ke rumah. Sementara tak lama kemudian Dahlia
Matondang, pulang dari bioskop ibu bersama adik-adiknya sambil tertawa masuk
kerumah dan langsung terkejut karena melihat anak-anaknya pucat pasi.
Pindah ke Jakarta
Beberapa kali beliau
ke Jakarta untuk melihat secara langsung prospek usaha ekspedisi tersebut,
hingga pada kunjungan yang ke tiga pada tahun Jakarta 1970, maka beliau memutuskan untuk
pindah ke Jakarta. Tiba di Jakarta di stasiun kereta Jatinegara, kedatangan
mereka dijemput Sakban Pohan yang menunggu dan menjemput lengkap dengan mobil
marinirnya, sebuah Jeep Land Rover warna hijau lumut langsung mengantar kami
kerumah yang sudah dikontrak Oloan Pohan di Utan Kayu.
Lalu anak-anak
beliau mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga, main bersama dengan bahasa
Jawa yang medok, dan membuat anak-anak tetangga merasa heran. “Wong mBatak kok
iso ngomong jowo yo...?” (orang Batak kok bisa bahasa Jawa) demikian mungkin
apa yang ada di pikiran para tetangga yang juga banyak berasal dari Jawa. Apalagi
pada masa itu orang-orang merasa risih bergaul dengan orang Batak karena mereka
mendapat kabar bahwa orang Batak suka makan orang. Entah dari mana asal gosip
itu.
Memulai Usaha Ekspedisi
Usaha ekspedisi
Oloan Pohan berjalan dengan baik. Suatu hari beliau mengajak anak-anaknya jalan-jalan
berkunjung ke kantornya yang sangat beliau banggakan. Lalu anak-anak beliau
bersalaman dengan karyawan kantor tersebut yang ternyata didominasi oleh keluarga
sendiri.
Lalu
jalan-jalan berlanjut ke stasiun kereta Tanjung Priok yang megah dengan atap
stasiun buatan Belanda yang menjulang tinggi. Siangnya anak-anak diajak beliau
makan direstoran Padang langganannya. Semua karyawan itu kenal beliau dan
memanggilnya dengan sebutan Tulang yang artinya paman. Mata Si Bungsu Rudi
Ramon Pohan nyaris tidak berkedip memandangi para karyawan rumah makan bolak
balik membawa piring lauk bertumpuk-tumpuk dengan sebelah tangan. Bagi
anak-anak nikmatnya masakan Padang masih terkenang hingga kini, terlebih hal
ini merupakan pengalaman pertama mereka makan di restoran.
Usaha Ekspedisi Mulai Bergejolak
Dua tahun
kemudian, perusahaan EMKL dimana Oloan Pohan berkerja mulai goyah, salah satu penyebabnya adalah
peraturan pemerintah yang makin mempersempit ruang gerak EMKL sekelas tempat beliau
bekerja. Dimana perusahaan EMKL harus sudah memiliki armada kapal laut sendiri
untuk menekan dampak percaloan yang semakin membebani biaya angkutan laut.
Disamping adanya peraturan pemerintah tersebut, ada pelanggan besar EMKL (kalau
tidak salah bernama PT. Bah Bolon) yang mengajukan komplain serius mengenai kiriman
yang bermasalah. Lengkap sudah cobaan yang dialami, Yogya sudah ditinggalkan,
jabatan Kepala Sekolah di SMA YUB pun tidak dapat meringkankan beban ekomomi
keluarga, dan harus mengundurkan diri dari EMKL tempat beliau bekerja.
Keakraban Ayah dan Anak, Hikmah Tersebunyi Dibalik Kesulitan Ekonomi
Kedekatan
hubungan Oloan Pohan dan anak-anaknya dimasa ini semakin terjalin akrab, sebab beliau
total menganggur dan anak-anaknya lebih leluasa bercengkrama sepanjang hari di
rumah. Kadang beliau mengambil alih tugas ibu memasak dengan ide-ide masakannya
yang kadang agak keterlaluan, misalnya masak nasi goreng porsi dua piring
dengan taburan telur sampai lima butir. Capek memasak beliau mulai membuatkan anak-anaknya
mobil-mobilan dari kayu yang belakangan sesuai penuturan putra bungsu beliau
dibuat dari potongan kayu balok keras yang dipaksa dibentuk mirip mobil-mobilan.
Setelah selesai menariknya dengan tali masih membutuhkan tenaga ekstra karena
beratnya luar biasa.
Kondisi ekonomi
ternyata tidak membaik, namun Oloan Pohan sekeluarga tetap harus mensiasati
situasi ini untuk tetap survive. Saat itu semua anak-anaknya sudah mulai
bersekolah. Sering sekali Dahlia Matondang memasak sarapan pagi dengan hanya
bermodalkan telur ayam 2 butir, tapi cabe gilingnya sampai satu piring, lalu
diaduk dan dijadikan telur dadar. Wajan sengaja dimiring-miringkan sehingga
telur makin melebar. Sampai-sampai anak-anaknya lebih suka menjulukinya Cabe
Dadar Telur dibanding Telur Dadar Cabe, karena lebih banyak cabe daripada telur.
Setelah masak, Dahlia Matondang membagi Cabe Dadar Telur itu sesuai jumlah
mulut yang ada yakni 8 bagian. Dibuat agak asin, agar cocok untuk menemani nasi
sepiring penuh.
Ibu Mengambil Alih Peran Ayah
Kondisi ekonomi
yang lambat laun semakin parah membuat Oloan Pohan sepertinya sudah kehabisan
ide akan mengerjakan apa dan dimana. Melihat situasi tersebut Dahlia Matondang
pun mengambil inisiatif, bermodalkan surat-surat perusahaan EMKL PT. Bina
Samudera Raya yang masih hidup, beliau pergi ke perusahaan-perusahaan sekitar
lapangan Banteng Jakarta demi mencari order angkutan barang. Setiap hari Dahlia
Matondang sendirian naik turun bus Pelita Mas Jaya jurusan Cililitan -Lapangan
Banteng No 40. Dari sekian banyak perusahaan atau instansi yang didatangi Direktorat
Angkutan Sungai dan Penyeberangan (ASDP) yang relatif bisa menerima. Hampir setiap
hari Dahlia Matondang hadir menunggu berjam-jam di Bagian Logistik itu, maka
lambat laun, para karyawan pun mulai kenal dan hapal dengan beliau. Entah
karena bosan, karena bosan maka Pimpinan Direktorat itupun memanggil Dahlia
Matondang ke ruangannya, lalu dibentangkannya sebuah peta dihadapan Dahlia
Matondang.
“Bu, ada order
mengangkut Kapal Ferry dari Jakarta ke danau Sentani di Papua”
demikian Pimpinan
tersebut membuka pembicaraan sambil menunjuk peta asal dan tujuan.
Dahlia
Matondang memandang dengan tatapan kosong kearah titik-titik yang disebutkan
dalam peta itu.
“Hampir semua
perusahaan ekpedisi di sini tidak ada yang sanggup...., namun kalau ibu mau
garap, silakan, ini datanya dan saya tunggu kabar baik dari ibu secepatnya ya”
“Terimakasih
pak”
hanya itu yang sanggup Dahlia Matondang ucapkan, sambil membungkuk memberi
hormat beliau segera pulang ke rumah. Oloan Pohan terkaget-kaget mendengar proyek
tidak biasa seperti yang dituturkan istrinya itu.
Sebuah
tantangan yang luar biasa besar namun sangat menarik buat seorang yang sudah
lama menganggur seperti Oloan Pohan. Lalu beliau membaca dan membolak-balik
peta itu. Sekejap beliaupun bergegas siap berangkat menjumpai kerabat-kerabat
dan perusahaan mantan koleganya dahulu. Namun tak satupun perusahaan ekspedisi
dan kerabatnya yang sanggup menggarap proyek itu, tak terasa sudah 3 hari
berlalu. Mendadak beliau teringat pada Perusahaan Pertamina yang biasa
melakukan pengeboran minyak di hutan-hutan maupun di laut.
Keesokan harinya,
beliau berangkat ke Kantor Pertamina di Gambir. Menjumpai pejabat-pejabat di
sana, dan tidak disangka-sangka salah satu pimpinan Pertamina itu ternyata
bermarga Pohan juga. Dengan lancar beliau menuturkan semua detail proyek itu
dengan semangat berapi-api. Para pejabat Pertamina itu tersenyum-senyum
mendengar teori dan konsep ayah menangani proyek itu. Ternyata bagi mereka,
pekerjaan mengangkut Kapal Ferry itu bukanlah hal yang sulit, mereka sudah sangat
terbiasa dengan itu. Beliau terkejut dan melongo, ketika Pertamina bersedia
membantu karena sesama institusi pemerintah. Dengan lega beliau bersandar di
kursi tamu Kantor Pertamina itu, sekaligus menghela nafas panjang, akan
selesainya masalah yang sudah menghantuinya berhari-hari.
Kelak belajar
dari pengalaman pahit selama berumah tangga, Dahlia Matondang, tidak mau lagi
berpangku tangan dengan tinggal di rumah tanpa bekerja. Dengan percaya diri
setelah sukses dalam proyek Kapal Ferry, Dahlia Matondang pun memutuskan
berusaha menopang ekonomi keluarga dengan menjalankan usaha ekspedisi
sendirian.
Akhirnya Memiliki Rumah
Akhirnya selesai
jugalah proyek tersebut, Oloan Pohan terbebas untuk sementara dari situasi
menekan selama beberapa lama. Saat itu keuntungan proyek lumayan banyak buat
ukuran Oloan Pohan sekeluarga. Maka beliau dan istri memutuskan membeli sebuah rumah
di Kayumanis IX, secara cash. Memang rumah ini tidak dipinggir jalan seperti di
kontrakan Utan Kayu, melainkan masuk ke dalam gang. Namun Oloan Pohan
sekeluarga terbebas dari kewajiban membayar kontrakan.
Sambil
menempati rumah itu Oloan Pohan mulai melakukan rehab, termasuk menimbun tanah
kosong di belakang rumah yang dulunya bekas tempat pembuangan sampah kelapa
kopra. Lalu diubah menjadi 2 set kamar mandi, ruang makan serta dapur secara permanen
dengan lantai keramik. Sementara kamar-kamar serta ruang tengah dan ruang tamu
dibiarkan berdinding papan.
Pada masa
pembangunan area belakang rumah itu ada hal yang mengagumkan, dimana setiap akhir
minggu khususnya Sabtu dan Minggu, adik ipar beliau yakni Partaonan Dalimunthe selalu
datang ke rumah pagi hari. Begitu ganti baju dengan baju kerja, beliau langsung
membantu pengerjaan ruang belakang.
Putra bungsu
Oloan Pohan, yakni Rudi Ramon Pohan saja sebenarnya ingin menghindar dari
pekerjaan berat tersebut, eh malah Partaonan Dalimunthe jauh-jauh datang dari
Tanjung Priok hanya untuk membantu. Demikanlah adat budaya Batak, dimana
Partaonan Dalimunthe tengah melaksanakan adat Dalihan Na Tolu, sebagai barisan
anak boru yang selalu siap sedia membantu sang mora. Demikianlah keindahan adat
Batak yang menjunjung tinggi keluarga dari pihak istri.
Fokus Mengajar sebagai Dosen.
Masih trauma
dengan usaha EMKL, akhirnya Oloan Pohan meninggalkan usaha ekspedisi, dan
memutuskan untuk fokus mengajar di Universitas atau Akademi di Jakarta. Sementara
Dahia Matondang tetap melanjutkan usaha ekspedisi yang kembali bangkit setelah
transaksi besar dari ASDP. Sejak itu baik Oloan Pohan maupun Dahlia Matondang bekerja
keras setiap hari. Keputusan untuk bekerja bersama-sama, bisa jadi untuk
menghindari trauma kesulitan ekonomi yang mendera mereka sekeluarga di periode
sebelumnya.
Cerita Lain : Kisah Dahlia Matondang
Dahlia
Matondang merupakan anak ketiga dari Sutan Sinaro Mantondang dan Tinar Lubis.
Asli berasal daru Huta Pungkut, sekitar 7 kilometer dari Kotanopan, Mandailing.
Karena letaknya bersebelahan dan berbatasan dengan Sumatera Barat, adat serta
bahasanya sudah banyak dipengaruhi budaya Minang. Huta Pungkut sendiri sebuah
desa sejuk yang dimanjakan alam dengan dengan airnya yang mengalir deras
diseluruh pelosok desa dan disetiap parit-parit rumah tangga. Sayangnya mereka
hanya memanfaatkan air yang melimpah itu untuk mengairi tanaman padi, padahal
padi tidak pernah butuh air sebanyak itu. Seyogyanya pemerintah atau masyarakat
mampu membuatkan kolam ikan air deras untuk memanfaatkan air itu, mungkin Huta
Pungkut bisa memainkan peran sebagai sentra penghasil ikan.
Karena sangat
dekat dengan Sumatera Barat, maka meski menggunakan bahasa Batak Mandailing namun
nadanya mengalun tidak seperti Batak Toba yang intonasinya lebuih menghentak,
meski secara kosa kata sebenarnya sangat dekat. Seperti sebutan “Bujing” untuk
memanggil adik perempuan Ibu, dalam istilah orang Batak, maka penduduk daerah
ini menggunakan “Etek”, atau sebutan “Tulang” untuk memanggil saudara lelaki
Ibu menggunakan panggilan “Mamak”.
