Begitu menamatkan Negeri 5 Menara, rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera menyelesaikan Ranah 3 Warna, ya apalagi kalau bukan mengikuti jejak perjuangan Alif dalam mencapai cita2nya. Buku ini terasa lebih serius di banding buku pertama, terutama ketika
meninggalnya tokoh Ayah sebelum sempat pergi ke Bandung, beratnya tokoh Ibu dalam membiayai sekolah Alif dan adik2nya, perjuangan Alif dalam mencari nafkah dengan berjualan, sampai akhirnya menyadari tidak setiap keturunan Minang punya “darah dagang” serta putusnya percintaan Alif dengan tokoh Raisa.
Bagi yang sedikit bingung dengan “Ranah 3 Warna”, sebenarnya yang dimaksud pengarang, adalah Bandung – Jawa Barat, Amman - Yordania dan Saint Raymond – Canada. Meski khusus Amman sepertinya terlalu dipaksakan, karena lebih mirip sebagai tempat transit sebelum ke Canada. Sebaliknya Canada sepertinya menjadi hal yang sangat khusus buat Alif, terbukti dengan penanda buku yang berbentuk daun mapple dan menjadi lambang dalam bendera Canada.
Surprise ketika pertama kali membaca buku ini, karena kita masih diberi kesan di akhir buku pertama dimana Alif akhirnya dapat menyelesaikan sekolah di Pondok Madani. Tetapi justru kembali memulai hidupnya sebagai “pecundang” di awal buku kedua. Tidak tahu akan kemana, tidak memiliki ijazah untuk masuk ke sekolah umum dan harus mengubur cita2nya masuk ITB. Saya jadi ingat pertemuan tadi malam dengan guru sekolah si Bungsu, yang berkata “pilih mana, anak pintar tapi tidak soleh atau anak soleh tapi tidak pintar”. Pilihan kedua inilah yang sepertinya harus dilakukan oleh orang tua Alif, akan tetapi bekal kesolehan yang disertai kesungguhan sesungguhnya juga akan menghasilkan “kepintaran” yang justru lebih berbobot dibanding kepintaran semata.
Salah satu bab menarik dimata saya adalah ketika Alif harus berkompetisi dengan saingan-nya dalam memerebutkan Raisa dalam proses seleksi pertukaran pelajar antara Canada dan Indonesia. Alif yang bersuara sumbang dan kaku kalau harus menari harus menyakinkan juri bahwa kesenian bukan melulu jadi faktor penting dalam menyetarakan bangsa kita dengan bangsa lain-nya. Dengan bekalnya sebagai penulis setelah dihajar habis2an dalam biara shaolin jurnalis ala Bang Togar, akhirnya Alif berhasil meyakinkan juri kalau dia sangat layak untuk terpilih dalam seleksi.
Sebuah buku yang menarik dibaca, ditambah artistik buku yang juga sangat berkelas, dan lebih dari layak menjadi bagian dari koleksi buku anda. Dan lagi lagi kita diingatkan dengan motto ala Pondok Madani, yaitu sebagai pelanjut “Man Jadda Wajada” yang artinya siapa yang bersungguh sungguh ia lah yang berhasil, yaitu ketika semua upaya sudah dilakukan maka bersikaplah “Man Shabara Zhafira” yang artinya siapa yang bersabar akan beruntung.
No comments:
Post a Comment