Wednesday, April 18, 2018

Membedah Pernyataan Rocky Gerung Mengenai Kitab Suci



Lini masa langsung panas saat Rocky Gerung di penghujung acara ILC (Indonesia Lawyers Club) 10/April/2018 membuka dengan statemen “Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci itu adalah fiksi”. Setelah di bully habis-habisan (termasuk oleh yang bahkan belum pernah menonton rekaman videonya) , lalu Rocky Gerung dilaporkan ke pihak kepolisian oleh Jack Boyd Lapian mantan ketua relawan BTP (Basuki Tjahaja Purnama) Network.

Sebagian yang lain ketimbang ikut-ikutan melaporkan ke kepolisian, mencoba eksplorasi dahulu sebelum menyampaikan pendapat. Misalnya mencari definisi di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Merriam Webster dan juga asal mula kata "fiksi", meski yang dimaksud Rocky Gerung sepertinya definisi yang berbeda dan dekat dengan terminologi filsafat. 

“Fiksi” menurut KBBI sebagai berikut



 “Fiction” menurut Merriam Webster sbb



“Fiksi” menurut asal kata sebagai berikut

Berasal dari bahasa Latin “fictio” yang memiliki akar kata “fingere”. Kalau diartikan, “fiksi” berarti : “membangun atau mengonstruksi”, “menemukan”, “membuat”, dan “mengreasi (kreasi)”.  Segala proses pembentukan fiksi tak lepas dari imajinasi. Misalnya, seseorang yang melihat burung terbang dan berandai-andai bisa terbang.

Apakah pernyataan Rocky ini baru ?, tidak juga, karena akun @GunRomli bahkan sudah posting cuitan sebagai mana kutipan dibawah per 22/October/2010, dan sampai sekarang sepertinya belum terdengar ada laporan hukum terkait cuitan tersebut.



Lantas apakah Rocky Gerung bisa disalahkan dengan kalimat beliau diatas ? saya pribadi berpendapat

  • Rocky bicara per definisi yang di sebutkan dalam awal kalimat di atas dengan menggunakan gaya kalimat kondisional, yakni “Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi....bla..bla”.
  • Imajinasi pembaca yang diaktifkan menurut Rocky Gerung adalah bagian Kitab Suci yang menceritakan misalnya mengenai surga dan neraka, juga mengenai masa depan yang masih memerlukan waktu untuk terjadi. 
  • Definisi yang digunakan lebih ke terminologi filsafat dan belum tentu pas dengan definisi ala KBBI. 
  • Rocky  berbicara dalam acara debat publik sebagai tamu undangan atau nara sumber. 
  • Tidak menyebutkan kitab suci mana yang dia maksud. 
  • Dengan niat untuk menjelaskan jangan menganggap kata “fiksi” itu pasti negatif, karena sejak pidato Prabowo soal ancaman 2030, makna kata “fiksi” di mata Rocky Gerung mengalami peyoratif (terhina). Padahal bagi Rocky Gerung kata “fiksi” itu positif dan sama sekali berbeda dengan kata “fiktif” 
  • Rocky Gerung sosok yang sering menggunakan satire dalam gaya bahasanya sehingga keseluruhan narasi yang disampaikan dalam forum ILC tersebut tidak bisa dimaknai dengan gaya ahli hukum secara verbatim (kata per kata) . 

Ibarat kita melakukan klasifikasi bahwa hanya ada tumbuhan dan hewan, dan dengan terpaksa mengelompokkan hewan ajaib berklorofil yang bereproduksi dengan melahirkan misalnya ke kelompok tumbuhan karena karakteristiknya lebih banyak mendekati tumbuhan ketimbang hewan. Atau jika cuma ada dua definisi makanan, yakni pedas dan tidak pedas lantas kita bingung sendiri mengelompokkan permen Nano-Nano ada di kelompok makanan yang mana. Bisa jadi definisi fiksi – non fiksinya lah yang terlalu miskin dan membuat Kitab Suci per definisi terpaksa di masukkan dalam kelompok per definisi yang ada.

Lantas apa pendapat saya soal Kitab Suci, bagi saya Kitab Suci agama saya, jelas kalam Allah SWT, yang di dalamnya ada masa lalu yang sudah terjadi, ada petunjuk bagaimana menjalani kehidupan agar selamat sampai tujuan dan ada narasi masa depan yang pasti terjadi. Dan lepas dari definisi fiksi – non fiksi diatas, saya meyakini Kitab Suci saya dengan seyakin-yakinnya.

Dalam acara ILC tersebut saya menilai, justru Akbar Faizal lah (juga Aria Bima dan Dwi Ria Latifa) yang mengalami kegagalan memahami narasi Rocky Gerung. Ibarat ahli hukum mempersoalkan satire dan imajinasinya puisi.  Anehnya, banyak yang mengait2kan narasi Rocky Gerung ini dengan kasus penistaan agama 27/ Sept/2016. Saya kira ini hal yang sama sekali berbeda karena kasus yang dijadikan sebagai referensi pembanding adalah sosok yang beragama A, pada acara kunjungan kerja sebagai pejabat ke Pulau Seribu, dan mempermasalahkan ayat-ayat kitab suci agama B (juga ulama agama B), dalam forum budidaya Ikan Kerapu.

Akhir kata, mari kita amati akan berakhir seperti apa kasus ini kelak, tidak memenuhi syarat secara hukum, atau akan berakhir seperti kasus penistaan agama 27/Sept/2016. Secara pribadi saya menilai Rocky Gerung setidaknya berhasil memicu tumbuhnya kekritisan dalam memaknai konstelasi politik masa kini dan membuat filsafat menjadi topik yang seksi. 





No comments: