Wednesday, December 30, 2015

Jelajah Sumatera Part #6 dari 10 : Menuju Bukit Tinggi

Tanggal : 22/Des/2015

Target

  • Jembatan Sungai Kampar – Perbatasan Riau dan Sumatera Barat
  • Kelok 9 – 30 kilometer sebelum Payakumbuh
  • Pongek “OR” Situjuah – 15 menit sebelum Payakumbuh
  • Lembah Harau – Payakumbuh, Kabupatan Limapuluh Koto
  • Jam Gadang dan Sate Padang – Jalan Parak Kubang 40, Bukit Tinggi  
  • Kaputuak Kloting / Kaos Unik Rasa Minang – Jalan Jend Sudirman
  • Benteng Fort De Kock – Jalan Yos Sudarso
  • Jambatan Limpapeh – Jalan Yos Sudarso
Penginapan 

  • Prima Dini - Jalan Yos Sudarso 
Kondisi Jalan

  • Total jarak : 259 km / 6 jam 
  • Melewati Lintas Tengah, Sungai Kampar, Bangkinang, Kelok 9, Simpang Lembah Harau dan Payakumbuh. Rute idealnya adalah Pekanbaru, Bangkinang, Kelok 9, Kab Limapuluh Koto (Lembah Harau), dan Payakumbuh, namun karena sudah sangat lapar kami melewati Kab Limapuluh Koto dulu menuju Pongek "OR" Situjuah, baru kemudian kembali untuk melihat Lembah Harau.    
  • 85% mulus, jalan mulai berkelok kelok, hati-hati dengan tebing dan longsoran, di beberapa titik longsoran memakan badan jalan.
Di perbatasan Riau dan Sumatera Barat, kami sempat terkesan dengan apa yang kami kira Danau namun ternyata Sungai Kampar, sungai ini berkelok kelok sehingga kita masih menemukannya beberapa kali setelah pertemuan pertama.  Jembatannya meski berdesain biasa saja namun karena lebarnya sungai terkesan sangat luas dan panjang.






Bagi saya rute Pekanbaru - Bukit Tinggi ini menarik, karena tahun 2013 saya sempat mau ikut rombongan komunitas namun berhalangan, dan rute ini tadinya bahkan sempat dicoret karena adik istri berkeras mau ke Parapat alias Danau Toba. Namun setelah diskusi intensif dan karena keterbatasan waktu, kami sepakat mencoret Parapat sehingga jalur kembali ke rencana semula yakni melewati Kelok 9.




Akhirnya sampailah di Kelok 9 yang menjadi legenda baru ini, sayangnya tidak se-spektakuler foto-foto dari ketinggian yang biasa kami lihat. Namun tak urung tetap membuat lidah berdecak kagum. Di salah satu spot, nampak banyak pedagang jagung bakar menggelar dagangannya dengan tenda warna warni sekaligus membuat kemegahan Jembatan ini menjadi agak terkesan berantakan. Ada cukup banyak sampah di lokasi tebing-nya, sayang sekali wisata Indonesia masih belum benar-benar bisa bersih dari hal-hal seperti ini.




Karena pada tahun 2000 an jalur selebar 5 meter ini sudah mencapai kepadatan 9.000 sd 11.000 kendaraan per hari, maka diusulkan ke Pemerintah Pusat untuk membuat solusi Jembatan, untuk memotong waktu dari Pekanbaru ke Bukit Tinggi dari 6 jam menjadi 4 jam. November 2003 mulai dikerjakan dengan membuat 6 jembatan sepanjang total 959 meter dan diintegrasikan dengan jalan sepanjang 1.537 meter. Dengan sendirinya lebar jalan asal 5 meter berubah menjadi 13.5 meter. 





Dari sini kami melaju ke Lembah Harau, namun perut yang sudah keroncongan memaksa kami ke Pongek “OR” Situjuah dulu. Rumah Makan Padang ini merupakan rekomendasi sahabat Sportage alias Husen, dan memang masakannya unik dengan bumbu yang berani. Lokasinya agak menjauh dari jalan besar, dan terletak ditengah sawah. Sambil makan kita mendengar gemericik sungai kecil, dan menikmati menu ikan bakar, rendang hitam, gule tunjang dan diakhiri dengan Teh Telor serta kue tradisional dengan rempah jahe. Untuk 7 orang kami harus membayar Rp. 255.000, tidak jelas juga berapa harga per makanan, karena mereka sepertinya cenderung menghitung ke jumlah orang saja. 

