Rasanya masih jelas saat itu, di depan rumah peninggalan belanda yang kami diami di Sibolga, banyak orang berkerumun menyaksikan sosok burung hantu yang sedang bertengger di salah satu pucuk pohon besar dan jangkung di siang hari. Tentu saja bukan pemandangan yang biasa melihat burung pemalu ini muncul di siang hari. Salah seorang penduduk membidik burung tsb dengan senapan angin-nya tanpa belas kasihan, dan setelah tembakan pertama, si burung hantu, tersentak, serta darah-nya menetes netes ke kerumunan orang dibawah termasuk mengenai baju yang ku kenakan, sebelum akhirnya jatuh terbanting ke bawah.
Pagi sebelum-nya sekumpulan gagak berputar putar sambil berkaok kaok persis di atap rumah kami, sekan akan mengabarkan datang-nya malaikat kematian. Tak terasa sudah beberapa minggu Tante Zubaedah berada di rumah kami dalam keadaan sakit. Dia dibaringkan disalah satu kamar dalam keadaan lemah, jiwanya yang lembut tak kuat menghadapi kenyataan dikhianati sang kekasih, yang akhirnya mengalah terhadap desakan keluarga untuk memilih wanita lain setelah memberikan janji setia pada Tante Zubaedah. Akhirnya Tante Zubaedah harus mengalah pada malaikat maut yang menjemputnya sekaligus menggenapi dua kematian di usia muda di keluarga Ibu menyusul kakak perempuan Ibu ku yang meninggal sebelumnya. Cerita ini mirip dengan “Raumanen”-nya Marianne Katoppo, meski dengan beberapa bagian dan akhir cerita yang tidak begitu sama persis.
Ibu ku tujuh bersaudara, dengan tiga lelaki dan empat perempuan, dan Ibu merupakan anak ke tiga, dengan dua adik lelaki dan dua adik perempuan. Salah satu adik perempuan Ibu sekaligus nomor lima bernama Zubaedah, biasa kami panggil tante adalah sosok yang sangat lembut dan keibuan. Ketika kuliah di Yogya dia berkenalan dengan seorang pemuda. Dan kembali ke Sumatera dengan ijazah dan luka di hati yang tak pernah bisa sembuh. Sejak itu Tante Zubaedah sakit, dan akhirnya berpulang meninggalkan kami semua, tanpa sempat menikah setelah meraih gelar sarjana. Malam sebelumnya, Ayah memutuskan untuk pergi ke Padang Sidempuan menempuh jalan berkelok kelok dan sempit melewati gelapnya hutan sejauh 80 kilometer, bersama salah satu kerabat untuk mengabarkan kondisi Tante Zubaedah yang semakin gawat ke kedua mertua-nya dengan menggunakan sepeda motor. Akan tetapi Ayah mengalami kecelakaan dan menabrak tebing, sehingga mengalami dislokasi bahu.
Menjenguk ayah yang berbaring di rumah sakit dengan sekujur tubuh luka dengan tangan diperban dan meninggal nya Tante tak lama kemudian menjadi salah satu masa paling kelam dalam kehidupan keluarga kami. Isyarat dari burung hantu, dan isyarat dari burung gagak, lalu disusul wafatnya Tante Zuabedah, dan kecelakaan yang menimpa Ayah, menjadi salah satu cerita yang membekas dalam diriku selama-nya, Betapa dekatnya kita ke kematian, dan betapa rapuhnya kehidupan.
Pagi sebelum-nya sekumpulan gagak berputar putar sambil berkaok kaok persis di atap rumah kami, sekan akan mengabarkan datang-nya malaikat kematian. Tak terasa sudah beberapa minggu Tante Zubaedah berada di rumah kami dalam keadaan sakit. Dia dibaringkan disalah satu kamar dalam keadaan lemah, jiwanya yang lembut tak kuat menghadapi kenyataan dikhianati sang kekasih, yang akhirnya mengalah terhadap desakan keluarga untuk memilih wanita lain setelah memberikan janji setia pada Tante Zubaedah. Akhirnya Tante Zubaedah harus mengalah pada malaikat maut yang menjemputnya sekaligus menggenapi dua kematian di usia muda di keluarga Ibu menyusul kakak perempuan Ibu ku yang meninggal sebelumnya. Cerita ini mirip dengan “Raumanen”-nya Marianne Katoppo, meski dengan beberapa bagian dan akhir cerita yang tidak begitu sama persis.
Ibu ku tujuh bersaudara, dengan tiga lelaki dan empat perempuan, dan Ibu merupakan anak ke tiga, dengan dua adik lelaki dan dua adik perempuan. Salah satu adik perempuan Ibu sekaligus nomor lima bernama Zubaedah, biasa kami panggil tante adalah sosok yang sangat lembut dan keibuan. Ketika kuliah di Yogya dia berkenalan dengan seorang pemuda. Dan kembali ke Sumatera dengan ijazah dan luka di hati yang tak pernah bisa sembuh. Sejak itu Tante Zubaedah sakit, dan akhirnya berpulang meninggalkan kami semua, tanpa sempat menikah setelah meraih gelar sarjana. Malam sebelumnya, Ayah memutuskan untuk pergi ke Padang Sidempuan menempuh jalan berkelok kelok dan sempit melewati gelapnya hutan sejauh 80 kilometer, bersama salah satu kerabat untuk mengabarkan kondisi Tante Zubaedah yang semakin gawat ke kedua mertua-nya dengan menggunakan sepeda motor. Akan tetapi Ayah mengalami kecelakaan dan menabrak tebing, sehingga mengalami dislokasi bahu.
Menjenguk ayah yang berbaring di rumah sakit dengan sekujur tubuh luka dengan tangan diperban dan meninggal nya Tante tak lama kemudian menjadi salah satu masa paling kelam dalam kehidupan keluarga kami. Isyarat dari burung hantu, dan isyarat dari burung gagak, lalu disusul wafatnya Tante Zuabedah, dan kecelakaan yang menimpa Ayah, menjadi salah satu cerita yang membekas dalam diriku selama-nya, Betapa dekatnya kita ke kematian, dan betapa rapuhnya kehidupan.
No comments:
Post a Comment