Saat masa kanak kanak, saya pernah berasumsi kalau manusia yang di kasihi Allah pastilah akan selalu dilindungiNya, belakangan saya menyadari yang dinamakan perlindungan itu seharusnya tidak melulu dilihat dari periode dunia, melainkan juga akhirat. Sehingga manusia manusia pilihan ini bisa saja justru mengalami nasib yang tragis dari kaca mata dunia akan tetapi menjadi pahlawan dari kacamata akhirat.
Hal inilah yang dialami cucu Nabi Husain, yang dikepung empat ribu tentara Ibn Ziyad dibawah komando Syimr Ibn Dzil Jausyan. Dengan hanya ditemani 72 pahlawan, Husain tetap bertempur gagah berani meski terkena sabetan pedang sana sini, dan dengan tubuh penuh luka dan darah. Ketika musuh menebas tangan-nya sampai putus, Husain tetap bertarung dengan sebelah tangan, sampai akhirnya ketika beliau meninggal, dan lantas Jausyan memenggal kepala Husain, untuk nantinya dipersembahkan pada Yazid Ibn Muawiyah, pemimpin yang sudah dibutakan dengan kenimatan dunia dan obsesi menjadi raja.
Khalid Muhammad Khalid (1920 – 1996), menceritakan peristiwa ini dengan amat menawan dalam buku “Tentara Langit di Karbala”, dan hingga hari ini 10 Muharram masih diperingati sebagai hari untuk mengenang pahlawan sejati Husain Ibn Ali dalam menegakkan kebenaran.
Mengenai apa yang sebenarnya menjadi penyebab peristiwa ini tak lain adalah sejak kekuasaan Islam membentang dengan area yang begitu luas, maka muncullah keinginan untuk membentuk kerajaan dan hal ini dianggap memerlukan baiat dari pihak pihak yang dianggap memiliki otoritas untuk itu. Akan tetapi Husain meski dianggap memiliki otoritas (karena keturunan Nabi) tidak ingin memberikan baiat pada keturunan Muawiyah yang memang sangat berambisi menduduki jabatan sebagai “Raja”. Sehingga akhirnya menemui ajal dalam keadaan mengenaskan.
Satu hal yang menarik diungkapkan di buku ini, bahwa Ali sebagai ayah Husain, sebenarnya sudah lama tahu bahwa peristiwa ini akan terjadi, dan beliau di satu masa ketika menuju ke Shiffin pernah melewati Karbala, seraya bertanya tempat apakah ini ? Ketika salah satu anggota rombongan menjawab, maka Ali bergumam “Oh disinilah akhir perjalanan mereka dan disinilah darah mereka akan ditumpahkan”.
Sekian tahun berlalu, semua yang ikut dalam pertempuran tak adil itu, anehnya menemui ajalnya dengan kondisi tragis, sebagai pelarian atau pengecut yang mati dalam kehinaan dengan jazad yang terinjak injak kecuali Yazid yang mati terbunuh di tangan pemberontak dan pembangkang.
Rasanya tepat sekali seperti yang dikatakan Ahmad Syafi’I Ma’arif, drama di Karbala adalah salah satu tragedi kemanusiaan yang menyesakkan napas dalam sejarah Islam. Dan buku ini seakan bagaikan kendaraan yang membawa kita kembali pada masa masa itu dan seakan ikut terlibat melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi. Dan apakah kematian Husain adalah kesia siaan, tentu jawabnya adalah tidak karena kepahlawan beliau tak lekang oleh Zaman, dan terus menjadi inspirasi dalam diri kita.
Hal inilah yang dialami cucu Nabi Husain, yang dikepung empat ribu tentara Ibn Ziyad dibawah komando Syimr Ibn Dzil Jausyan. Dengan hanya ditemani 72 pahlawan, Husain tetap bertempur gagah berani meski terkena sabetan pedang sana sini, dan dengan tubuh penuh luka dan darah. Ketika musuh menebas tangan-nya sampai putus, Husain tetap bertarung dengan sebelah tangan, sampai akhirnya ketika beliau meninggal, dan lantas Jausyan memenggal kepala Husain, untuk nantinya dipersembahkan pada Yazid Ibn Muawiyah, pemimpin yang sudah dibutakan dengan kenimatan dunia dan obsesi menjadi raja.
Khalid Muhammad Khalid (1920 – 1996), menceritakan peristiwa ini dengan amat menawan dalam buku “Tentara Langit di Karbala”, dan hingga hari ini 10 Muharram masih diperingati sebagai hari untuk mengenang pahlawan sejati Husain Ibn Ali dalam menegakkan kebenaran.
Mengenai apa yang sebenarnya menjadi penyebab peristiwa ini tak lain adalah sejak kekuasaan Islam membentang dengan area yang begitu luas, maka muncullah keinginan untuk membentuk kerajaan dan hal ini dianggap memerlukan baiat dari pihak pihak yang dianggap memiliki otoritas untuk itu. Akan tetapi Husain meski dianggap memiliki otoritas (karena keturunan Nabi) tidak ingin memberikan baiat pada keturunan Muawiyah yang memang sangat berambisi menduduki jabatan sebagai “Raja”. Sehingga akhirnya menemui ajal dalam keadaan mengenaskan.
Satu hal yang menarik diungkapkan di buku ini, bahwa Ali sebagai ayah Husain, sebenarnya sudah lama tahu bahwa peristiwa ini akan terjadi, dan beliau di satu masa ketika menuju ke Shiffin pernah melewati Karbala, seraya bertanya tempat apakah ini ? Ketika salah satu anggota rombongan menjawab, maka Ali bergumam “Oh disinilah akhir perjalanan mereka dan disinilah darah mereka akan ditumpahkan”.
Sekian tahun berlalu, semua yang ikut dalam pertempuran tak adil itu, anehnya menemui ajalnya dengan kondisi tragis, sebagai pelarian atau pengecut yang mati dalam kehinaan dengan jazad yang terinjak injak kecuali Yazid yang mati terbunuh di tangan pemberontak dan pembangkang.
Rasanya tepat sekali seperti yang dikatakan Ahmad Syafi’I Ma’arif, drama di Karbala adalah salah satu tragedi kemanusiaan yang menyesakkan napas dalam sejarah Islam. Dan buku ini seakan bagaikan kendaraan yang membawa kita kembali pada masa masa itu dan seakan ikut terlibat melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi. Dan apakah kematian Husain adalah kesia siaan, tentu jawabnya adalah tidak karena kepahlawan beliau tak lekang oleh Zaman, dan terus menjadi inspirasi dalam diri kita.
No comments:
Post a Comment