Rasanya hampir setiap anak lelaki pernah berkelahi dengan anak lelaki lain-nya dalam kehidupan, begitu juga aku yang masuk sekolah dasar dalam usia 5 tahun, sehingga sering sekali di intimidasi teman sekelas yang jauh lebih besar. Akan tetapi berbeda dengan perkelahian masa kini yang dilakukan dengan beramai ramai dan menggunakan berbagai senjata, saat itu perkelahian selalu satu lawan satu, dan dilakukan ketika kata2 tidak lagi dapat menyelesaikan masalah yang ada. Dan secara otomatis semua anak lelaki di kelas, biasanya akan terbagi menjadi dua kubu, serta begitu kelas usai, maka setiap pendukung akan membantu para petarung membawakan tas jagoan-nya masing masing menuju lokasi yang disepakati setelah sebelumnya memastikan tidak ada satu guru pun yang mengetahui.
Di kota kecil seperti Sibolga, anak2 dengan orang tua yang memiliki jabatan umumnya selalu memiliki kelas dan keistimewaan-nya sendiri. Pada masa itu anak pimpinan Bank, anak Jaksa, anak Kepala Polisi, atau anak Kepala Kantor Pos sebagaimana aku memiliki kasta-nya sendiri. Di kelas ku kebetulan ada anak Jaksa yang dengan sendirinya menganggap aku sebagai saingan di kelas. Usianya yang lebih tua dua tahun serta gaya-nya yang mengintimidasi menjadi masalah besar yang harus aku hadapi dalam keseharian. Orang tua sering sekali menganggap masalah anak adalah masalah kecil, tetapi sebaliknya dengan anak, bagi mereka ini bukan lah masalah kecil, melainkan masalah besar yang seringkali harus mereka selesaikan sendirian.
Karena usia yang lebih muda maka secara fisik dan prestasi aku relatif tertinggal, maka intimidasi ini menjadi sesuatu yang sudah tidak tertahankan. Di suatu sore, aku menyampaikan masalah ini pada sepupu jauh Ayah yang tinggal di rumah kami selama beberapa waktu, karena ada urusan yang harus diselesaikan. Kami biasa menyebutnya Uwa Hasibuan. Wajahnya berkerut mendengar curhatku sore itu, lalu dengan wajah serius dia menyampaikan suatu strategi yang dapat aku lakukan keesokan harinya. Percaya diri dengan strategi itu rasanya malam itu menjadi malam yang begitu panjang, untuk dapat segera bersekolah keesokan harinya, dan menjalankan apa2 yang sudah disampaikan Uwa Hasibuan.
Seperti biasa, Andritan begitu nama “musuh” ku mulai kembali melecehkan dan mengejek aku, tetapi berbeda dengan hari hari sebelumnya, aku membalas setiap ejekan yang dia lontarkan dengan percaya diri, lalu ketika suhu pertengkaran kami sudah semakin meningkat, maka aku berdiri dengan sikap menentang dan disusul oleh Andritan. Saat guru masih belum melihat, dan Andritan sama sekali tidak siap, aku mengambil inisiatif pertama dengan memukul wajahnya sekeras yang aku bisa, tepat di hidung-nya, dan saat dia hendak membalas, Guru sudah melihat duluan sehingga aku terselamatkan. Dengan puas dan wajah penuh kemenangan aku melihat darah menetes netes di meja dan baju putih sekolahnya. Luar biasa memang strategi Uwa Hasibuan, persis seperti serangan ala Hitler dengan “Blitzkrieg” alias serangan kilatnya ketika menghajar sebagian besar Eropa hanya dalam beberapa minggu.
Namun sayang-nya serangan itu ternyata tidaklah tidak cukup, Andritan segera menggalang event perkelahian sepulang sekolah, dan aku menunggu saat bersejarah itu dengan perasaan tidak menentu, maklum jika “Blitzkrieg” tidak berhasil, maka dengan perasaan cemas aku menunggu detik2 perkelahian yang lebih dahsyat dengan kepercayaan diri yang sudah semakin menipis. Saat pulang sekolah pendukung-ku membawakan tas, dan aku pun dengan langkah yang semakin ragu menuju lokasi yang ditentukan, yaitu Kantor Kejaksaan yang pada jam seperti itu biasanya sudah sangat sepi. Lantas setelah sampai kami pun menggulung lengan baju kami dan saling menatap dengan tajam, sambil mengira ngira titik kelemahan lawan, serta dari sorot mata-nya sayang-nya tak kulihat sama sekali dampak dari “Blitzkrieg” tadi pagi kecuali baju putihnya yang bernoda darah kering.
Tidak aneh kalau Jiu Jutsu lebih mendalami teknik kuncian dengan alasan sebagian besar perkelahian satu lawan satu tidak dapat menggunakan tendangan dan pukulan, karena begitu jarak perkelahian mendekat, maka pergumulan yang lah yang akhirnya menentukan siapa yang menang. Begitulah perkelahian kami, tak jelas siapa yang akhirnya memulai, akan tetapi tiba2 kami sudah bergumul di tanah coklat berdebu, ketika aku sudah semakin tersudut untung saja bagiku mendadak beberapa orang tua dan anak2 yang lebih besar segera memisahkan kami. Jika terlambat rasanya aku akan benar2 menghadapi masalah sulit. Untung bagi ku tetapi tidak bagi Andritan, sepertinya dia masih belum puas membalas perlakuan ku tadi. Dengan segera kami menghentikan pertarungan dan membersihkan baju masing2, lalu aku pulang dengan perasaan tidak menentu. Akan tetapi sejak hari itu Andritan memperlakukan aku dengan lebih hormat.
Jadi begitulah kami anak2 lelaki dengan tradisi perkelahiannya menjaga martabat kami, serta belajar berjuang untuk menjadi seorang lelaki dewasa, dalam menjaga kehormatan keluarga-nya kelak.
No comments:
Post a Comment