Sempat terjadi perdebatan apakah Lembah Harau perlu kami datangi atau malah ditinggalkan, maklum selesai makan di Pongek “OR” Situjuah hari sudah menjelang sore, namun kami akhirnya melaju ke Lembah Harau dengan harapan keesokan harinya tidak perlu membuang waktu sekitar dua jam untuk kembali kesini.






Menjelang Lembah Harau kami melihat kumpulan bangau putih terbang berputar putar, dan lalu pelangi yang berujung di atas lembah. Akhirnya sampailah kami di lembah Harau, suatu area yang secara geologi mengalami fenomena grabber, alias amblas dan meninggalkan kawasan yang dipagari lembah batu yang nyaris rata.  Hujan masih terus membasahi bumi, kami langsung berhenti dan mencoba mengabadikan momen, lalu setelah mendapatkan informasi dari pesepeda, kami lanjut ke bagian dalam lembah untuk mengabadikan air terjun yang tercurah dari atas lembah.








Dari sini kami lanjutkan perjalanan ke Jam Gadang, istri dan adiknya segera bergegas menyusuri Pasar Atas dan Pasar Bawah, namun hujan memaksa kami berteduh sebentar. Setelah reda kami segera melanjutkan perjalanan dan menikmati Sate Padang, sayang sekali rasanya agak kurang mantap, namun impian saya nyaris selama 30 tahun akhirnya terwujud, berikut link mengenai impian saya;


Selama ini bayangan saya tentang Bukit Tinggi selalu positif, daerah bersih, berudara sejuk, tertata dengan baik dan tersohor karena melahirkan tokoh-tokoh penting dalam perjalanan bangsa. Namun malam itu pandangan saya berubah, Jam Gadang dan kawasan sekitarnya terkesan kotor dan kumuh, kumpulan anak muda dengan atribut metal menyetel musik keras-keras di tengah taman, warung warung bertebaran dengan semrawut, tukang parkirnya penuh tatto dan dengan gaya mengancam.





Dari sini kami lalu menuju hotel Prima Dini, yang ternyata sangat dekat dengan Jam Gadang, dan kali ini kami kembali memesan tiga kamar, karena kedua remaja ingin sekali menggunakan kamar tanpa kehadiran kedua orang tuanya.






Keesokan pagi setelah sarapan, kami menuju Benteng Fort De Kock, bentengnya sangat kecil dan kalau saja tidak diberi tahu, kami masih tidak mengira bangunan tersebut adalah bentengnya. Tiket masuk per orang di Benteng Rp. 10.000. Benteng ini diirikan tahun 1825 pada masa Hendrik Merkus De Kock saat beliau menjadi Wakil Gubernur Hindia Belanda. Benteng ini menjadi lokasi pertahanan Belanda saat Perang Paderi antara tahun 1821 sd 1837. Meriam-meriam kuno masih dapat kita temukan di sekitar Benteng Fort De Kock. Sebenarnya ada satu benteng lagi yakni Fort Van der Capellen yang terletak di Batusangkar.   



Kami juga menelusuri Jambatan Gantung Limpapeh, yang menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan Benteng Fort De Kock.  Adik ipar dan anggota rombongan terkecil menginginkan “special request” melihat lihat koleksi kebun binatang, dan akan saya jemput setelah mengantar istri dan adiknya belanja di Pasar Atas serta Pasar Bawah. 



Lalu istri dan adiknya kembali menyusuri Pasar Atas dan Pasar Bawah, sambil menunggu istri dan adiknya belanja, saya bersama Si Bungsu menikmati Ice Cream dari KFC di depan pasar.
Lalu lanjut ke Kaos Unik Rasa Minang. Kejutan buat saya melihat kualitas kaosnya dan lebih terkejut lagi ketika mengetahui semuanya produksi Bandung yang di desain di Bukit Tinggi lalu setelah dikirim dari Bandung kembali dijual di Bukit Tinggi.  

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/12/jelajah-sumatera-part-7-dari-10-menuju.html

No comments: