Wednesday, February 03, 2016

Sang Fotografer - Memasuki Kancah Perang Afghanistan Bersama Doctors Without Borders - Didier Lefevre


Kebanyakan fotografer tidak bisa merangkai cerita, dan sebaliknya kebanyakan pencerita tidak bisa mengabadikan momen penting dalam ceritanya. Jadi bersyukurlah yang memiliki keduanya, apalagi lalu bisa menjadikannya sebagai buku. Namun jangan harap keahlian bercerita Lefevre sekelas dengan Khaled Hosseini dalam Kite Runner.  

Didier Lefevre fotografer kelahiran Desember 1957 asal Perancis pada tahun 1986 bersama tim kemanusiaan Perancis Médecins Sans Frontières/MSF berangkat menuju Afghanistan. Dalam bahasa Inggris MSF dapat berarti Doctors Without Borders.  Perjalanan ini berbahaya karena melewati beberapa kubu yang saling berperang, dan rombongan mereka bisa saja dianggap musuh bagi kedua belah pihak. Buku ini juga mengisahkan bagaimana helikopter Rusia jauh lebih mengerikan dimata mereka dibanding pesawat tempur Rusia, helikopter mampu diam mengamati obyek dan lalu menghancurkan target, sementara pesawat saat harus memutar jauh sebelum kembali menyerang target. 

Dalam situasi seperti ini mereka bisa bertemu Mujahidin namun bisa juga berhadapan dengan tentara-tentara Rusia. Buku ini menceritakan masa selama 3 bulan perjalanan. Namun tidak ada perang yang akhirnya menjadi bagian buku ini, karena lebih menyoroti sukarnya perjalanan, dan pengalaman mengobati pasien dalam kondisi serba kekurangan. 




Menggunakan pakaian setempat, belajar bahasa dan adat istiadat serta mengganti nama menjadi Ahmadjan, merupakan sebagian dari hal-hal menarik yang dilakukan Lefevre bersama team dokter ini. Salut juga terhadap keputusan team untuk menyertakan seorang fotografer dalam rombongan kemanusiaan ini sekaligus menjadi bukti perjalanan ini benar-benar ada dan melengkapi Sejarah Perang Afghanistan. Dokumentasi memang di negara-negara barat dianggap sebagai pekerjaan penting, dan berbeda dengan bangsa kita yang cenderung mengabaikan dokumentasi. 

Lefevre juga mempelajari budaya setempat seperti,  tetap berterimakasih pada team dokter maski kadang pasiennya tidak terselamatkan, pria-pria yang ganas di medan tempur namun memperlakukan keluarga mereka dengan sangat lembut, anak-anak yang berbakti pada orang tua, penduduk yang memilih untuk menjamu tim kemanusiaan meski mereka sendiri terpaksa berpuasa, atau selalu mengucapkan salam dan mendoakan satu sama lain. 

Tim kemanusiaan ini sendiri akhirnya juga menyadari poligami tidaklah seperti yang mereka pikirkan saat mengamati betapa seorang istri tua dapat memilih istri muda yang akan menemaninya saat suami mereka pergi berperang dan tetap berbahagia. Beberapa hal unik lainnya adalah saat membeli sekumpulan Kuda dan Keledai untuk membawa berbagai obat-obatan dan alat medis, Lefevre merekam bagaimana pembeli dan penjual hewan tersebut berjabatan dibalik kain, dan saling memberikan kode dengan jari mengenai harga yang disepakati. Hal ini pernah diceritakan juga dalam buku Three Cups of Tea karya Greg Mortenson

Kadang dialognya terasa lucu misalnya mengenai Baba istilah yang dipakai orang-orang Afghanistan menyebut lelaki tua, sementara kata yang sama dalam bahasa Rusia berarti wanita tua, lalu tokoh dalam buku ini berkata "Pasti itu sebabnya terjadi konflik (antara Rusia dan Afghanistan). Baba di Afghanistan selalu terlihat sedang menggendong cucu mereka dengan penuh kasih, sementara para ayah cucu tersebut harus berperang, sedangkan wanita secara tradisi tidak dibenarkan berkeliaran. 

Meski memotret 4000 foto, nyatanya hanya 6 yang akhirnya dimuat di media, sedih karena ada banyak foto yang nyaris terkubur selama 13 tahun dan menurut Lefevre sebenarnya cukup penting, maka bersama seorang ilustrator bernama Emanuel Guibert, Lefevre tertantang untuk menjadikannya sebagai buku. Karena model berceritanya sekuensial, maka Guibert bertugas untuk mengisi ruang diantara sekuen yang kebetulan tidak didokumentasikan oleh Lefevre.  

Lefevre mengalami banyak hal terutama saat memutuskan kembali duluan dan sendirian, seperti sakit dalam perjalanan, nyaris mati dalam badai salju ataupun diperdaya pemandu dan polisi setempat. Saat buku ini saya baca, ternyata Lefevre sudah meninggal pada bulan Januari 2007 di usia 49 tahun karena serangan jantung. 




Akhir kata ilustrasi Guibert sendiri mengingatkan saya akan Herge, meski dengan garis-garis yang terasa lebih ekspresif. Dan ilustrasi ini semakin cocok manakala, seperti halaman 72, dimana Lefevre menulis "Sesekali aku berpikir tentang Tintin, kisah-kisahnya benar-benar luar biasa, sering aku mendapat kesan dia pernah bepergian ke tempat-tempat yang kami tuju ini".

Bagi saya buku 280 yang ditulis dengan kejujuran ini sangat layak dibaca, dan memberikan kita pemahaman betapa perang tidak selalu membunuh kemanusiaan, diantara asap, desingan peluru dan letusan bom, kemanusiaan tetap tumbuh subur dan memberikan secercah harapan. Saya tutup catatan kali ini dengan kata-kata Lefevre 

"Perjalanan selama ini sangat berat, tapi justru karena itulah aku merasakan cinta yang besar bagi Afghanistan, perasaan dekat yang tulus"

dan kata-kata Juliette

"Aku sudah sering mendengar orang-orang yang kami obati berkata padaku dengan wajah sedih, sayang sekali kau bukan muslim, kita akan pergi ke surga yang berbeda". 

  

No comments: