Monday, April 02, 2018

Ready Player One (2018) – Steven Spielberg

“I created the OASIS because I never felt at home in the real world. I didn't know how to connect with the people there. I was afraid, for all of my life, right up until I knew it was ending. That was when I realized, as terrifying and painful as reality can be, it's also the only place where you can find true happiness. Because reality is real.” 

― Ernest Cline, Ready Player One




Kebetulan karena semua anggota keluarga sudah cukup lama tak jalan bersama, Si Bungsu pada akhir minggu sekaligus akhir bulan Maret 2018, mengusulkan untuk menonton Shape of Water sekaligus acara makan keluarga di luar rumah. Sayangnya kami tak kebagian tiket, dan pada menit-menit terakhir via aplikasi mtix akhirnya kami mengubah skenario untuk menonton Ready Player One karya Spielberg terakhir, di Festival Citylink. 

Ketika akhirnya menonton, saya sama sekali tak ada harapan khusus, karena memang tak tahu juga ini film tentang apa sebenarnya. Ketika akhirnya disambut dengan intro Jump dari Van Halen, ingatan saya melayang langsung ke tahun 80 an, dan adegan demi adegan berganti langsung membuat saya ingat pesan berantai mengenai era 80 an, yang menyebar dari satu WAG ke WAG lain secara viral. Pada pesan berantai tersebut kita diingatkan musik, budaya, film, artis yang “beken” dimasa itu. Lalu semua ikon budaya era tersebut dikemas oleh Ernest Cline dalam setting tahun 2045 dalam sebuah buku yang ditulis selama 10 tahun, dan menjadi pemicu lahirnya film ini. Namun kenapa justru budaya 1980 an menghiasi kehidupan 2045, tak dijelaskan sama sekali, namanya juga film fantasi, jadi ya sudah nikmati saja. 

Ceritanya berawal dari sosok pemuda bernama Wade Watt, seorang pemuda yang tinggal di pemukiman kumuh Columbia, Ohio. Kehidupan dimasa itu sudah campur baur antara maya dan nyata, yang mana dunia maya diwakili dunia virtual bernama OASIS yang dibuat oleh sotftware engineer bernama James Halliday (diperankan dengan sangat baik oleh Mark Rylance).  Sayang beliau lalu meninggal, dengan meninggalkan 3 teka teki yang masing-masing diwakili sebuah kunci, yang mana siapapun yang sanggup memecahkan teka-teki tersebut dan mendapatkan Easter Eggs, maka akan berhak menjadi pengelola sekaligus pemilik OASIS. 




Tokoh antagonis dalam film ini adalah Nolan Sorrento (diperankan dengan cermat oleh Ben Mendehlson dalam bentuk avatar yang sepintas mirip dengan Clark Kent alias samaran Superman). Nolan memiliki IOI, yakni perusahaan berbasis teknologi yang juga berambisi besar menguasai OASIS, namun selain memiliki kekuasaan di ranah maya, IOI pun memiliki “pasukan” yang dilengkapi dengan senjata dan kumpulan drone untuk memata-matai siapapun yang mereka anggap sebagai musuh. 

Wade dan beberapa avatar lainnya akhirnya memutuskan untuk bertarung, di ranah maya dan juga nyata dalam upaya mengambil alih OASIS yang memang dibuat oleh idola Wade sejak kecil, yakni Halliday. Tokoh yang membantu Wade antara lain Art3mis sosok avatar wanita pejuang, Aech sosok avatar ala robot,  Daito sosok avatar petarung ala Jepang. 

Bagi saya dan Si Sulung, film ini jadi bertambah menarik karena kebetulan kami baru saja menonton The Shining (yang dikenali sebagai karya film yang tak disukai penulis bukunya aka Stephen King) , yang ternyata muncul juga dalam film ini.  Tidak tanggung-tanggung, Ready Player One bahkan menghadirkan Overlook Hotel, mesin tik Jack Torrance, adegan di kamar 237 dan juga adegan mendebarkan di kegelapan labirin di halaman hotel.  Bersama sekitar 100 hal yang terinspirasi dari  dunia 80 an (juga 90 an) mulai dari misalnya; 

Musik yang diwakili Van Halen (dengan Jump), Twisted Sister (dengan We’re Gonna Take It), Michael Jackson, Depeche Mode, Hall and Oates dan bahkan Rush (meski cuma diwakili poster 2112). Lalu ikon dari film lain seperti  mobil De Lorean dalam Back To The Future, Sepeda Motor Tron,  Iron Giant, Gundam, Batman, Freddy Krueger, T Rex, King Kong, Mechagodzilla,  dan bahkan Chucky. Tak ketinggalan budaya 80 an seperti game Atari dan juga terminologi Easter Eggs, pesan rahasia  yang konon diciptakan Warren Robinett dalam game Adventure, sebagai kejutan.  Lalu semuanya digabungkan dengan skenario ala The Matrix yang mengombinasikan antara nyata dan maya. 

Bagi yang lahir dan  masa remajanya melewati 70, 80 dan 90 an, saya kira Ready Player One menjadi film yang sangat menghibur, namun mungkin tidak mudah bagi generasi 2000 an menikmati gado-aado kolaborasi Cline dan Spielberg ini, meski berbeda dengan Matrix, maya dan nyata sangat mudah dibedakan dalam Ready Player One, karena dunia nyata dimainkan oleh Avatar. Seorang sahabat bahkan sampai menganggap film ini merupakan karya terbaik Spielberg, meski saya sendiri juga menyukai Empire of The Sun, Lost World, Indiana Jones, Back To The Future, AI atau yang lebih serius seperti Saving Private Ryan. 

Selain Mark Rylance sebagai Halliday, dan Ben Mendehlson sebagai Nolan Sorrento, menurut saya Olivia Cooke juga pas sekali memerankan Art3mis, tak lupa T.J Miller sebagai i-R0k (konsultan bayaran terkait senjata dan item dunia sihir yang disewa IOI), dan tentu saja Simon Pegg yang memerankan The Curator (mitra Halliday saat membangun OASIS namun lalu berpisah). Sebaliknya bagi saya Tye Sheridan sebagai Wade justru bermain ala kadarnya.  Akhir kata, bagi saya Ready Player One benar-benar sangat menghibur dan menjadi jembatan bagi generasi sekarang untuk mengenali budaya di era 80 an. 



No comments: