Rasanya masih jelas dalam ingatan saat membaca karya Leila mengenai seorang anak yang tinggal di asarama siswa katolik. Saat2 dia harus sendirian karena tak tahu harus pulang kemana sementara setiap teman-nya memiliki "rumah" untuk pulang di saat liburan. Karya Leila ini merupakan bonus dari majalah Hai, yang saat itu masih sangat menarik bagi remaja "sehat". Berbeda dengan Hai saat ini yang mengeksploitasi perempuan, dimasa lalu Hai membahas komik, misteri, humor, sains dan berbagai hal yang masih pantas bagi remaja.
Nyaris 20 tahun Leila meninggalkan dunia menulis dan pulang setelah anak perempuan-nya "menuntut" nya unutuk kembali ke "rumah sastra" nya yang hilang. Dan Malam Terakhir adalah salah satu karya yang di beri sentuhan ulang sebagai hadiah bagi peminat sastra Indonesia. Untuk karya yang terdiri dari sembilan bagian ini Leila memilih gaya cerita pendek, karena lebih dapat memaksa pembaca dan penulis untuk fokus hanya pada beberapa lembar cerita saja, sehingga fokus ke isi yang ingin ditunjukkan menjadi lebih tanpa basa basi. Cover-nya yang surealis juga menjadi salah satu alasan saya ingin membaca buku ini.
Cerita pertama langsung menohok kita mengenai petualangan gadis Indonesia di pelosok Paris, dan bertemu dengan sisi kelam kehidupan disana. Pemuda yang menderita kelainan jiwa, induk semang yang lebih mementingkan motif bisnis di banding kekeluargaan. Sesuatu yang hilang di kota2 besar Eropa dan nyaris hilang di Indonesia bila kita tidak mau mempertahankan-nya. Kesepian di tengah keramaian, mungkin tepat menjadi tema cerita pendek pertama yang sangat pantas ditempatkan di awal buku ini.
Dalam kumpulan cerpen ini, terlihat salah satu ciri khas Leila, yakni mereview buku2 yang dia baca, dan bahkan kadang tokoh dalam buku itu muncul dan mengajak tokoh utama dalam cerpen-nya bercakap cakap. Buku2 tersebut misal-nya Rainbow-nya DH Lawrence, Summerhill nya A.S. Neill, Journey To The East nya Herman Hesse atau juga membahas puisi2 dari tokoh penyair seperti T.S. Elliot.
Beberapa cerpen lain-nya kadang bicara hal yang sama, yakni transformasi dari seorang gadis kecil menjadi wanita dewasa. Sepertinya sebagian dari ini mengacu pada pengalaman Leila sendiri. Kadang Leila melalui tokoh2nya membahas pemberontakan terhadap kemapanan. Cukup aneh bagi saya karena tidak terlihat secara keseluruhan aspek religius dari seorang Leila dalam kumpulan cerpen-nya ini, justru terkesan Leila mempertanyakan hal2 yang mungkin dianggap sebagai bagian dari etika dan budaya bangsa.
Barangkali remaja sekarang, begitu terpukau-nya dengan Dee, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu namun sosok Leila S. Chudori lah salah satunya yang meraih tongkat estafet dari N.H. Dini, dan meneruskan "kegemilangan" karya sastra dari pena wanita Indonesia. Wanita yang pernah sempat mengasuh rubrik film ini, saat bekerja di Tempo, sepertinya sudah kembali pulang dan sepantasnya kita menyambutnya dengan menikmati karya2nya.
Nyaris 20 tahun Leila meninggalkan dunia menulis dan pulang setelah anak perempuan-nya "menuntut" nya unutuk kembali ke "rumah sastra" nya yang hilang. Dan Malam Terakhir adalah salah satu karya yang di beri sentuhan ulang sebagai hadiah bagi peminat sastra Indonesia. Untuk karya yang terdiri dari sembilan bagian ini Leila memilih gaya cerita pendek, karena lebih dapat memaksa pembaca dan penulis untuk fokus hanya pada beberapa lembar cerita saja, sehingga fokus ke isi yang ingin ditunjukkan menjadi lebih tanpa basa basi. Cover-nya yang surealis juga menjadi salah satu alasan saya ingin membaca buku ini.
Cerita pertama langsung menohok kita mengenai petualangan gadis Indonesia di pelosok Paris, dan bertemu dengan sisi kelam kehidupan disana. Pemuda yang menderita kelainan jiwa, induk semang yang lebih mementingkan motif bisnis di banding kekeluargaan. Sesuatu yang hilang di kota2 besar Eropa dan nyaris hilang di Indonesia bila kita tidak mau mempertahankan-nya. Kesepian di tengah keramaian, mungkin tepat menjadi tema cerita pendek pertama yang sangat pantas ditempatkan di awal buku ini.
Dalam kumpulan cerpen ini, terlihat salah satu ciri khas Leila, yakni mereview buku2 yang dia baca, dan bahkan kadang tokoh dalam buku itu muncul dan mengajak tokoh utama dalam cerpen-nya bercakap cakap. Buku2 tersebut misal-nya Rainbow-nya DH Lawrence, Summerhill nya A.S. Neill, Journey To The East nya Herman Hesse atau juga membahas puisi2 dari tokoh penyair seperti T.S. Elliot.
Beberapa cerpen lain-nya kadang bicara hal yang sama, yakni transformasi dari seorang gadis kecil menjadi wanita dewasa. Sepertinya sebagian dari ini mengacu pada pengalaman Leila sendiri. Kadang Leila melalui tokoh2nya membahas pemberontakan terhadap kemapanan. Cukup aneh bagi saya karena tidak terlihat secara keseluruhan aspek religius dari seorang Leila dalam kumpulan cerpen-nya ini, justru terkesan Leila mempertanyakan hal2 yang mungkin dianggap sebagai bagian dari etika dan budaya bangsa.
Barangkali remaja sekarang, begitu terpukau-nya dengan Dee, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu namun sosok Leila S. Chudori lah salah satunya yang meraih tongkat estafet dari N.H. Dini, dan meneruskan "kegemilangan" karya sastra dari pena wanita Indonesia. Wanita yang pernah sempat mengasuh rubrik film ini, saat bekerja di Tempo, sepertinya sudah kembali pulang dan sepantasnya kita menyambutnya dengan menikmati karya2nya.
No comments:
Post a Comment