Monday, June 24, 2013

Nama di Sekitar Kita


Adik ibu yang kini seorang professor di salah satu PTN di Sumatera adalah seorang arsitek. Aku dan abang-ku yang memang suka menggambar jadinya sangat kagum dengan beliau dan bahkan sempat terobsesi ingin menjadi arsitek. Namun Abang akhirnya memilih bidang Ekonomi – Management sedangkan aku Teknologi Informasi.  Dalam perjalanan ke Eropa sepertinya paman yang menamatkan program master-nya di Newcastle jalan2 ke Hagia Sophia. Terinspirasi dengan keindahan bangunan tersebut dan lantas putri pertama-nya diberi nama yang sama. Hemm untung saja beliau bukan pengagum “Gedung Sate”, yang ternyata sempat dibahas di salah satu mata kuliah beliau di sana, dan ironis-nya beliau baru tahu saat itu, meski dia satu2-nya orang Indonesia di kelas tersebut.

Suatu hari seorang Ibu dan anak lelaki-nya berobat ke klinik istri, setelah ditanya nama-nya dengan malu2 bocah itu menjawab namanya “Jaya”. Istri yang memang sudah menggunakan perangkat lunak rekam medis di klinik-nya, lalu menanyakan nama lengkap-nya, agar mudah dibedakan dengan pasien lain, namun si anak memilih diam tak mau menjawab dengan ekspresi enggan. Selang beberapa saat si Ibu membantu meluruskan, kalau nama anak-nya adalah “Jayalah Persibku”, dan lalu menjelaskan kalau Sang Ayah seorang pencinta Persib, kesebelasan legendaris asal Bandung.

Dalam team di divisi saya, ditugaskan seorang Helpdesk Support di salah satu Bank di jejeran kantor seputaran MH Thamrin, ajaib-nya salah seorang helpdesk manis, berkulit bersih dengan kacamata nama-nya justru “Lucifer”.   Hemm cukup aneh juga, apakah yang dimaksud orang tua-nya sebenar-nya adalah “Luci”, namun ketambahan “fer” hanya Tuhan dan orang tua-nya yang tahu.

Saya sendiri diberi nama yang diinspirasi dari Ayah kandung Ibu alias kakek saya yang bernama “Husin Lubis” namun karena dalam adat suku Batak pengucapan terang2an nama Ayah adalah pantangan, maka ibu menggunakan nama “Husni” yang secara huruf mati, dalam bahasa Arab bermakna sama yakni “baik”. Lalu ibu yang mengagumi  “Alexander The Great”, sempat ingin menambahkan nama tersebut, tapi karena tidak cocok dengan “Husni”, maka Ibu mengambil nama lain-nya alias “Iskandar”. Sayang-nya baru2 ini salah satu film Hollywood justru menggambarkan “Alexander The Great” sebagai pencinta sesama jenis, dan ini sesuatu yang sama sekali tidak saya sukai, mengingat tokoh “Iskandar” adalah salah satu tokoh panutan dan tertulis dalam Al Quran.

Bagaimana dengan istri saya ?, kelahiran di saat pagi di bulan Desember, akhirnya membuat mertua saya memberi nama istri menjadi Erly Christianty. Nama yang berbau kristen, mata sipit dan kulit putih seringkali membuat dia dikira seorang mualaf. Sebaliknya salah satu atasan saya bernama muslim, namun saat adzan maghrib justru menolak saat saya ajak shalat, ternyata beliau seorang aktivis Gereja di saat muda. Beberapa tokoh populer seperti Christian Gonzales, memilih tetap menggunakan nama yang sama meski mualaf.

Salah satu teman di SMA lain lagi, kedua kata yang digunakan untuk membentuk nama bermakna nama depan, alias “Iwan Dani” sepertinya aneh juga jika sama sekali tidak ada nama keluarga. Kadang nama dibuat karena mengandung keinginan, seperti kakak perempuan istri yang di gadang gadang berjenis kelamin pria setelah tiga anak sebelum-nya selalu wanita, maka jadilah kakak perempuan istri bernama “Erwin”. Seorang sepupu memiliki nama “Raden” meski asli Batak, sehingga banyak orang salah kaprah dengan asal usul-nya. Seorang teman kantor bernama “Ida Bagus Nyoman” meski sama sekali bukan orang Bali, dan bahkan saat bertemu terakhir dengan-nya, ybs belum pernah sama sekali ke Bali.


Seorang kenalan ahli teknologi informasi di LIPI yakni Ibu Rukasih Darjat, karena terpesona dengan database dan kodifikasi, memutuskan memberikan semua nama depan anak-nya dengan tiga huruf saja dan selalu dimulai dengan huruf "O". Saat memanggil semuanya cukup meneriakkan "O" maka semua menyahut, dan berteriak "Oom" misalnya adalah untuk memanggil yang bernama Oom saja. Hemm pendekatan yang praktis, meski Ibu Rukasih sering dikomplain oleh anak2nya soal ini karena jadi bahan tertawaan teman2 di sekolah/kampus.

Istri teman, bernama "Liliana", sedangkan kakak-nya bernama "Liana", nah ini tipe orang tua yang tak mau pusing, bagaimana kalau ada adik-nya lagi, ya mungkin menjadi "Lililiana". Anehnya Si Suami malah sering meledek nama istrinya dengan menyanyikan nada dari lagu anak2 "Burung Kutilang" dengan "Tri.. li.. li.. li.. li.. li.. li.. ana".

Salah seorang teman kantor yang hijrah ke Amerika mengikuti suami-nya mengalami masalah saat pergi, maklum meski beragama Kristen namun nama suami-nya nama muslim alias "Zainuri". Kalau begitu yang nama-nya kebarat2an akan lebih aman kalau ke Amerika ? hemm ternyata salah seorang teman kantor yang lain justru mengalami kesulitan yang sama justru karena bernama belakang "Wagner", kali ini alasan kedutaan besar lain lagi, kuatir ybs memiliki niat untuk menjadi permanent resident.

Ada juga yang memberikan nama anak-nya sesuai dengan tokoh yang saat itu populer, namun saat ternyata tokoh tersebut terbukti seorang diktator dan akhirnya mengalami hukuman gantung atau di aniaya oleh rakyat-nya, maka anak2 tersebut ikut menjadi "terhukum" dan nama-nya akan menjadi bahan olok2an, misalnya Saddam Hussain atau Khadaffi. Jadi kalau ingin memberikan nama anak sesuai nama2 tokoh terkenal pastikan mereka meninggal dulu dalam keadaan baik.

Lain lagi Presiden Soekarno yang memberikan nama anak-nya dengan nama2 Taufan, Guruh dan Guntur, untung saja saat itu Tsunami belum terlalu dikenal, kalau tidak, bukan tidak mungkin nama salah satu putri beliau menjadi “Mega Tsunami” misalnya.

No comments: