Seandainya bisa kembali ke masa lalu dan dapat menjadi murid di Pondok Madani, apakah kira2 saya akan sanggup menghadapi dan mengalami hal2 seru seperti yang dialami oleh tokoh Alif ? saya tidak yakin karena sama seperti tokoh Alif, saya tidak suka hafalan dan tidak begitu berbakat dalam bahasa asing, meski demikian buku ini sangat menarik dibaca.
Penggambaran-nya detail dan kiasan-kiasan yang digunakan cukup menarik. Misal adegan bis yang menanjak meninggalkan Danau Maninjau diibaratkan penulis bagai sebuah mobil yang merayapi dinding kuali raksasa dalam perjalanan 3 hari 3 malam menuju Jawa. Atau untuk menggambarkan betapa supir sudah mulai bingung menghibur penumpang bis yang menempuh perjalanan siang malam dari Bayur (Sumatera Selatan) ke Ponorogo (Jawa Timur) , penulis menyebutkan-nya dengan cara entah sudah berapa kali pak supir menyuruh Rambo kembali berperang.
Pada buku ini dikisahkan persahabatan enam orang sahabat, dengan daerah asal Maninjau, Medan, Surabaya, Sumenep, Bandung dan Gowa. Tentu saja seperti yang saya jelaskan di atas, tokoh utama diperankan Alif. Mirip dengan karya Andrea Hirata, sebagian besar yang ditulis di buku ini merupakan pengalaman pribadi pengarang-nya yang memang alumni Pondok Pesantren Modern Gontor.
Banyak hal menarik dalam buku ini, seperti saat2 ketika musim liburan setiap anak bisa pulang ke rumah masing2, akan tetapi tidak demikian dengan Alif, yang karena keterbatasan dana justru tidak bisa pulang, dan harus mengalami suasana luar biasa sepi mencekam. Di bagian ini mengingatkan saya akan karya Leila S. Chudori tentang kehidupan asrama, yang merupakan bonus majalah remaja Hai di tahun 80-an. Hal lainnya yang menarik adalah ketika ada perlombaan, spanduk secara tidak sadar Alif dan team-nya mengimplementasikan Blue Ocean, karena ketika yang lain menggunakan bahasa Inggris, Alif dan team-nya justru sengaja menggunakan bahasa Prancis dengan "Nous Sommes la grande famille de la classe 1 B, Pondok Madani, Indonesie" dan akhirnya memenangkan perlombaan.
Pada akhirnya setelah perjuangan yang sulit, Alif mendapatkan hikmah tersendiri dengan menjadi murid di sekolah yang pada masa kini dianggap "tidak populer" . Sedangkan kehidupan mengajarkan kita kalau kesuksesan tersebut sebenarnya lebih banyak karena kualitas pribadi misalnya kemandirian yang justru secara pesantren akan lebih mudah dibentuk dibanding sekolah formal. Hal ini juga yang ditekankan oleh buku ini, bahwa bakat bakat terbaik tidak harus selalu mengikuti jalan Habibie tetapi juga bisa mengikuti jalan Buya Hamka.
Motto yang dijadikan dalam buku ini sangatkah mengena "Man Jadda Wa Jada" yang artinya siapa yang sungguh sungguh akan berhasil. Hal semacam inilah yang sejak awal dikenalkan oleh pesantren Madani dalam kisah ini, sehingga setiap siswa-nya menjadikan ini sebagai pegangan. Kenapa diberi judul Negeri 5 Menara, karena di kompleks pesantren tersebut, tempat favorit Alif dan teman-temannya berada di bawah menara, yang setiap istirahat mereka jadikan sebagai tempat diskusi, mengkhayal dan lain lain. Sungguh buku yang inspiratif dan kembali membakar semangat kita untuk selalu bersungguh-sungguh.
Penggambaran-nya detail dan kiasan-kiasan yang digunakan cukup menarik. Misal adegan bis yang menanjak meninggalkan Danau Maninjau diibaratkan penulis bagai sebuah mobil yang merayapi dinding kuali raksasa dalam perjalanan 3 hari 3 malam menuju Jawa. Atau untuk menggambarkan betapa supir sudah mulai bingung menghibur penumpang bis yang menempuh perjalanan siang malam dari Bayur (Sumatera Selatan) ke Ponorogo (Jawa Timur) , penulis menyebutkan-nya dengan cara entah sudah berapa kali pak supir menyuruh Rambo kembali berperang.
Pada buku ini dikisahkan persahabatan enam orang sahabat, dengan daerah asal Maninjau, Medan, Surabaya, Sumenep, Bandung dan Gowa. Tentu saja seperti yang saya jelaskan di atas, tokoh utama diperankan Alif. Mirip dengan karya Andrea Hirata, sebagian besar yang ditulis di buku ini merupakan pengalaman pribadi pengarang-nya yang memang alumni Pondok Pesantren Modern Gontor.
Banyak hal menarik dalam buku ini, seperti saat2 ketika musim liburan setiap anak bisa pulang ke rumah masing2, akan tetapi tidak demikian dengan Alif, yang karena keterbatasan dana justru tidak bisa pulang, dan harus mengalami suasana luar biasa sepi mencekam. Di bagian ini mengingatkan saya akan karya Leila S. Chudori tentang kehidupan asrama, yang merupakan bonus majalah remaja Hai di tahun 80-an. Hal lainnya yang menarik adalah ketika ada perlombaan, spanduk secara tidak sadar Alif dan team-nya mengimplementasikan Blue Ocean, karena ketika yang lain menggunakan bahasa Inggris, Alif dan team-nya justru sengaja menggunakan bahasa Prancis dengan "Nous Sommes la grande famille de la classe 1 B, Pondok Madani, Indonesie" dan akhirnya memenangkan perlombaan.
Pada akhirnya setelah perjuangan yang sulit, Alif mendapatkan hikmah tersendiri dengan menjadi murid di sekolah yang pada masa kini dianggap "tidak populer" . Sedangkan kehidupan mengajarkan kita kalau kesuksesan tersebut sebenarnya lebih banyak karena kualitas pribadi misalnya kemandirian yang justru secara pesantren akan lebih mudah dibentuk dibanding sekolah formal. Hal ini juga yang ditekankan oleh buku ini, bahwa bakat bakat terbaik tidak harus selalu mengikuti jalan Habibie tetapi juga bisa mengikuti jalan Buya Hamka.
Motto yang dijadikan dalam buku ini sangatkah mengena "Man Jadda Wa Jada" yang artinya siapa yang sungguh sungguh akan berhasil. Hal semacam inilah yang sejak awal dikenalkan oleh pesantren Madani dalam kisah ini, sehingga setiap siswa-nya menjadikan ini sebagai pegangan. Kenapa diberi judul Negeri 5 Menara, karena di kompleks pesantren tersebut, tempat favorit Alif dan teman-temannya berada di bawah menara, yang setiap istirahat mereka jadikan sebagai tempat diskusi, mengkhayal dan lain lain. Sungguh buku yang inspiratif dan kembali membakar semangat kita untuk selalu bersungguh-sungguh.
No comments:
Post a Comment