Cerita Lain : Hobi dengan Anak-Anak
Turun dari oplet sepulang mengajar dengan baju safari Oloan Pohan jalan kaki melintasi jembatan menuju rumah. Serta merta anak-anak kecil diseberang jembatan pun berteriak-teriak histeris berlari menyambut beliau;
"Pak Pohaann..! pak Pohaan...!"
Demikian seru mereka bersahut-sahutan layaknya berjumpa artis idola. Beliau segera merogoh kantong dan mengeluarkan uang receh yang memang sudah di siapkan sebelumnya, satu persatu beliau menyebut nama anak-anak itu sambil membagikan uang receh. Aktifitas ini selalu membuat wajah beliau terlihat sumringah.
Saat keluarga menyelenggarakan pesta pernikahan Royce Arnold Pohan putra beliau, maka beliau tak lupa mendaulat pasukan ciliknya itu untuk terlibat di kepanitiaan. Mereka semua sekitar 12 orang dibelikan seragam baju kaos kuning. Tugasnya adalah sebagai Pasukan Semut, antara lain mengumpukan piring-piring serta gelas yang sudah selesai dipakai tamu undangan lalu mengangkatnya ke tempat cucian piring, dengan syarat tidak boleh pecah.
Begitu semangat dan bangganya para Pasukan Semut ini, hingga beberapa mereka malah ada yang sampai berebutan piring kotor, bahkan ada sengaja menunggu sang tamu menghabiskan makanannya. Begitu sendok terakhir selesai, langsung tangan-tangan kecil itu menjulur menjemput sang piring. Tak pelak para tamu tertawa terbahak-bahak, dan ada pula tamu yang malah sengaja mempermainkan anak-anak itu dengan memperlambat makannya. Suasana resepsi makin hangat dan ceria melihat tingkah Pasukan Semut itu.
Cerita Lain : Menyenangkan Cucu
Saat kelahiran cucu merupakan saat paling membahagiakan begi beliau.
"Naa kuskusan pahoppu ku on.." (Wangi sekali cucuku ini)
Ujarnya dengan mata berkaca-kaca, setelah menciumi pipi sang cucu. Cucu yang sempat merasakan nikmatnya dimanja beliau adalah Nurul Annisa Lubis dan Helena Neva Pohan. Ritual mengajak jajan es krim menjadi keharusan nyaris setiap sore. Beliau menjemput sang cucu satu persatu, dengan berpakaian kaus kutang dan bercelana pendek coklat muda favoritnya. Lalu dengan menggandeng sang cucu dikiri-kanan, beliau memperhatikan ekspresi sang cucu menjilat nikmat es krim itu sampai tuntas.
"Enak pung..?", "Kita beli lagi pung..?"
Tanyanya sambil tangannya mengambil handuk kecil mengusap mulut Sang Cucu yang berlepotan.
Cerita Lain : Hobi dengan Anak-Anak
Turun dari oplet sepulang mengajar dengan baju safari Oloan Pohan jalan kaki melintasi jembatan menuju rumah. Serta merta anak-anak kecil diseberang jembatan pun berteriak-teriak histeris berlari menyambut beliau;
"Pak Pohaann..! pak Pohaan...!"
Demikian seru mereka bersahut-sahutan layaknya berjumpa artis idola. Beliau segera merogoh kantong dan mengeluarkan uang receh yang memang sudah di siapkan sebelumnya, satu persatu beliau menyebut nama anak-anak itu sambil membagikan uang receh. Aktifitas ini selalu membuat wajah beliau terlihat sumringah.
Saat keluarga menyelenggarakan pesta pernikahan Royce Arnold Pohan putra beliau, maka beliau tak lupa mendaulat pasukan ciliknya itu untuk terlibat di kepanitiaan. Mereka semua sekitar 12 orang dibelikan seragam baju kaos kuning. Tugasnya adalah sebagai Pasukan Semut, antara lain mengumpukan piring-piring serta gelas yang sudah selesai dipakai tamu undangan lalu mengangkatnya ke tempat cucian piring, dengan syarat tidak boleh pecah.
Begitu semangat dan bangganya para Pasukan Semut ini, hingga beberapa mereka malah ada yang sampai berebutan piring kotor, bahkan ada sengaja menunggu sang tamu menghabiskan makanannya. Begitu sendok terakhir selesai, langsung tangan-tangan kecil itu menjulur menjemput sang piring. Tak pelak para tamu tertawa terbahak-bahak, dan ada pula tamu yang malah sengaja mempermainkan anak-anak itu dengan memperlambat makannya. Suasana resepsi makin hangat dan ceria melihat tingkah Pasukan Semut itu.
Cerita Lain : Menyenangkan Cucu
Saat kelahiran cucu merupakan saat paling membahagiakan begi beliau.
"Naa kuskusan pahoppu ku on.." (Wangi sekali cucuku ini)
Ujarnya dengan mata berkaca-kaca, setelah menciumi pipi sang cucu. Cucu yang sempat merasakan nikmatnya dimanja beliau adalah Nurul Annisa Lubis dan Helena Neva Pohan. Ritual mengajak jajan es krim menjadi keharusan nyaris setiap sore. Beliau menjemput sang cucu satu persatu, dengan berpakaian kaus kutang dan bercelana pendek coklat muda favoritnya. Lalu dengan menggandeng sang cucu dikiri-kanan, beliau memperhatikan ekspresi sang cucu menjilat nikmat es krim itu sampai tuntas.
"Enak pung..?", "Kita beli lagi pung..?"
Tanyanya sambil tangannya mengambil handuk kecil mengusap mulut Sang Cucu yang berlepotan.
Cerita Lain : Aktivitas Sebagai Ketua RW
Keterlibatannya dalam beberapa kegiatan sosial akhirnya membawa beliau terpilih sebagai ketua Rukun Warga (RW) Kayumanis 9. Hobinya berkelakar dengan anak-anak bahkan remaja membuat beliau dikenal warga. Lalu beliau menjadikan rumah kosong disebelah sebagai sekretariat dan ruang serbaguna RW. Sekretariat itu selalu ramai dikunjungi anak-anak dan remaja setiap harinya. Ada satu orang anak yang kurus hitam dengan kaki pincang yang menjadi salah satu ikon pengisi acara hiburan tetap masa itu, mengingat seringnya dia didaulat menyanyi. Dengan percaya diri dia melantunkan lagu-lagu Euis Darliah yang sedang hits saat itu. Suaranya juga lumayan bagus, lantang dan merdu. Selesai menyanyi 4-5 lagu dengan tersenyum suminringah, dia menerima uang receh yang diserahkan beliau.
Tiba perayaan hari ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus, beliau melayangkan ide untuk membuat sebuah ritual "Malam Renungan Suci" tanggal 16 Agustus jam 12.00 malam hari. Saat itu seluruh warga diminta hadir mematikan lampu sekitar dan menyalakan lilin di lapangan badminton. Setelah acara renungan dilanjutkan dengan makan bersama "Nasi Gerilya" yaitu nasi bungkus sumbangan warga RW.
Tak disangka cerita Rudi Ramon Pohan, yang saat itu sebagai panitia, ternyata menerima kiriman hampir 1000 nasi bungkus kiriman warga dengan lauk beraneka. Saking banyaknya bahkan ada beberapa anak yang sengaja menyortir nasi bungkus untuk mencari lauk kegemarannya. Sisanya dibagikan pada orang yang kebetulan lalu lalang melewati tempat tersebut.
"Dulu dizaman perang gerilya para pejuang kita selalu disuguhi nasi bungkus oleh masyarakat dimana para pejuang itu singgah.." jelas beliau sambil mengenang.
Keesokan paginya diadakan upacara pengibaran bendera merah putih dengan beliau sebagai Inspektur Upacara dan Rudi Ramon Pohan dengan berseragam sekolah didaulat sebagai salah satu pengawalnya. Para remaja, bapak dan ibu-ibu ada yang sambil menggendong bayi dengan khidmat dan lugu ikut dalam barisan peserta upacara. Menurut Rudi Ramion Pohan, hari itu Perayaan 17 Agustus yang paling meriah, lengkap dan namun juga bersahaja yang pernah dia alami.
Cerita Lain : Hobi Musik Oloan Pohan
Oloan Pohan
mampu memainkan beberapa alat musik seperti suling, dan juga gitar. Bahkan beliau merekam sendiri
permainannya di rumah a.l. Onang-Onang diiringi suling yang ditiupnya sendiri.
Hobi yang paling sering dilakukannya adalah mendengarkan lagu klasik
berjam-jam, entah itu Chopin, Johann Sebastian Bach, Mozart maupun Beethoven. Tape
recorder kesayangannya merk JVC Nivico plus Speaker Bass ditambah 2 buah
Tweeter (dengan crossover). Agar lebih nikmat beliau sengaja mematikan lampu, menaikkan
kaki, lalu merokok sambil menikmati
perubahan nada dan tempo. Sebagaimana Suku Batak pada umumnya, tidak
ketinggalan koleksi lagu-lagu Batak seperti Trio Golden Heart yang didominasi
petikan gitar mendayu-dayu atau kadang lantunan Jim Reeves, Lobo, Andy
Williams, Frank Sinatra, Nat King Cole dan lain-lain. Koleksinya lumayan banyak
dan disusun secara rapi sesuai warna dan labelnya di sebuah rak khusus.
Belakangan JVC
kesayangannya hancur perlahan oleh tangan-tangan anak-anaknya untuk aliran yang
berbeda seperti Koes Plus, D’lloyd, Panbers dan the Mercy’s. Bila suara sudah
mulai kurang jernih, mulailah anak-anaknya mencari pentol korek api untuk
mengganjal tutup kaset. Lambat laun tape mulai berjalan tidak sempurna. Lalu
seperti biasa anak lelaki keduanya alias
Royce Arnold Pohan yang memang mendalami aliran “Terima Bongkar Tidak Terima
Pasang” pun mulai beraksi, membongkar satu-persatu dan ujung-ujungnya
bingung sendiri karena menyadari ada beberapa baut sisa yang seharunsya
terpasang entah dimana. Persis seperti nasib tape asli VW Variant 1968 milik
Maradjo Pohan, abang Oloan Pohan yang juga menjadi korban Royce Arnold Pohan.
Cerita Lain : Hobi Kuliner Oloan Pohan
Hobi lainnya adalah
hobi kuliner / makanan. Selain Ayam Kampung yang di gule atau setelah digule
lalu dibakar. Di Jakarta beliau sering mampir makan siang di sekitar terminal
Kampung Melayu, makanannya adalah Soto Betawi. Tidak tanggung-tanggumg, dua
mangkok soto plus satu piring nasi (sesampai di rumah beliau biasa mengaku
sudah makan di kampus). Kesukaan lainnya adalah Tongseng Kambing, Sate dan
lain-lain. Wajar kalau diusia yang relatif masih muda beliau sudah terserang
diabetes. Apalagi setiap kali makan, lantas diikuti dengan minum teh manis dengan
gelas berukuran besar.
Jika kebetulan
abangnya Marajo Pohan dan adiknya Saiful Pohan datang berkunjung, maka mereka bertiga
layaknya Trio Golden Heart, langsung berkumpul dan begadang di rumah sampai
pagi. Dua-tiga jam setelah makan malam dengan lahap karena masakan Dahlian
Matondang yang terkenal nikmat, lalu Saiful
Pohan selalu memanggil jajanan yang kebetulan lewat di depan rumah. Kadang Mie
Tek-Tek, lain kali Jagung Rebus, Bakso dan lain-lain, dan merekapun makan
bersama (lagi).
Rudi Ramon
Pohan cerita, pernah suatu malam sekitar jam tiga pagi mendadak terbangun
karena mendengar suara Trio Golden Heart tertawa terbahak-bahak dari bawah (sedangkan
kamarnya di lantai dua). Saat turun
dan bergabung yang mereka bahas ternyata
masih makanan, yakni nikmatnya ikan Gabus besar yang dipanggang lalu disiram
kuah gulai, khususnya bagian daging di pipi Gabus yang lumayan tebal dan sangat
lezat.
Soheh Pohan, salah
satu kerabat bahkan pernah melihat mereka meski diusia pertengahan, masih bergelut
dan bercanda layaknya remaja. Kehidupan yang terpisah dengan keluarga dan
tinggal bersama di rumah kerabat, dan juga ketika di Yogyakarta membuat mereka
bertiga sangat dekat.
Cerita Lain : Oloan Pohan Sebagai Dosen
Di Kampus Universitas Pancasila pun beliau sangat dikenal sebagai sosok yang dekat dengan semua orang, dari mulai karyawan tata usaha, sesama dosen ataupun mahasiswa. Beberapa mahasiswa bahkan menjadikan beliau sebagai tempat konsultasi curhat mereka. Pernah suatu kali sang mahasiswi yang juga artis Fanny Bauty datang keruangan beliau meminta pertimbangan sambil menangis karena di lamar Mark Sungkar, mantan suami Emilia Contessa. Beliau agak bingung karena status Mark Sungkar yang terpaut umur begitu jauh dan masih suami orang. Ayah lebih menyarankan Fanny untuk berfikir ulang masak-masak. Fanny akhirnya menerima pinangan sang Mark Sungkar itu dan melaporkannya kepada beliau sambil menangis karena harus berhenti kuliah.
Semua mahasiswapun jika berjumpa beliau pun biasanya langsung menegur sopan dan kadang bercanda. Beliau memang suka menggoda para mahasiswa apalagi jika ada kerumunan mahasiswa di gang koridor kampus yang menutupi jalan, kontan beliau menyodorkan rokoknya menyala mengarah ke kerumunan itu sembari berteriak ;
"Minggir....minggir...!! Air panas...air panas...!!"
Sekejap kerumunan itu terbuka dan memberi beliau jalan. Tertawa mahasiswa itu pecah saat tahu yang berteriak itu adalah ayah.
"Ahh...Pak Pohan...!"
Ujar mereka sambil terbahak. Dari situ ayah semakin tenar dikalangan mahasiswa walau belum tentu pernah mengajar mereka.
Tapi kemarahannya akan timbul manakala ada mahasiswa yang berani datang ke rumah membawa makanan apalagi menawarkan uang untuk meminta nilai ujian mata kuliah lebih. Serta merta dia akan menghardik mahasiswa itu dan mengusirnya dari rumah. Dengan mata melotot dan gigi menggigit bibir bagian bawah karena menahan amarah, maka sumpah serapahnya bertubi-tubi ke mahasiswa itu;
"Dasar kau tidak patut jadi mahasiswa. Masih ingusan sudah mau main suap segala...!!"
Hardiknya dengan muka memerah,
"Sana kau pulang saja..!, Indonesia ini butuh orang yang gentlemen dan jujur tidak seperti kau..!"
Sambil beringsut mahasiswa itu tergopoh-gopoh mengenakan sepatunya lagi lalu membungkuk meminta maaf dan segera pergi.
Cerita Lain : Oloan Pohan Sebagai Dosen
Di Kampus Universitas Pancasila pun beliau sangat dikenal sebagai sosok yang dekat dengan semua orang, dari mulai karyawan tata usaha, sesama dosen ataupun mahasiswa. Beberapa mahasiswa bahkan menjadikan beliau sebagai tempat konsultasi curhat mereka. Pernah suatu kali sang mahasiswi yang juga artis Fanny Bauty datang keruangan beliau meminta pertimbangan sambil menangis karena di lamar Mark Sungkar, mantan suami Emilia Contessa. Beliau agak bingung karena status Mark Sungkar yang terpaut umur begitu jauh dan masih suami orang. Ayah lebih menyarankan Fanny untuk berfikir ulang masak-masak. Fanny akhirnya menerima pinangan sang Mark Sungkar itu dan melaporkannya kepada beliau sambil menangis karena harus berhenti kuliah.
Semua mahasiswapun jika berjumpa beliau pun biasanya langsung menegur sopan dan kadang bercanda. Beliau memang suka menggoda para mahasiswa apalagi jika ada kerumunan mahasiswa di gang koridor kampus yang menutupi jalan, kontan beliau menyodorkan rokoknya menyala mengarah ke kerumunan itu sembari berteriak ;
"Minggir....minggir...!! Air panas...air panas...!!"
Sekejap kerumunan itu terbuka dan memberi beliau jalan. Tertawa mahasiswa itu pecah saat tahu yang berteriak itu adalah ayah.
"Ahh...Pak Pohan...!"
Ujar mereka sambil terbahak. Dari situ ayah semakin tenar dikalangan mahasiswa walau belum tentu pernah mengajar mereka.
Tapi kemarahannya akan timbul manakala ada mahasiswa yang berani datang ke rumah membawa makanan apalagi menawarkan uang untuk meminta nilai ujian mata kuliah lebih. Serta merta dia akan menghardik mahasiswa itu dan mengusirnya dari rumah. Dengan mata melotot dan gigi menggigit bibir bagian bawah karena menahan amarah, maka sumpah serapahnya bertubi-tubi ke mahasiswa itu;
"Dasar kau tidak patut jadi mahasiswa. Masih ingusan sudah mau main suap segala...!!"
Hardiknya dengan muka memerah,
"Sana kau pulang saja..!, Indonesia ini butuh orang yang gentlemen dan jujur tidak seperti kau..!"
Sambil beringsut mahasiswa itu tergopoh-gopoh mengenakan sepatunya lagi lalu membungkuk meminta maaf dan segera pergi.
Cerita Lain : Kemeriahan Kuliner Iedul Fitri
Bila hari raya
Iedul Fitri sudah akan tiba, Oloan Pohan akan dengan cerewet membuat daftar menu
masakan yang harus disiapkan istrinya Dahlia Matondang. Biasanya menu utama di
hari raya Sop Buntut Sapi, bukan cuma satu, melainkan 4 sd 5 ekor buntut.
Meski begitu
banyak, malam hari pertama Iedul Fitri, dipastikan Sop Buntut sudah tiada dan hanya
menyisakan remah dan kuahnya saja. Namun hari kedua beliau sudah pula
menyiapkan Gulai Ayam Kampung. Sebagai cadangan masih ada Limbat Goreng Sambal atau
Ikan Asap serta Dendeng Daging sudah pula tersedia. Lebaran selalu menjadi
momentum kuliner sempurna untuk beliau. Menurut Rudi Ramon Pohan, nyaris semua
anaknya juga memiliki hobi kuliner yang sama.
Cerita Lain : Masakan Ala Dahlia Matondang
Salah satu
andalan masakan Dahlia Matondang adalah Sambal Goreng. Baik Teri Sambal Goreng (yang
juga merupakan makanan favorit Royce Arnold Pohan sampai sekarang), Tempe
Sambal Goreng, Limbat Sambal Goreng, Terong Sambal Goreng lalu masakan lain
seperti Perkedel, Tempe Tumis (setelah Tempe diinapkan 2-3 hari di kulkas).
Lalu masakan unik yakni Tahu Goreng setengah matang namun dengan sambal yang
nyaris gosong.
Sambal Goreng
ini tidak hanya untuk makanan segar namun diterapkan pula dengan menggunakan Sardencis
kalengan (biasanya merk Botan), setelah kuahnya dibuang lalu diaduk dengan
Sambal Goreng. Menurut Rudi Ramon Pohan,
aku dan abangku Anwar Syafri Pohan pernah nyaris terlambat pulang ke Bandung
karena menikmati racikan Dahlia Matondang, dan setiap kali nasi habis lalu diikuti dengan sepiring nasi
berikutnya.
Bukan hanya
anak-anak, Partaonan Dalimunthe yang merasa tidak diajak makan pernah dengan
kecewa lalu mengadu pada adik Oloan Pohan yang juga istrinya yakni Nurdia
Pohan. Selang beberapa lama Nurdia Pohan berkunjung ke rumah Oloan Pohan. Lalu sambil
bertanya pada Dahlia Matondang sbb;
"O
kak....piga ari na kewat ro do opungmunu to bagason kan...?." (Kak, suami
ku kesini kan beberapa hari lalu ?)
tanya Nurdia Pohan.
Tanpa beban Dahlia
Matondang menjawab:
"Olo.....mabia
lakna ?" (Iya, ada apa gerangan ?)
"Inda
kak...hacit ilala ia harana na dipio mangan dison..." (Iya kak, dia sakit
hati karena tidak dipanggil makan).
Dahlia
Matondang pun kaget.
"Ala....le...mangido
moop ma au eda, nanggo taringot au i harana na sibukan hami pauli
bagason....mangido maap ma au eda dah....ulang hacit rohamunu...au do na
sala.." (Aduh, minta maaf dik, aku tidak ingat sama sekali, minta maaf ya
dik, jangan sakit hatimu, aku kok yang salah).
Cerita Lain : Menjadi Ibu Rumah Tangga Sekaligus Mencari Nafkah
Meski sibuk
karena turut menjalankan usaha ekspedisi, Dahlia Matondang tetap memasak bagi
keluarganya. Belanja pagi-pagi sekali ke pasar, masak untuk menu sarapan sekaligus
dengan menu makan siang. Lalu sekitar jam 10.00 pagi beliau kemas-kemas dan
segera meluncur ke BTN Kantor Pusat Harmoni, untuk menyongsong order pengiriman
barang.
Meski punya
keahlian memasak yang banyak dipuji orang, uniknya Dahlia Matondang justru
tidak menyukai masakannya yang lezat itu. Dia malah lebih memilih makan rebusan
Daun Pepaya, Paria atau Sawi Pahit dengan Sambal Tomat atau kadang Sambal Jeruk.
Aneh rasanya makan dengan menu sederhana diantara kepungan masakan lezat ala
beliau.
Cerita Lain : Oloan Pohan dan Koes Hendratmo
Dalam salah
satu wawancara dengan wartawan, Koes Hendratmo mengatakan sosok yang terus
memberikan motivasi untuk terus menggali bakat menyanyinya adalah gurunya Oloan
Pohan. Saat itu Koes pelajar yang tidak berprestasi secara akademik, namun
Oloan Pohan membesarkan hati Koes untuk menekuni apa yang menjadi minatnya.
Tapi Koes
menyayangkan karena tidak lagi tau dimana guru idolanya tersebut berada. Oloan
Pohan yang tahu soal penjelasan Koes pada wartawan memilih tidak menemui Koes
yang saat itu sedang di puncak karir.
Lanjut ke Anak Ke #5 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-13-dari-17_21.html
Lanjut ke Anak Ke #5 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/09/riwayat-baginda-karapatan-13-dari-17_21.html
*Nyaris 90% sesuai penuturan Rudi Ramon
Pohan.
*Beberapa tambahan kecil dari Husni Pohan (juga
Siti Hajar Lubis mengenai surat Oloan Pohan) dan Soheh Pohan.
No comments:
Post a Comment