Cukup lama buku ini nangkring di rak buku koleksi saya, sehingga akhirnya saat bulan Ramadhan dan ketika sudah memulai mengambil cuti, akhirnya dapat saya tamatkan dalam dua hari. Menggunakan cover yang kurang lebih sama dengan film-nya, buku ini membuat saya menjadi lebih mengerti tentang KH Ahmad Dahlan, yang karya-nya sampai saat ini masih eksis sebagai salah satu dari dua besar organisasi Islam di Indonesia.
Rasanya senang ketika akhirnya ada karya Akmal yang positif, tidak seperti novel sebelumnya “Imperia”, yang terkesan lebih sebagai proyek uji coba Akmal sebagai penulis dan tidak membuat kita mendapatkan sesuatu atau manfaat khusus dalam bukunya tsb, bahkan membuat saya agak cenderung tidak nyaman dengan penggambaran detail “hubungan intim”. Kali ini Akmal membuat sesuatu yang inspiratif dan menampilkan sosok yang pantas jadi idola dari zaman kemerdekaan.
Meski film-nya agak sedikit kontroversial karena menampilkan tokoh seperti Lukman Sardi sebagai bintang utama (yang kurang dikenali keislaman-nya), serta menampilkan Yoshua sebagai salah satu murid KH Ahmad Dahlan, buku ini lepas dari kontroversi film. Walaupun, kasus implementasi dalam film bisa juga dianggap dan dimaafkan sebagai upaya untuk mengenalkan Islam kembali pada komunitas yang lebih beragam dan luas, baik dari sisi pemain film ataupun komunitas yang lebih luas yaitu penonton. Pengakuan keberagaman seperti ini sebenarnya cukup menarik dan pernah dilakukan Ir. Soekarno di masa lalu ketika memilih Karya F.Silaban yang nota bene non muslim dalam kompetisi desain Masjid Istiqlal.
Kembali ke buku, beberapa hal yang kurang nyaman adalah kesan bahwa riset untuk buku ini relatif kurang. Barangkali akan lebih baik, jika suasana pada masa itu dapat ditampilkan dengan lebih deskriptif, misalnya suasana Masjidil Haram, suasana di kapal saat perjalanan ke Mekkah, suasana disekitar Yogya, dan lain2. Terbiasa membaca buku Pramudya (dengan riset ala “photographic image” seperti di Bumi Manusia), buku Akmal ini menjadi terkesan dan terjebak pada sekedar novelisasi skenario Film. Selain itu juga menceritakan bagaimana sepak bola dimainkan sebagai permainan saat itu dengan istilah istilah yang digunakan saat ini, serta “memaksakan” bagaimana kesukaan KH. Ahmad Dahlan bermain biola, agak sedikit meragukan, karena juga tidak dijelaskan literatur yang digunakan dalam penggambaran tersebut.
Tetapi menghakimi buku ini seakan akan sebagai buku Sejarah tentulah juga tidak tepat, jadi buku ini tetap dapat dianggap sebagai buku yang baik, dan dapat menggambarkan sebagian dari kepingan Sejarah Organisasi Islam Muhammadiyah serta menggambarkan bagaimana beratnya perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam memodernisasi Islam untuk terus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, serta terus dapat mengambil yang terbaik dari mana pun dia berasal.
Rasanya senang ketika akhirnya ada karya Akmal yang positif, tidak seperti novel sebelumnya “Imperia”, yang terkesan lebih sebagai proyek uji coba Akmal sebagai penulis dan tidak membuat kita mendapatkan sesuatu atau manfaat khusus dalam bukunya tsb, bahkan membuat saya agak cenderung tidak nyaman dengan penggambaran detail “hubungan intim”. Kali ini Akmal membuat sesuatu yang inspiratif dan menampilkan sosok yang pantas jadi idola dari zaman kemerdekaan.
Meski film-nya agak sedikit kontroversial karena menampilkan tokoh seperti Lukman Sardi sebagai bintang utama (yang kurang dikenali keislaman-nya), serta menampilkan Yoshua sebagai salah satu murid KH Ahmad Dahlan, buku ini lepas dari kontroversi film. Walaupun, kasus implementasi dalam film bisa juga dianggap dan dimaafkan sebagai upaya untuk mengenalkan Islam kembali pada komunitas yang lebih beragam dan luas, baik dari sisi pemain film ataupun komunitas yang lebih luas yaitu penonton. Pengakuan keberagaman seperti ini sebenarnya cukup menarik dan pernah dilakukan Ir. Soekarno di masa lalu ketika memilih Karya F.Silaban yang nota bene non muslim dalam kompetisi desain Masjid Istiqlal.
Kembali ke buku, beberapa hal yang kurang nyaman adalah kesan bahwa riset untuk buku ini relatif kurang. Barangkali akan lebih baik, jika suasana pada masa itu dapat ditampilkan dengan lebih deskriptif, misalnya suasana Masjidil Haram, suasana di kapal saat perjalanan ke Mekkah, suasana disekitar Yogya, dan lain2. Terbiasa membaca buku Pramudya (dengan riset ala “photographic image” seperti di Bumi Manusia), buku Akmal ini menjadi terkesan dan terjebak pada sekedar novelisasi skenario Film. Selain itu juga menceritakan bagaimana sepak bola dimainkan sebagai permainan saat itu dengan istilah istilah yang digunakan saat ini, serta “memaksakan” bagaimana kesukaan KH. Ahmad Dahlan bermain biola, agak sedikit meragukan, karena juga tidak dijelaskan literatur yang digunakan dalam penggambaran tersebut.
Tetapi menghakimi buku ini seakan akan sebagai buku Sejarah tentulah juga tidak tepat, jadi buku ini tetap dapat dianggap sebagai buku yang baik, dan dapat menggambarkan sebagian dari kepingan Sejarah Organisasi Islam Muhammadiyah serta menggambarkan bagaimana beratnya perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam memodernisasi Islam untuk terus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, serta terus dapat mengambil yang terbaik dari mana pun dia berasal.
No comments:
Post a Comment