Keesokan paginya, kami check out dan sarapan di depan Hotel
Pop !, sebuah warung tenda bertuliskan Bubur Ayam dan Lontong Sayur Mang Uut.
Menunya agak sedikit unik, untuk setiap porsi Bubur Ayam dan sebutir telur
rebus, maka kita juga mendapatkan semangkok kuah, lalu sepiring kerupuk dengan
1 bakwan dan 1 tempe. Untuk Bubur Ayam
harganya @ 15.000, sedangkan Lontong Sayur @ 12.000, total kami menghabiskan
IDR 85.000 untuk sarapan disini.
Jam 07:15 kami langsung tancap gas menuju Dermaga Ketapang
melewati Pesawaran untuk kedua kalinya. Nampak teluk Lampung yang indah dari
salah satu bukit di Bandar Lampung seakan-akan siap menyambut kedatangan kami.
Perjalanan berlangsung cukup lancar tidak seperti saat kami
ke Muncak Pesawaran sehari sebelumnya yang sempat kehilangan sinyal GPS.
Sekitar 47 menit kemudian setelah menempuh sekitar 25 km, kamipun sampai di
Dermaga Ketapang. Mobil langsung diparkir di kawasan parkir milik travel yang
dioperasikan oleh Mas Eko keturunan Jawa yang sejak lahir sudah berdomisili di
Lampung. Lalu barang-barang kami diangkut satu persatu ke perahu kayu dengan
atap terpal, yang dipandu oleh Bang Kosim seorang pria pendiam, yang nantinya
bertugas mulai dari penunjuk jalan, nahkoda, instruktur renang, fotografer,
videografer dan bahkan tukang masak.
Udara cukup cerah, dan perahu langsung bergerak melewati
selat diantara Pulau Kelagian dan Lampung melewati Teluk Ratai. Lautan disini
terlihat sangat tenang, bisa jadi karena dilindungi oleh banyak pulau, meski
diujung selatan sana ada Anak Krakatau yang baru-baru ini menyebabkan tsunami
di Anyer dan Lampung, namun ada Pulau Legundi, Pulau Siuncal, dan gugus pulau
paling dekat dengan Karakatau yakni Pulau Sertung, yang membatasi dampak langsung
dari tsunami ke Pahawang.
Tak lama kami sampai di Cukuh Bedil, nampak sekitar 2 sd 3 perahu
lainnya sudah merapat di sebuah rumah apung yang berlokasi di pinggir area
snorkling. Bang Kosim langsung menambatkan perahunya pada warung apung tsb.
Bagus juga, sebagaimana di Kanawa, NTT yang melarang perahu melempar jangkar
melainkan cukup menambatkan tali kapal di dernaga, maka di Lampung nelayan juga
tidak membuang jangkar di daerah terumbu karang. Tidak buang-buang waktu sambil
membawa roti, kami menceburkan diri ke air yang bening. Ikan-ikan segala warna lsg
menyambut dengan hangat. Lokasi perairan di sini sangat menarik, terutama
tumbuhan laut yang sering menajdi habitat ikan Nemo.
Dari sini kami langsung menuju Pahawang Kecil, pulau yang cuma
1/100 Pulau Pahawang Besar alias sekitar 11 hektar yang terkenal dengan pasir
timbulnya, alias hanya muncul saat surut dan hilang saat pasang. Bintang laut yang terperangkap saat surut
dapat kita lihat disini, juga ikan ikan kecil dalam genangan air. Puas bermain
di pasir pantai, dan foto2 dengan latar hutan bakau, karena udara yang terik
kami lanjut minum Kelapa Muda. Terlihat keluarga pasangan setengah baya dengan
tiga anak dimana salah satu anaknya yang
berteriak-teriak histeris karena tidak suka pasir menempel kakinya. Sempat
berbincang-bincang keluarga yang datang dari Jakarta tsb dan mereka sempat
bertanya dimana kami menginap malam ini, dan saya jelaskan bahwa kami menginap
di Andreas Resort, Pahawang Besar. Entah sudah petunjukNya, kelak saya baru
sadar bahwa jawaban saya tersebut akhirnya menghindarkan rombongan kami dari
kesulitan.
Kami lalu berlayar kembali dan berlabuh di sebuah pantai
private, milik orang asing, dan memutuskan membuka perbekalan kami yang
disediakan travel Mas Eko yakni Nasi Padang dengan Ayam Telur dan Gulai Nangka.
Selesai makan, lalu perahu kembali berlayar ke sisi lain Pahawang Besar.
Link berikutnya https://hipohan.blogspot.com/2019/07/jalan-jalan-ke-bandar-lampung-dan_23.html
No comments:
Post a Comment