Saat seleksi masuk SMA, saya sempat memilih salah satu SMA favorit di Bandung, akan tetapi karena sekolah ini dikenal agak hedonis, maka keluarga saya menganjurkan untuk memilih SMA di daerah Stasiun Kereta Api, yang meski tidak masuk 2 besar tetapi masih masuk 5 besar SMA terbaik di Bandung. Pada masa itu, setiap peserta harus langsung melakukan seleksi di SMA tujuan. Dan tidak disangka sangka saya mendapatkan nilai yang cukup baik, bahkan jauh diatas passing grade.
Situasi ini membuat saya lengah, dan kebiasaan serta pola belajar saat SMP masih terus berlanjut di SMA, yaitu hanya belajar keras menjelang ujian, hanya fokus pada pelajaran pilihan, lebih suka menggambar komik di bangku belakang dan intensif mendengarkan musik progressive setiap hari. Akibatnya bisa ditebak saat penjurusan di semester dua, nilai Kimia saya jeblok, karena selain cara mengajar gurunya yang tidak enak, eksperimen bukan dengan situasi sebenarnya di lab, tidak nyaman dengan keharusan menghapal sistem periodik unsur2 dan saya sendiri entah kenapa tidak suka akan pelajaran yang satu ini.
Akhirnya tibalah hari dimana penjurusan dilakukan, Ibu saya yang memang ekstra bangga dengan anaknya dengan percaya diri, berbicara dengan Ibu2 lainnya. Ketika akhirnya nama saya diumumkan masuk ke IPS, Ibu menjadi shock berat. Apalagi dia selalu menginginkan anaknya mengikuti jejak paman (adik Ibu) yang meraih gelar doktor di bidang engineering. Sepanjang jalan Ibu mengomel dan menunjukkan ekpresi kecewa atas hasil yang saya raih. Dan tanpa menunggu nunggu lebih lama keesokan harinya Ibu langsung menghadap Ibu Kepala Sekolah, serta memohon dengan sangat meninjau kembali penjurusan anaknya yang menurutnya sama sekali tidak berbakat di IPS, bahwa anaknya akan mengikuti jejak paman-nya yang ahli di bidang sains.
Ibu Kepala Sekolah mendengarkan kata2 yang disampaikan Ibu saya dengan sabar, dan lalu menyanggah bahwa peninjauan itu tak dapat dilakukan dan berkata “Anak ibulah yang menjuruskan dirinya sendiri dan bukan kami”. Ibu sangat shock mendengar kalimat tsb, karena mekanisme pertahanan Ibu yang biasanya cukup tangguh berdebat langsung hancur dengan statemen tsb. Tetapi Ibu Kepala Sekolah masih membuka peluang, dengan menyarankan saya untuk belajar sendiri selama satu semester, termasuk Kimia (di semester dua, malah harus mendalami Kimia Karbon), lalu diberi kesempatan untuk tes kenaikan kelas pelajaran IPA seperti Kimia, Fisika, Biologi dan Matematika.
Tak terasa, satu semester saya harus belajar pelajaran IPA sekaligus IPS, siang belajar Hitung Dagang, dan malam hari sendirian belajar Kimia Karbon, siang belajar Geografi dan malam-nya sendirian belajar teori Fisika Lensa Cembung dan Cekung. Ketika ujian akhir kenaikan kelas selesai, maka saya pun mengikuti ujian kedua untuk kenaikan kelas IPA, dan alhamdulillah saya berhasil masuk kembali ke kelas IPA dengan sub jurusan Bahasa Jerman. Jadi kesimpulannya janganlah lelah berusaha, dan hasilnya serahkan pada Allah sang Maha Menentukan.
No comments:
Post a Comment